
Jacob Ereste :
Global Cyber News.Com. -Para pujangga pada masa lalu dapat teguh dan tekun berkarya dan mampu mengatasi masalah ekonomi keluarganya, jelas mendapat dukungan dan bantuan dari pihak keraton.yang sadar dan memahami betapa pentingnya kesaksian.yang dapat diperoleh dari para pujangga itu dalam bentuk kesaksian sejarah, ilmu pengetahuan serta perjalanan budaya yang terus menerus berkembang hingga dapat menjadi dokumen penting bagi keraton.serta sosok.sang raja atau ratu yang pernah memerintah pada kurun tersebut.
Tentu saja lain ceritanya bagi raja atau ratu yang korup, tidak memiliki reputasi dan karier yang baik untuk dikenang oleh rakyat melalui kesaksian sejarah. Apalagi raja atau ratu yang bersangkutan ingin menyembunyikan perilaku buruknya selama berkuasa. Karena itu, tak semua penguasa pada jaman kerajaan maupun sampai era republik sekarang ini yang mau ditulis tentang dirinya, cara dalam memerintah hingga sikap abainya terhadap rakyat. Karena sang raja atau ratu gemar hidup mewah, meski rakyatnya dalam dera kesengsaraan.
Jadi aspek yang penting dalam dunia kapujanggan tidak dapat terus berlanjut, karena pihak negara yang bertanggung jawab untuk menjaga budaya dan kehidupan para pujangga tidak pernah masih dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) sehingga dunia kepustakaan kita pun menjadi kering dan meranggas. Ibarat kakap hidup di atas batu, mati segan hidup pun tak mau.
Agaknya, itulah sebabnya legenda cukup banyak karena bisa tumbuh liar dan berkembang dalam beragam corak dan warna yang sulit ditelusuri asal-usulnya. Kendati tetap mengandung unsur sejarah, budaya dan kepercayaan dari satu masyarakat, sehingga menjadi sulit dipisahkan dari unsur mitos dan fiksi. Sehingga legenda berada diantara ada dan tiada, lantaran dominan tidak tertulis dan tidak dibukukan. Akibatnya, tentu saja sulit untuk diteliti dan dikaji secara akademis. Namun legenda tetap memiliki pesan moral, nilai spiritual atau secamam.kearifan lokal.
Legenda yang masih bisa diceritakan secara tersamar diantara seperti Legenda Tangkuban Perahu, Sosok Pangeran Sipahit Lidah, Roro Jongrang dan Malin Kundang serta sejumlah legenda lain yang sayup-sayup seperti hilang ditelan bumi.
Karya sastra para pujangga — tentu saja dari masa lalu, karena masa kini tidak lagi ada pujangga yang lahir, apalagi hendak mengharapkan karyanya — bisa saja berujud puisi seperti Kakawin, pantun, syair, seloka dan gurindam. Karya para pujangga dalam bentuk prosa bisa berupa cerita rakyat, hikayat, babat dan suluk yang memuat sejarah, ajaran atau tuntunan hidup serta kisah para pahlawan.
Ada juga naskah para pujangga yang ditulis di atas daun lontar atau manuskrip seperti karya Ila Ga Ligo. Namun ada juga yang ditulis di atas kertas Daluang, atau kulit kayu yang memuat ilmu dan pengetahuan, hukum, agama hingga filsafat.
Ada juga yang disebut Suluk atau teks mistik — yang memuat pemahaman dan pengetahuan tentang spiritual dan biasanya sangat sufistik. Seperti Suluk Wujil, Suluk Sukarsa sangat kuat dan mengesankan paparan dari perjalanan batin yang sangat sakral
Artinya dapat dipahami bahwa karya para pujangga tidak hanya bernilai sastra, tapi juga panduan etika, moral dan akhlak mulia bagi manusia yang ingin menyempurnakan hidupnya, kendati kesempurnaan itu sendiri mungkin tidak akan pernah tercapai.
Karena itu, dalam kesadaran serupa inilah bahwa sesungguhnya esensi terpenting dari spiritualitas itu adalah menjadi — sebuah proses yang lebih penting dari apa yang dianggap suatu hasil, atau capaian yang mampu diraih. Jadi Serat seperti.yang ada dalam.khazanah sastra dan budaya Jawa, bukan sekedar sastra, tetapi wadah dari warisan luhur para leluhur yang memiliki nilai filsafat dan kehidupan dalam dimensi spiritual yang ditulis dalam bentuk karya sastra seperti prosa atau puisi.
Adapun esensi dari Serat itu sendiri memuat ajaran etika dan moral serta sikap bijak untuk membimbing manusia hidup seimbang antara lahir dan batin. Bahkan takaran kepemimpinan serta ketatanegaraan hingga petunjuk pengobatan termuat juga di dalamnya.
Namun yang lebih penting, tentu saja sebagai sarana pendidikan pembentukan karakter yang meliputi rasa hormat, welas asih, kesabaran serta sikap rendah hati yang terkendali dan dapat dikontrol.
Serat Centini, Serat Wedhatama, Serat Kalitadha dan Serat Wulangreh cukup dikenal oleh generasi 50 tahun ke atas yang masih hidup sampai hari ini. Intinya dari Serat Centhini ialah tuntunan mencari makna hidup dan kesempurnaan spiritual secara fisik, batin, intelektual maupun kultural yang melatar belakangi pengetahuan dan keilmuan serta pengalaman hidup sebelumnya. Sehingga berpadunya dimensi spiritualitas, tasawuf, filsafat hingga kemampuan mengeksplorasi erotisne sebagai bagian dari pengalaman untuk memahami tentang hati diri. Hingga puncaknya, kesadaran tentang hidup dan mati yang pasti sampai menyadari tentang kefanaan dunia yang sesungguhnya sebagai awal menuju alam keabadian.
Mungkin, begitulah nasib dari semua kejadian dan peristiwa yang harus dialami, seperti ketiadaan pujangga pada era milenial sekarang ini. Sebab banyak orang terlanjur mabuk duniawi — bukan ukhrowi — yang cuma ada dalam kamus surgawi. Tampaknya begitulah tragika para pujangga lama yang sempat diteruskan oleh pujangga baru, sungguh tidak mendapat tempat di dalam negara yang menganut sistem republik. Para penyair Indonesia pun hari ini, berada diluar ruang sunyi dan miskin. Walau tetap percaya dan yakin kelak akan lahir karya besar dari kegigihan yang tak hendak menyerah.
Banten, 17 Juni 2025
Red