
Jacob Ereste :
Global Cyber News.Com. -Pernyataan Yusril Ihza Mahendra yang meluruskan pernyataannya tentang Perjanjian Helsinki tidak dapat dijadikan rujukan sengketa 4 pulau milik Aceh yang diklaim Mendagri milik Provinsi Sumatra Utara memang benar, karena pernyataannya sendiri memang tidak lurus dan sesungguh tidak perlu dia komentari, kendati dia memiliki gelar akademik hukum yang bisa dikata telah mentok sekaligus menjabat Menteri Koordinator Bidang Hukum dan Pemasyarakatan. Realitasnya, pernyataan yang tidak lurus dan kemudian perlu dia luruskan itu terlanjur membuat kemarahan berbagai pihak. Toh, melalui sikap bijak Presiden Prabowo Subianto, masalah 4 pulau yang hendak direbut itu bisa selesai dengan gampang dan mampu menghentikan genderang Perang Aceh yang sudah terlanjur ditabuh pula.
Artinya, pernyataan yang tidak lurus dari Yusril Ihza Mahendra itu, hingga kemudian dianggap perlu untuk diluruskan — karena memang tidak lurus — tidak mempunyai pengaruh apa-apa atas kebijakan Presiden untuk mengembalikan posisi kepemilikan keempat pulau yang dipersengketakan itu dari komentar Yusril Ihza Mahendra yang cuma menimbulkan kegeraman banyak pihak, kecuali hanya ingin pamer untuk mengesankan bahwa dirinya lebih banyak tahu dari orang kebanyakan.
Realitasnya, pernyataan yang tidak lurus hingga harus diluruskan sendiri oleh pembuatnya tidak memiliki pengaruh apa-apa terhadap keculasan Mendagri yang harus diambil alih oleh Presiden. Artinya, pernyataan sejenis itu cukup meyakinkan bahwa Yusril Ihza Mahendra pun bagian dari pembuat keonaran maupun kegaduhan yang cuma akan menambah beban Presiden menghadapi berbagai sengkarut yang ditinggalkan oleh rezim penguasa sebelumnya di negeri ini.
Pernyataan bengkok Yusril Ihza Mahendra yang termuat dalam berbagai media sebelumnya hingga kemudian diluruskan seperti termuat pula secara meluas oleh berbagai media — termasuk Kompas, 19 Juni 2025 — pun ingin terkesan ingin meredakan kemarahan sejumlah tokoh dan pengamat yang justru lebih paham mengenai Aceh maupun derita para Gerilyawan GAM yang gigih mempertahankan hak sebagai bangsa yang merdeka dan tidak pernah merasa apalagi hendak mengakui penjajah bangsa Asing. Karena esensi dari Gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka itu tidak sudi dijajah oleh saudaranya sendiri, sehingga layak disebut kafe-kafe itu. Jadi, apalagi hendak dijajah oleh bangsa asing.
UU No. 24 Tahun 1956 itu memang menyebut tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Provinsi Sumatra Utara. Ketika itu pun, usia Yusril Ihza Mahendra juga belum genap setahun. Artinya wajar saja bika pernyataannya yang bengkok itu jadi memantik kegaduhan untuk pencaplokan 4 pulau milik sah rakyat dan pemerintahan Provinsi Aceh.
Alasan Yusril Ihza Mahendra untuk meluruskan pernyataannya yang bengkok itu menyebut adanya UU Memberi delegasi kewenangan kepada Mendagri untuk mengatur tapal batas wilayah dengan Peraturan Mendagri. Namun sampai hari ini belum ada Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) yang mengatur batas darat dan batas laut antara Kabupaten Aceh Singkil dengan Kabupaten Tapanuli Tengah.
Yang ada, dalam Kemendagri terkait kode wilayah administrasi yang menyebut keempat pulau itu tiba-tiba masuk dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah. Keputusan Mendagri inilah yang menyulut kegaduhan yang sempat memanas dan Aceh pun sudah menabuh genderang perang terhadap Jakarta — pemerintah pusat, seperti anggapan GAM dulu ketika harus bergerilya di hutan. Dan keputusan Presiden Prabowo Subianto pun tidak serumit pemikiran Yusril Ihza Mahendra dalam menetapkan pengembalian 4 pulau itu kepada Aceh. Karena cukup mengacu pada dokumen kesepakatan Gubernur Aceh semasa Ibrahim Hasan dengan Gubernur Sumatra Utara, Raja Inal Siregar pada tahun 1992. Maka itu, apa maksudnya Yusril Ihza Mahendra mengajak banyak orang tersuruk masuk dalam peraturan dan perundang-undangan yang tidak mimiliki korelasinya dengan keberadaan 4 pulau yang sudah ada ketetapannya minimal sejak tahun 1992. Demikian juga dengan UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah melalui UU No. 9 Tahun 2015.
Jatinegara, 19 Juni 2025
Red