Jacob Ereste
Global Cyber News.Com. -Benar adanya satu pertanyaan yang menarik, unik sekaligus konyol dari tetangga sebelah, apakah setelah menunaikan Ibadah haji masih boleh korupsi ?
Pertanyaan yang konyol sekalian terasa menggelikan ini, justru sebaliknya, sebab dengan berhaji-hajiria itu justru untuk mempermulus dan mempermudah melakukan korupsi. Karena bagi yang telah memasang gelar dalam status sosialnya sekalipun menjadi imun untuk sekedar diendus oleh kecurigaan melakukan korupsi. Meski pangkat dan jabatannya relatif rendah, tapi kekayaan sudah super melimpah orang tidak pantas menaruh kecurigaan sedikitpun, kendati tetangga kiri kanan tahu persis dia tidak memiliki warisan dari tujuh turunan kakek buyutnya yang juga miskin.
Apalagi dari kekayaan yang super melimpah itu dia lebih canggih berdrama derma secara rutin membagi sedikit dari jumlah harta haramnya itu sebagai kamuflase mencuci dosa seperti bercak makanan di baju yang menandai dirinya seperti karnivora pelayan yang tamak dan rakus, makhluk pemakan daging yang juga bersifat keji.
Begitulah drama satir yang mereka bangun dengan kostum pementasan berjubah haji. Sebab dengan begitu drama yang diperankannya dapat berjalan mulus. Bahkan para penyelenggara jemaah haji itu sendiri — yang pasti sudah terseleksi secara lahir dan batin — kini banyak menjadi aktor utama pengentit hak jemaah haji. Bukan hanya dari nilai ongkos yang dilipat gandakan tarifnya, tapi juga dari fasilitas makan dan minum hingga sarana dan prasarana lainnya sejak awal proses pendaftaran calon jemaah haji hingga pelaksanaannya, meski saat itu jelas-jelas sedang berada di tanah yang dianggap paling suci di bumi.
Bahkan dalam teknik mutakhir dramatisasi pementasan korupsi dengan kostum haji, memperjual-belikan kuota, memainkan nomor urut keberangkatan yang dikomersialisasikan dengan berbagai dalih administratif yang ujung-ujungnya bisa menggarut duit dalam jumlah yang tidak sedikit. Dalam beberapa tahun terakhir di Indonesia toh sempat heboh dana jemaah haji yang bejibun jumlahnya itu — karena dana terus masuk dan jemaah yang bisa dikirim terbatas — sempat heboh dan dipinjamkan tanpa bunga, tapi pasti tetap bisa bagi-bagi komisi dibawah meja administrasi yang tidak berkwitansi.
Jadi pertanyaan konyol yang unik sekaligus menarik seperti tersebut diatas, apakah setelah berhaji masih boleh korupsi seperti judul puisi satir yang getir. Karena ibadah haji — terutama yang dilakukan berulang kali itu — tidak hanya patut dicurigai sebagai upaya membasuh dosa, tapi justru untuk menyembunyikan prilaku bejat yang sudah dilakukan dan yang mungkin sedang direncanakan lebih besar dari yang sudah pernah dilakukan. Dan pangkal soalnya pun, selera warga masyarakat sudah terlanjur terbius pula dalam sikap glamour dan kepura-puraan dari drama murahan yang berlagak penderma, penuh welas asih dan kerap memotong hewan kurban setiap musim haji sekedar untuk menenteramkan hati warga masyarakat yang menyaksikan polah tingkahnya yang ganjil dan naib itu, sehingga semakin tak jelas suara bisik hatinya sendiri sehabis ikut melahap daging hewan kurban yang tidak dipahami simbolika dari sifat hewan yang harus dienyahkan itu dari dalam setiap jiwa manusia yang patut memahami diri sebagai khalifatullah di muka bumi.
Itulah esensinya dari ibadah haji yang cuma sebatas upacara ritual dengan hakikat berhaji yang penuh makna dan nuansa spiritual. Karena ibadah haji bukan upacara seremonial agar terkesan gagah dan wah mata siapa pun. Kecuali Allah SWT. Maka itu, akibat prilaku bejat di yang pernah dilakukan sebelumnya, selalu mendapat balasan yang sepontan, karena memang kelakuan bejat itu sukar untuk dimaafkan. Utamanya terhadap perilaku penguasa yang semena-mena dan melukai hati rakyat.
Pondok Haji, Jakarta, 20 Juni 2025
Red
