
Jacob Ereste :
Global Cyber News.Com. -Perang antara Palestina dengan Israel sebagai upaya perebutan hak atas tanah dalam kedaulatan nasional di wilayah Palestina bermula dari dua kelompok bangsa Arab Palestina dengan bangsa Yahudi (Israel) yang sama-sama mengklaim wilayah tersebut. Sehingga hak untuk hidup berdampingan sebagai negara merdeka tidak pernah terwujudkan secara permanen.
Dalam pertentangan identitas nasional dan agama, wilayah yang menjadi sengketa ini adalah wilayah yang suci, baik bagi Yahudi, Muslim maupun Kristen. Sehingga masalah pengusiran bangsa Palestina jadi kehilangan tanah dan tak mendapat hak untuk kembali ke tanah leluhurnya sendiri. Akibatnya, pendidikan wilayah dan pembangunan pemukiman Israel di Tepi Barat dan Gaza menambah ketegangan antara Palestina dengan Israel.
Celakanya, Israel mendapat dukungan dari Amerika Serikat (secara militer, ekonomi dan diplomatik), Jerman (dalam bentuk teknologi dan diplomasi), Kanada (memberi bantuan politik dan kemanusiaan), Inggris (membantu secara diplomatik dan militer), Australia (diplomatik dan militer), Francis (diplomatik dan militer), dan sejumlah negara Teluk Arab seperti UEA, Bahrain, setelah perjanjian Abraham, mulai membangun hubungan resmi dengan Israel.
Jadi akar konflik antara Palestina dengan Israel sebagai perebutan kedaulatan atas wilayah yang suci ini semakin meluas dan genting, akibat dari ikut serta pihak lain. Seperti kesepakatan diplomatik yang disebut dalam perjanjian Abraham yang ditandai tangani pada September 2020 antara Israel dan sejumlah negara Arab, termasuk Bahrain dan Uni Emirat Arab (UEA) mengadakan normalisasi hubungan diplomatik, hubungan perdagangan, kerjasama ekonomi, pariwisata hingga masalah keamanan.
Inti dari perjanjian Abraham ini membuka babak baru hubungan antara Israel dan beberapa negara Arab setelah terjadi konflik dan ketegangan. Dan Bahrain merupakan salah satu negara Arab Teluk pertama yang mengakui Israel.
Sedangkan negara-negara pendukung Palestina yang paling menonjol adalah Ira, lalu Turki, kemudian Qatar, Suriah, Lebanon, Yordania, Mesir dan sejumlah negara Islam lain yang tergabung dalam Organisasi Kerjasama Islam (OKI) memberi dukungan politik dan kemanusiaan. Bahkan ada juga sejumlah negara di Afrika dan Amerika Latin.
Sejarah mencatat deklarasi Balfour tahun 1917, Inggris mendukung pendirian “tanah air bagi bangsa Yahudi” di Palestina yang menimbulkan ketegangan bangsa Palestina. Karena sejak itu, imigrasi besar-besaran kaum Yahudi (yang belum juga diakui sebagai suatu bangsa) masuk ke Palestina sejak awal abad ke-20 hingga menimbulkan konflik dengan penduduk Arab setempat yang merasa mulai terancam kehilangan tanah dan hak-hak lainnya.
Lalu ada pembagian wilayah yang dilakukan oleh PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) pada tahun 1947. Sehingga usulan pembagian Palestina menjadi Negera Yahudi ditolak oleh penduduk Arab hingga memicu perang saudara dan perang antara negara Arab dengan negara Israel setelah deklarasi kemerdekaan Israel pada tahun 1948.
Sejak itu pengusiran dan pengungsi Palestina — Nakba — mulai didera derita sejak perang terjadi pada tahun 1948 hingga membuat bangsa Palestina sangat marah dan memendam dendam sampai sekarang. Setelah itu — tahun 1967 terjadi perang lagi selama 6 hari — sampai Israel menduduki wilayah Tepi Barat dan Gaza serta membangun pemukiman yang ilegal oleh komunitas Internasional yang justru memperparah konflik.
Tokoh Islam Palestina yang mendapat inspirasi dari Revolusi Islam Iran tahun 1979 merasa perlu mendirikan Hamas seperti Ikhwanul Muslimin yang merespon pendudukan Israel. Lalu muncul pula Gerakan Jihad Islam Palestina (Palestinian Islamic Jihat/ PIJ) pada tahun 1980 di Gaza yang lebih fokus pada perlawanan bersenjata untuk menghancurkan Isreal dan mendirikan negara Islam di Palestina. Dan relatif dekat dengan Garda Revolusi Islam Iran. Hingga mendapat dukungan penuh secara militer dan finansial dari Iran dan Suriah.
Begitu juga pembentukan Hizbollah pada tahun 1980 di Libanon dan Beirut Selatan sebagai reaksi atas invasi Israel ke Libanon pada tahun 1982. Tujuan utama Hizbollah mengorganisasi perlawanan bersenjata Rakyat Syiah Libanon melawan okupasi Israel di Libanon Selatan. Dalam perkembangannya kemudian, Hizbollah bertransformasi menjadi partai politik dengan sayap sosial dan militer.
Dalam pandangan geopolitik Iran — anti imperialis dan anti zionis dan melihat Israel sebagai penjajah dan penghalang kemerdekaan bangsa Palestina. Karena itu, Palestina perlu dibantu dan diselamatkan. Secara terbuka pun, Iran menyatakan pelindung dan pendukung Palestina, tanpa kecut dan takut pada Amerika Serikat yang selalu berada di belakang Isreal. Maka itu, Iran pun mendukung Hamas dan Hizbollah sebagai bagian perlawanan serta perjuangan bersenjata. Dan Iran tidak mengakui legitimasi Negera Israel, karena hanya entitas zionis yang ilegal dan lancang menduduki wilayah Arab.
Seiring dengan itu pula, dalam strategi geopolitik Iran terus memperluas wilayah pengaruhnya di Timur Tengah dengan mendukung semua kelompok militan dan sekutu anti Israel. Utamanya untuk membangun keseimbangan kekuatan menghadapi sekutu Amerika Serikat dan Arab Saudi di wilayah tersebut.
Karena itu, konflik Iran dengan Israel menjadi bagian dari konfrontasi lebih luas bagi Iran terhadap Amerika Serikat serta blok Barat.
Sejak awal Revolusi Islam Iran 1979, Ayatollah Khomeini menumbangkan Shah Iran memutus hubungan dengan Israel dengan menutup Kedutaan Isreal di Taheran dan mengganti menjadi kantor Perwakilan Palestina. Sejak tahun 1980, Iran menyebut Israel sebagai kangker di Timur Tengah. Bahkan pada tahun 2005, Presiden Mahmoud Ahmadinejad menyerukan agar Israel dihapus dari peta. Perseteruan pun antara Iran dengan Israel semakin terbuka. Dan Iran ikut terlibat dalam perang Suriah mendukung Assad bersama Hizbollah dan pasukan Quds. Posisi Iran semakin mendekat ke perbatasan Israel.
Akibat pembunuhan terhadap milisi Iran yang banyak terbunuh di Suriah, secara terbuka Iran pun bersumpah akan segera melakukan pembalasan terhadap Israel. Dan perang antara Palestina melawan Israel pada babak berikutnya, sejak 7 Oktober 2023 sampai sekarang di Gaza sudah menelan sekitar 50 ribu hingga 55 ribu orang yang tewas. Studi Lancet memperkirakan bisa mencapai 64 ribu orang akibat trauma dan luka sampai Juni 2025.
Konflik terbaru yang terjadi pada 7 Oktober 2023 terus berlanjut sampai Januari 2025, lalu kembali meledak hingga Mei dan Juni 2025 hingga turut sertanya Iran membombandir Israel, jelas telah mempermalukan Amerika Serikat bersama sekutunya yang memang Ingin mendapat keuntungan dari perang. Terutama sejak serbuan Iran pekan ini medio Juni 2025 yang sangat terkesan siap menghadapi birahi Amerika Serikat untuk menjadikan Palestina menjadi mangsa penjarahan dan penjajahannya yang brutal. Dan atas dasar solidaritas dan kemanusiaan dunia Islam pantas marah dan wajib melindungi dan membela Palestina.
Atas dasar revolusi Islam Iran sejak awal dipimpin Ayatollah Ruhollah Khomeini, sikap anti kediktatoran dan anti onoerialisme juga menentang pemerintahan yang korup, tidak adil dan tindak dibenarkan menghambabpada Barat. Kekuasaan politik hanya boleh berada pada seorang faqih — ulama dan ahli hukum — rahdar. Dan Islam sebagai dasar negara tak hanya menata masalah politik, tetapi juga menjadi rujukan ideologis dan spiritual. Tak hanya menolak ketergantungan pada Barat, tetapi fokus pada kemandirian di semua bidang kehidupan. Karena itu, Iran ingin mengenyahkan Isreal dari muka bumi. Dan Israel memang pantas dan patut dimusnahkan.
Banten, 20 Juni 2025
Red