Denny JA
Apa yang dapat kita pelajari dari sinetron politik satu hari itu?
Global Cyber News.Com|Tanggal 6 Januari 2021. Gedung Capitol Hill, di Washington DC, tempat anggota legislatif Amerika Serikat bersidang diserang massa.
Ini serangan massa yang pertama di gedung itu sejak tahun 1814. Sekitar 206 tahun lalu, area itu diserang oleh tentara Inggris. Tapi kini massa yang menyerang gedung itu warga Amerika Serikat sendiri.
Para pimpinan dan anggota senat dievakuasi. Massa sempat menguasai ruangan. Terdengar bunyi tembakan. Juga bunyi ledakan. Teriakan massa. Dan Empat orang tewas.
Ada massa yang sempat-sempatnya berfoto dan selfie di ruangan itu. Ada yang berani mencuri meja podium tempat anggota senat pidato.
Ada yang membawa pulang bendera pusaka Confederate Battle yang dipajang di lantai dua.
Massa datang dengan spirit yang sama. Mereka ingin anggota Senat membatalkan kemenangan Joe Biden dalam Pemilu Presiden.
Menurut mereka, Trump yang menang. Pemilu telah dicuri. Pencurinya radikal kiri Partai Demokrat. Dan Joe Biden? Biden hanyalah boneka yang bergerak untuk kepentingan Cina.
Dunia terpana. Bagaimana mungkin, pusat demokrasi dunia berubah menjadi Banana Republic?
Istilah Banana Republik ini term popular menggambarkan kondisi negara yang lembek dan lucu seperti buah pisang.
Dalam banana republic, lembaga negara tak tertata. Yang berkuasa hanya para patron dan bandar. Mereka bisa sesuka hati memainkan politik.
Ini Amerika Serikat. Ini satu satunya super power yang kini berkuasa. Kok bisa Ia berubah seperti banana republic, walau satu hari saja?
-000-
Hari itu juga drama di Capitol Hill diakhiri. Senat melanjutkan sidang. Dan palu diketuk. Sah sudah. Joe Biden memperoleh sertifikasi kemenangan.
Bagi demokrasi Amerika Serikat yang kokoh, sinetron di Capitol Hill itu tak akan berlangsung lama.
Tapi tetap saja membuat semua terpana.
Bagaimana menjelaskan fenomena ini? Tapi kita melangkah lebih jauh. Esai ini lebih untuk hikmah. Apa yang dapat kita renungkan dari kisah di atas.
Inilah tiga lessons to learn.
Pelajaran pertama, ini era ketika media sosial, khususnya Twitter bisa digunakan sebagai media instruksi politik.
Donal Trump, sang presiden yang dikalahkan, menggerakan sentimen massa dari twitternya.
Peristiwa drama itu dimulai tanggal 19 Desember 2020. Saat itu, Trump memposting tweetnya:
“Big protest in DC. On Januari 6th. Be there. Be Wild!”
Sekitar 18 hari sebelum drama Capitol Hill, Trump sudah memberi aba- aba. Twitter menjadi mediumnya. Ia meminta pendukungnya siap siap berkumpul di Washington DC. 6 Des 2021.
Tak lupa pesannya: Be Wild! Liarlah!
Followers Trump di twitter itu 88 juta. Sejak lama Trump menggunakan akun twitternya untuk komunikasi publik. Ia acap umumkan rencana kebijakan. Ia juga sangat sering menyerang lawan politik lewat twitter.
Melalui akun twitter itu pula, berulang-ulang Trump membakar pendukungnya bahwa sebenarnya Trump yang menang pemilu presiden.
“Kita menang besar.” “Tapi kemenangan kita dicuri.” “Hati hati dengan pencuri pemilu: kelompok kiri radikal.” “Jangan menyerah.” “Kita akan dapatkan kembali kemenangan kita.”
Melalui twitter pula, Trump kemudian menenangkan massa pendukungnya yang menyerbu Capitol Hill.
Tanggal 6 Januari 2021 itu, Trump mentweet beberapa kali.
Jam 3:13 pm
“I am asking everyone in Capitol Hill remain peaceful. No violence! Remember, we are the party of law and order.
Respect our great men and women in blue. Thank you”
Jam 4:17, Trump kembali mentweet pesan video sekitar 1 menit atas desakan banyak pihak.
Antara lain, Ia mengatakan:
“You have to go home now. We have to have peace. We have to have law and order.”
“I know how you feel. But go home and go home in peace.
Ini memang era politik digital. Hanya dengan handphone di tangan, siapapun bisa melakukan sendiri: mengirim instruksi politik. Mengirim pesan ke publik luas!
Apapun isi tweet, pesannya akan sampai kepada siapa saja, dimana saja.
Pelajaran pertama: Politik digital semakin efektif
-000-
Pelajaran kedua, demokrasi yang sudah kokoh melahirkan pembelanya sendiri. Tanpa diminta. Tanpa komando. Ramai- ramai pihak yang sadar bersikap.
Trump sudah keterlaluan. Ia membahayakan aturan main demokrasi. Ia harus disetop.
Maka, twitter langsung menggembok akun Trump. Sampai batas waktu yang ditentukan, Trump tak bisa lagi mengirim pesan lewat akun itu.
Facebook juga mengikuti jejak twitter. Hingga transisi kekuasaan presiden ke Joe Biden berlangsung, Trump tak bisa menggunakan akun facebooknya. (1)
Maka, elit bisnis pun bereaksi. Ada 13 senator yang militan membela Trump untuk menolak hasil pemilu presiden.
Kaum pebisnis ini memberi peringatan. Mereka akan mencatat politisi yang potensial merusak tata lembaga demokrasi. Mereka akan bersatu untuk menolak menyumbangkan dana bagi kampanye para politisi itu. (2)
Maka, mantan presiden pun bereaksi. Obama, Bush, Clinton dan Carter membuat pernyataan publik. Mereka menyadarkan kolega dan rakyat Amerika Serikat, agar tak kehilangan jati diri Amerika.
Negara itu besar karena memelihara respek kepada prosedur dan hasil pemilu.
Maka, wakil presiden Trump: Mike Pence pun bereaksi. Ia dikenal sangat setia kepada Trump. Lagi pula, Ia memegang posisi kunci. Ia adalah pimpinan senat untuk memutuskan serifikasi bagi kemenangan lawan politiknya.
Tapi ketika tradisi demokrasi dipertaruhkan, Pence bersikap. Ia menyatakan tak ingin melawan kehendak rakyat. Nyata sudah. Memang Joe Biden yang menang pemilu.
Wakil presiden Trump, Mike Pence pun melegalkan kemenangan Joe Biden.
Maka, media pun ramai ramai mendorong transisi kekuasaan presiden secara damai.
Ini pelajaran kedua: Self Correcting System dalam demokrasi. Dalam iklim kebebasan, akan lahir sendiri para pembela apa yang benar dan apa yang adil.
Itulah keindahan demokrasi.
-000-
Pelajaran ketiga; Donald Trump di tahun 2016 menang secara demokratis. Bahkan Adolf Hittler pun di puncak kekuasaan menang secara demokratis.
Karena satu dan lain hal, bahkan demokrasi dapat memilih pemimpin yang salah. Kharisma, kemampuan retorik, populisme pemimpin, dan psikologi kolektif masyarakat yang sedang down, dapat menjadi penyebab memilih pemimpin yang salah.
Pelajaran ketiga lebih soal warning: hati- hati memilih pemimpin. Sang pemimpin yang terpilih bisa mengangkat hidup kita. Tapi Ia juga berkuasa merusak tradisi baik yang sudah tertanam sejak lama.
Makin berpengaruh pemimpin itu, jika buruk, makin hebat pula daya rusaknya.
-000-
Selesai sudah drama di Capitol Hill. Selesai sudah kisah banana republik sehari di Amerika Serikat. Selesai sudah era Donald Trump.
Keluar dari kisah di atas, bertambah referensi kita untuk semakim hati hati.
Terutama hati hati dengan tokoh yang gemar memainkan sentimen massa. Baik tokoh itu sekuler. Ataupun tokoh itu pandai berkedok agama.
Red.