Friday, October 18, 2024
HomeOpiniKETIKA IBU TAK LAGI INGAT KAMI
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Related Posts

Featured Artist

KETIKA IBU TAK LAGI INGAT KAMI

Denny JA

Global Cyber News.Com|“You are my sunshine
My only sunshine
You make me happy
When skies are grey
You’ ll never know dear
How much I Love You
Please don’t take
My sunshine away”

Ini lagu popular dunia.
Ketika Oklahoma ditimpa Tornado,
langit menggelap.
Suasana menakutkan.
Anak- anak dikumpulkan para guru.
Untuk menenangkan hati,
Mereka diminta menyanyikan lagu ini. (2)

Tapi di keluarga kami,
lagu ini punya riwayat sedih.
Aku menangis dan terharu.
acapkali mengingatnya.

Ibu, maafkan kami.
Maafkan aku.
Terlambat menyadari.
Kami kadang marah.
Malu. Kesal. Kecewa.

Ibu kadang curiga, berlebihan.
Ibu mengulang- ulang cerita.
Ibu kadang marah.
Tanpa dasar.
Kadang takut.
Tanpa alasan.

Kami baru tahu.
Ternyata itu hanyalah gejala.
Satu dari 10 gejala.
Demensia Alzheimer.

Ya, Allah.
Ibu didiagnosa Alzheimer.
Fungsi otak menurun.
Mempengaruhi memori.
Membuat emosi tak stabil.
Sulit mengambil keputusan.

Ampun, Ibu.
Bahkan kau lupa namaku.
Kau lupa aku.
Anakmu sendiri.
Kau lupa kakak.
Kau lupa Ayah.

Tapi lagu itu Ibu ingat.
Lagu “You are my sunshine.”

Ketika kami kumpul.
Aku, kakak dan Ayah.
Lagu itu yang kami nyanyikan.
Ibu terbata ikut menyanyi.
Pancaran matamu hidup.
Lalu ketika lagu selesai.
Ibu tepuk tangan.
Kami ikut tepuk tangan.

Aku mencoba tersenyum.
Agar Ibu senang.
Tapi hatiku menangis.

Ampun, Ibu.
Maafkan aku.

-000-

Namaku Shinta.
Aku anak bungsu dari lima saudara.
Tak betah di rumah.

Sejak remaja,
Kucari alasan.
Agar tak tinggal di rumah.
Alangkah senangnya.
Jika aku bisa tinggal di luar negeri.
Wow!
Jauh dari rumah ini.

Maka akupun sekolah:
Ke Amerika Serikat.
Ke Australia.
Aku ingin tinggal di luar negeri.
Bekerja di sana.
Hidup di sana.

Alangkah senangnya.
Bebas.
Menjadi diri sendiri.

Maafkan aku Ibu.
Bukan aku tak mencintaimu.
Tapi aku lelah.
Aku juga harus sehat.
Aku bahkan pernah meminta Ayah
menceraikanmu.
Ribut melulu.
Pecah kepalaku.

Di rumah,
Kau terlalu mengatur aku.
Permalukan aku di depan temanku.
Aku tak mau lagi ajak
temanku ke rumah.

Kepada Sonny,
Ibu bertanya:
Apakah Sonny punya mobil yang lebih bagus?
Apakah gaji Sonny lebih besar dari aku?

Ampun Ibu.
Kok bertanya soal itu.
Ibu matre!
Aku malu Ibu.
Sejak saat itu,
Sonny menjauh dariku.

Kepada Adam,
yang baru datang pertama,
Ibu bertanya:
“Kamu cinta sama Shinta?
“Mau menikah dengannya?”

Ibuuuuuuu…
Kenapa acapkali membuatku malu.
Tak pantas Ibu tanya itu.
Adam pun pergi dariku.

Jangan salahkan aku Ibu.
Menjauh darimu,
Aku ingin sehat.

Sudah kurencanakan itu.
Kuliah hingga S3.
Di Australia.
Aku akan mengajar di sana.
Betapa cintaku pada ilmu pengetahuan.
Cintaku pada budaya yang bebas.
Cintaku pada pikiran terbuka.

Kupelajari jurnalisme.
Kupelajari ilmu kesehatan publik.
Aku bergaul.
Membuat jaringan.
Aku juga kerja sosial.

Ya, Tuhan.
Ini surgaku.
Jauh dari Ibuku.
Oh asyiknya.

-000-

Tapi.
Hari itu.
Hidupku berubah.
Aku pulang ke tanah air.
Ayah mengabarkan.
Ibu sakit.
Ada serangan pada ingatan.
Emosi yang tak stabil.
Yang tak lagi fokus.

Ya, Allah
Ibu didiagnosa Alzheimer.

Cepat kutemui Ibu.
Kuharap Ibu memelukku.
Menangis.
Aku akan lebih menangis.
Lebih meraung- raung.

Tapi Ibu berbeda.
Ibu seolah asing padaku.
Bertanya pada Ayah.
Ini siapa?

Ampun Ibu.
Ini aku, Shinta.
Anakmu.
Anak bungsumu.

Seketika.
Seolah aku mendapatkan wahyu.
Persepsiku pada Ibu.
Berubah.
Detik itu juga.

Dan hidupku.
Cita-citaku.
Juga berubah.
Aku hijrah batin.

Kutekadkan diri.
Kukatakan pada hatiku.
Ibu, aku akan menjagamu.
Aku akan di dekatmu.
Menemanimu.
Meringankan sakitmu.
Memaksimalkan kualitas hidupmu.

Aku akan tinggal di Jakarta.
Di sini.
Di rumah ini.
Persetan karirku di luar negeri.
Persetan sekolahku di sana.

Kutemui dokter.
Kutanya apa itu Alzheimer.
Untunglah aku cinta ilmu.
Untunglah aku cepat belajar.
Cepat paham.

Aku ikuti seminar.
Pertemuan internasional.
Semua soal Alzheimer.

Akupun merawat Ibu.
Dengan cinta.
Dengan panduan ilmu.

Ya, Allah
Betapa hidup tak terduga.
Kau bulak balik hati manusia.
Kini hatiku berbalik.
Aku justru ingin dekat dengan ibu.
Surgaku justru di sini.
Di tempat ini.
Di samping Ibuku.

-000-

Tahun ini, 2021.
Anthony Hopkins dapatkan Oscar.
Cukup apik.
Ia perankan The Father.
Seorang Ayah.
Terdiagnosa Alzheimer.

Sudah kulahap begitu banyak film.
Kisah mereka yang Alzheimer.
Ini judul filmnya.
Still Alice.
Away from Her.
The Savages
The Notebook.
Iris: The Memoir of Iris Murdoch.

Bersama seorang sahabat,
Telah pula kutulis buku.
Kisahku dan Ibu.
Tak lupa buku panduan.
Semua soal Alzheimer
Dari A hingga Z.
Berikut semboyannya:
“Jangan Maklum dengan Pikun.”

Akupun mendirikan itu.
Yayasan Alzheimer Indonesia.
Bersama sahabat dan rekan,
multi profesi,
Kami bangun dari Nol.
Kini punya cabang di banyak provinsi.

Aku juga menjadi pengurus.
Alzheimer internasional.
Aku membawahi
banyak negara Asia.

Kubaca kembali data itu.
Hanya sampai tahun 2015 saja.
50 juta manusia terdiagnosa Alzheimer.
Itu akan berlipat jumlahnya.
Menjadi 150 juta di tahun 2050.

Bagaimana di Indonesia?
1.2 juta manusia mengidapnya.
Demensia Alzheimer (4)

Ini tak hanya penyakit lansia.
Tak hanya Usia 65 tahun ke atas.
5 persen terjadi,
pada usia muda.

Alzheimer penyakit mahal.
Membebani ekonomi keluarga.
Membebani ekonomi masyarakat.
Hanya di Amerika Serikat.
Ia habiskan 200 milyar dolar.
Itu sama dengan 2800 trilyun rupiah. (3)

Tapi ada yang lebih mahal,
dibanding sekedar angka.
Orang dengan demensia,
kehilangan dirinya.
Kehilangan orang yang dicintainya.
Ia tak ingat.
Ia cemas.
Ia takut.

Seperti Tornado itu,
Seperti badai topan,
Demensia Alzheimer memporak-porandakan.
Ia mengganggu hubungan suami dan istri.
Satu keluarga terkena dampak.
Juga hubungan dengan tetangga.
Dengan teman.
Bersiaplah
kualitas hidup satu keluarga menurun.

-000-

Di era pandemik.
Aku bekerja di rumah.
Di malam hari.
Ketika sepi.
Sendiri.
Teringat Ibuku.

Malam ini.
Aku menangis.
Dalam sekali.

Maafkan aku Ibu.
Terlambat tahu.
Semua prilakumu
yang dulu membuatku kesal,
Marah
Malu
ternyata itu gejala awal.
Pertanda penyakit Alzheimer.

Seandainya oh seandainya.
Aku tahu lebih awal.
Lebih dini aku merawatmu.
Mungkin kau tak akan separah itu.

Kutatap lagi foto itu.
Menjelang ajalmu.
Ayah masih kuat jiwa raga.
Kau terkulai di kursi roda.

Dulu kau yang gesit di dapur.
Menyiapkan makanan kami.
Memastikan semua tertata.

Kini kau tak bisa apa apa.
Kakak yang menyuapimu makan.
Aku dan Ayah memandikanmu.

“I love you, mom.”
Biasanya kau menjawab:
“I love you more.”
Kini kau hanya diam.
Menatapku kosong.

Ampun Ibu.
Aku rindu kau yang dulu.
Tak apa kau cerewet padaku.
Tapi ada emosi di sana.

Kutatap foto yang dulu.
Aku masih bocah.
Kau timang aku.
Kau peluk- peluk.
Kau cium.

Kau yang pertama mengajari aku soal kehangatan.
Soal cinta.
Tak lewat kata.
Tapi lewat belaianmu.

Aku rindu Ibuku.

Tanpa kau ketahui Ibu,
Kau membuka jalan bagiku.
Jalan untuk aku terbang lebih tinggi.
Agar cepat kubantu
Para Ibu yang lain.
Para Ayah yang lain.
Eyang, Kakek, Nenek, Oma, Opa yang lain.
Semua yang terdiagnosa Alzheimer.

Tanpa kau sadari, Ibu.
Kau memberiku jalan.
Jalan agar aku lebih kuasa.
Menggerakkan relawan di sana.
Memberdayakan Para caregivers.
Mereka yang bekerja dengan hati.
Agar semakin banyak pertolongan.
Bagi yang membutuhkan.

Betapa inginku.
Pelatihan caregiver masuk kurikulum sekolah.
Betapa harapku.
Hidup sehat menjadi pengetahuan umum.

Betapa mimpiku.
Anak muda peduli.
Menghargai orangtua.
Menjalani hidup sehat,
sedini mungkin.

Ibu sudah lama wafat.
Tapi Ibu selalu hidup di hatiku.
Sesuai lagu itu.
“You are my sunshine.
My only sunshine.

Red.

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Latest Posts