
Global Cyber News.Com|Membangun negara walfarestate (yang mengutamakan kesejahteraan bagi segenap warga bangsa) Indonesia selaras dengan UUD 1945 (alinea ke 4). Rakyat yang makmur dan sejahtera adalah merupakan salah satu dari cita-cita kemerdekaan Indonesia.
Dalam pasal 27 (ayat 2) menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk mendapatkan pejerjaan dan setiap orang yang bekerja itu berhak mendapatkan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Ini artinya, pemerintah berkewajiban memberi dan meyediakan pekerjaan bagi semua warga negara dan wajib untuk menjamin bahwa semua warga negara yang bejerja itu mendapatkan penghidupan yang layak bagi kemanusiaannya.
Untuk mewujudkan kehidupan yang layak bagi manusia Indonesia dalam kajian hukum perburuhan akan sangat tergantung pada hubungan industrial yang dibangun dan ditata oleh pemeritah bersama organisasi buruh dan pegusaha. Karena itu penegakan
Hukum menjadi sangat penting menjadi landasan pengejawantahan amanah UUD 1945 khusus dalam pasal 27 (ayat 2) terkait dengan revolusi mental dalam konteks untuk mewujudkan walfarestate.
Dalam UU N. 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan mulai dikacaukan oleh istilah buruh yang diganti dengan sebutan pekerja. Karena sebutan untuk buruh telah berhasil distigma oleh Orde Baru sebagai sebutan yang berkenotasi buruk, jelek, kumuh dan perusuh. Padahal intinya hanya untuk memecah persatuan buruh yang solid dan kuat sebagai kekuatan penekan ketika kaum buruh dan serikat buruk terpaksa harus melakukan perlawanan terhasap kebijakan atau keputusan yang dipaksakan secara sepihak, sehingga dapat merugikan kaum buruh maupun setikat buruh.
Oleh karena itu, revolusi mental yang pernah digaungkan Presiden Joko Widodo sangat bagus untuk diwujudkan, bukan sekedar slogan dengan melakukan perubahan secara menyeluruh meliputi semua aspek yang berkaitan dengan pemahaman yang menggradasi makna dari apa yang sesungguh-sungguhnya yang dimaksud.
Istilah untuk
Kementerian ketenagakerjaan dan tenaga kerja itu sendiri jelas mendiskreditkan istilah buruh hingga untuk menyebut istilah itu dalam pengertian hukum maupun perundang-undangan serta ragam anak dari turunannnya jadi terkesan sungsang. Akibat dari istilah itu jadi menyebabkan semua masalah perburuhan masuk dalam koordinasi Menko Perekonomian, tidak masuk pada pengasuhan Menko Kesejahteraan Rakyat.
Konsekuensinya, masalah perburuhan yang dimasukkan pada koordinasi bidang ekonomi, maka buruh dengan
masalah yang ada di dalamnya cenderung dilihat dengan angka-angka yang merugi atau untung. Tidak dari perspektif sosio-budaya dan kesejahteraan bagi rakyat yang layak bagi kemanusiaan.
Dimensi non-materi serupa ini, tentu saja sulit untuk diuraikan bagaimana jarak jangkauannya jadi semakin jauh dari walfarestate. Jadi jelas revolusi mental dan spiritual untuk menggapai walfarerstate tak bisa cuma basa-basi bekaka. Ia harus maujud nyata dalam sikap dan perbuatan pada hidup dan kehidupan segenap warga bangsa sehari-hari. Bukan basa-basi.
Jakarta, 19 Juni 2021
Red.








