Penulis : Andi Salim
Global Cyber News.Com|Banyak cerita dibalik sebuah kepemimpinan, apalagi terkait dengan level struktural yang menyebabkan berjaraknya kedekatan antara atasan dan bawahannya. Apalagi jika dikaitkan pula dengan penilaian sikap dari seorang ketua umum, entah itu ketua apa saja, terlebih lagi ketua umum partai besar dan pemenang pemilu yang berhasil menempatkan kadernya selaku kepala daerah atau malah duduk di tampuk pimpinan tertinggi negeri ini, tentu saja polemik datang meski pun tidak diundang. Oleh karena setiap mata tertuju padanya, walau tidak sering namun pada waktunya momentum itu akan menghampirinya untuk mengupas dari sudut mana sang ketua umum itu akan dikuliti secara tuntas, walau fakta kebenarannya tertinggal jauh dibelakang dari sempitnya informasi yang terungkap.
Ibarat seperti kedudukan seorang hakim terhadap perkara kasus persengketaan, dimana sidangnya pun belum digelar, namun seolah-olah masyarakat telah menudingnya akan memutuskan perkara tersebut untuk memenangkan salah satu pihak. Sehingga, sekalipun keputusannya dilandasi pada pertimbangan yang cermat agar memutuskan perkara tersebut secara adil, namun tudingan masyarakat yang telah mendahuluinya itu seolah-olah sosok hakim tersebut berdiri pada salah satu pihak. Tentu saja ini menjadi keliru yang justru menjadi fakta ketidakadilan sesungguhnya. Kenyataan ini menjadi fenomena bagi kepemimpinan Megawati saat ini yang duduk sebagai Ketua Umum PDI Perjuangan terhadap partai besutannya sendiri.
Perjalanan karir seseorang dibalik kerja keras dan hubungan organisatoris dari setiap anggota yang aktif di dalam suatu organisasi tertentu dapat dipastikan mempunyai kepentingan pada tujuannya untuk membesarkan organisasi tersebut sebagai tempat bernaung dari segala aktifitas para kadernya. Sikap saling percaya antara kader dan ketua umumnya menjadi alasan terhadap maju mundurnya suatu organisasi. Sebab tanpa anggota mustahil sebuah organisasi akan dijalankan sendiri oleh seorang ketua umum, demikian pula tanpa ketua umum ibarat raga tanpa kepala yang tentu saja semakin ambyar serta bias pada sasaran yang akan ingin dicapainya dari visi dan misi yang dituangkannya. Sehingga bobot suatu organisasi itu akan terlihat bagaimana kepalanya menciptakan reaksi sebuah pergerakan, serta pelaksanaan ditingkat anggota yang tepat akan sasaran dan tujuannya.
Faktor internal dan eksternal seringkali mendatangkan polemik bagi hubungan antara ketua umum dan anggotanya, sebab kedua-duanya acapkali bersentuhan pada zona itu. Bagaimana pun, sebuah Organisasi akan dipengaruhi oleh lingkungan yang memiliki sistem yang terbuka terhadap lingkungan sosial, politik, ekonomi serta berbagai variabel lainnya, sehingga membutuhkan support kebijakan dari sulitnya mempengaruhi kondisi lingkungan tersebut. Apalagi hal itu mutlak diluar pengendalian yang sepenuhnya bisa dilakukan oleh para pihak. Sehingga faktor inilah yang sering dibawa kedalam dinamika organisasi agar segala persoalan yang berkembang itu di responsif melalui kebijakan dan penyesuaian yang dikehendaki oleh para pihak pada akhirnya.
Persaingan para kader organisasi ini menjadi hal yang tak terhindarkan, baik di antara para pengurus pusat dan daerah, daerah dan daerah, mau pun di tingkat internal daerah masing-masing atau di pusat itu sendiri. Namun hakekatnya hal itu menjadi tugas para ketua-ketua daerah atau pun oleh ketua umum yang harus turun tangan guna memecahkan kondisi persoalan internal semacam ini, jangan sampai menggangu kegiatan organisasi tersebut. Bahkan tak jarang jika hal itu dibiarkan, maka akan terbawa ke tingkat pusat hingga membelah keutuhan organisasi tersebut. Kondisi ini banyak di alami oleh berbagai organisasi, termasuk pada partai politik seperti Hanura, PPP, PAN dan seluruh partai-partai lainnya. Termasuk dinamika yang saat ini menjadi sorotan publik terhadap sosok capres yang akan direkomendasikan partai PDI Perjuangan sebagai peserta pilpres 2024 nanti.
Persaingan antara Ganjar Pranowo yang diusung oleh sebagian konstituennya yang tersebar baik di internal partainya sendiri mau pun dari masyarakat luas diberbagai daerah seolah-olah menutup pintu kehadiran Puan Maharani untuk sama-sama memiliki hak dalam berkontestasi pada keikutsertaannya mencalonkan diri sebagai capres untuk seterusnya mendapatkan rekomendasi partai PDIP secara fear sebagaimana layaknya kesempatan karir bagi seorang kader partai politik. Selain dirinya mewakili sosok perempuan Indonesia yang memiliki pengalaman panjang didunia politik, beliau juga telah mengecap berbagai kedudukan yang pernah diembannya, sebut saja tahun 2009 selaku anggota DPR-RI, Ketua Fraksi PDIP 2012-2014, dan Menko PMK 2014-2019 dan hingga saat ini menjabat ketua DPR-RI dengan masa jabatan 2019-2024 nanti.
Semua prestasinya tersebut seakan sirna yang dihempaskan oleh publik dengan begitu saja tanpa mengindahkan rekam jejaknya yang panjang dan sarat akan raihan prestasi sebagai kader partai yang telah membesarkannya. Berbagai keharaman politik pun dirasakan olehnya, baik takdirnya sebagai anak kandung dari Megawati Soekarnoputri yang akan sarat bayang-bayang karir politiknya, mau pun isu gender perempuannya yang sering dianggap manja, lemah dan acapkali diprediksi akan jatuh pada romantika cinta dan kasih sayang, sehingga faktor tersebut begitu menghantui perempuan Indonesia yang memang belum sepenuhnya dihalalkan bangsa ini untuk menjadi seorang pemimpin, khususnya sebagai Presiden untuk dipilih langsung oleh masyarakat Indonesia, termasuk dibeberapa negara lain didunia.
Melalui pernyataan yang disampaikan Megawati dengan menyebut beberapa tokoh-tokoh perempuan baik ditingkat lokal, nasional bahkan internasional, beliau menyampaikan tegurannya kepada bangsa Indonesia agar tidak lagi mendeskreditkan keberadaan perempuan agar berkarir diberbagai bidang, termasuk menghadirkannya sebagai pemimpin negeri ini. Apalagi dibalik sulitnya mendapati pemenuhan kuota perempuan diberbagai lembaga pemerintah, oleh karena jeratan budaya dan agama yang membelenggunya. Sehingga kiprah perempuan Indonesia tidak akan pernah ditemukan untuk menghiasi perpolitikan di tanah air. Walau pada pernyataannya tersebut seolah-olah menegaskan majunya Puan Maharani sebagai capres PDI Perjuangan, namun dibalik itu sesungguhnya dengan terpaksa beliau akan mengkandaskan putrinya tersebut untuk ikut berkontestasi pada pilpres 2024 yang akan datang.
Kita seringkali menginginkan agar azas demokrasi dipraktekkan dan dijalankan secara tegak lurus dan sempurna, akan tetapi pilar-pilar demokrasi yang membutuhkan dorongan bagi kebebasan memilih dan dipilih masih saja membelenggu bangsa ini. Teguran dari pernyataan Megawati sesungguhnya harus direnungkan secara arif dan bijaksana, sebab beliau tidak sedang meng-endorsement putrinya untuk disetujui publik agar meraih tiket pilpres demi memenangkan kontestasi terhadap lawan politiknya, namun pernyataannya itu lebih mengusik para tokoh-tokoh bangsa dan masyarakat Indonesia bahwa keberadaan perempuan adalah potensi bagi kemajuan bangsa ini yang tidak boleh diendapkan demi mendapatkan akselerasi lingkungan sebagaimana yang penulis sebutkan diatas, yaitu ekonomi, politik, sosial dan lainnya, agar Indonesia meraih sasaran kejayaannya.
Red.