Monday, August 11, 2025
HomeNasionalD. REVOLUSI SOSIAL DI SIMALUNGUN
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Related Posts

Featured Artist

D. REVOLUSI SOSIAL DI SIMALUNGUN

  1. Kerajaan Panei
    globalcybernews.com-Pada masa itu yang memerintah di Panei adalah Tuan Bosar Sumalam Purba Dasuha. Pada hari Minggu pagi, 3 Maret 1946 Tuan Mailan Purba Dasuha, anak tertua Tuan Marjandi adik kandung Raja Panei (Tuan Anggi Panei) menginformasikan kepada keluarga Raja Panei di Pamatang Panei bahwa akan terjadi gerakan revolusi sosial terhadap raja-raja dan sultan-sultan, ia mengimbau supaya raja dan keluarga segera menyelamatkan diri ke rumah pesanggerahan Raja Panei di Jl. Sekolah (sekarang Jl Sudirman) Pamatang Siantar.

Pada hari itu juga Tuan Naga Panei (berdasarakan informasi dari Richard Nainggolan) melaporkan kepada Raja Panei bahwa A. E. Saragih Ras dan laskarnya yang sudah terlatih akan datang menculik dan menjarah ke istana raja, supaya raja maklum dan segera menyelamatkan diri. Anehnya, meskipun Raja Panei sudah mengetahui akan kedatangan pasukan BHL pimpinan iparnya sendiri yaitu A. E. Saragih Ras, namun dia tidak pergi menyelamatkan diri ke Pamatang Siantar. Pihak istana hanya melakukan tindakan antisipatif dengan menempatkan pengawal yang terdiri dari laksar Pesindo dengan pengawalan Raja Muda Panei Tuan Margabulan Purba Dasuha dan adik-adiknya yang sudah dewasa.

Menurut Tuan Kamen Purba, abangnya Raja Muda pada waktu itu sudah aktif di pasukan Marsose yang berjuang melawan Belanda. Rakyat yang berkumpul pada waktu itu di sekitar istana menjaga keselamatan raja dan keluarganya. Tuan Aliamta Purba yang masih berumur 5 tahun pada waktu itu sedang sakit dikelilingi oleh kelurga besar raja. Tengah malam tiba-tiba listrik padam, rupanya pasukan BHL sudah mengepung istana. Pasukan pengawal tidak berdaya menghadapinya, ada yang tewas dan sebagian diikat. Pasukan BHL berjumlah lebih kurang 50 orang itu naik ke istana, mereka tidak berbicara dan memakai penutup wajah. Serempak mereka masuk dan menjarah seluruh istana raja membawa karung masuk ke dalam kamar perbendaharaan raja, mengambil emas banyak sekali dari peti, uang perak gulden dan uang kertas Jepang.

Senjata revolver milik Raja Muda turut dirampas. Seluruh isi istana dijarah, Raja Panei Tuan Bosar Sumalam Purba dan kedua anaknya yaitu Tuan Margabulan Purba (Raja Muda) dan Tuan Jautih Purba serta seluruh perempuan dewasa diikat tangannya. Ditambah 28 rakyat yang tidak rela meninggalkan rajanya turut diikat, mereka kemudian dinaikkan ke dalam 2 unit truk. Iringan BHL berjalan menuju ke Tigaras, sepanjang perjalanan Raja Panei disiksa dan akhirnya seluruh rombongan dibunuh dengan sadis di Nagori dekat Tiga Sibuntuon. Raja Panei yang kebal dengan senjata tajam dibunuh dengan cara ditombak melalui duburnya hingga mengenai leher, setelah itu kepalanya dipenggal dan lidahnya dicabut paksa.

Demikian juga kedua anaknya juga dibunuh dengan cara dipenggal. Beruntung anaknya yang lain yaitu Tuan Margaidup Purba, Tuan Iden Purba, Tuan Abraham Purba, dan adik-adiknya berhasil melarikan diri dari istana menuju Naga Huta melewati kebun teh ke tempat markas tentara Jepang yang pada minggu siang sempat berkunjung ke istana. Dari sana mereka berangkat ke Pagar Jawa dan dijemput pasukan TRI dan diamankan di Pamatang Siantar (rumah Tuan Maja Purba Bupati Simalungun). Anak Raja Panei yang lain Tuan Kamen Purba pada malam itu bersama dengan Inang Bona, isteri Raja Panei sedang berada di ladang di Naga Huta.

Sementara abangnya Tuan Nalim Purba sedang bersekolah di Pamatang Siantar. Rumah pesanggerahan raja Panei di Jl. Sekolah (sekarang Jl. Sudirman) sudah dikuasai BHL dan dijadikan markas mereka. Mobil pribadi Raja Panei dirampas dan dipakai Urbanus Pardede yang sudah mengkudeta Tuan Maja Purba sebagai Bupati Simalungun. Harta Raja Panei habis disikat dan istana (rumah panggung berarsiterktur semi Melayu) kemudian dibakar atas pimpinan seorang marga Sinaga. Sedangkan Rumah Bolon yang merupakan istana lama utuh tetapi puluhan tahun tidak terawat runtuh dimakan usia, karena ketiadaan perawatan.

Sesudah berita penculikan Raja Panei terdengar oleh TRI, maka tentara pun mengejar jejak BHL ke arah Saribu Dolog dan Tigaras. Akhirnya mereka menemukan mayat keluarga aristokrat Panei berikut rakyatnya sudah tewas mengenaskan di Sibuntuon. Mayat Raja Panei kemudian dimakamkan di dekat istananya yang sudah rata dengan tanah di Pamatang Panei, berikut seluruh keluarga dan rakyat kerajaan yang ikut jadi korban. Sampai Raja Panei meninggal, dia masih bertahan dengan agama animisme. Namun sebelum meninggal ia sedang menunggu kedatangan muballigh yang akan mengislamkannya. Selain keluarga Raja Panei, para pejabat di lingkungan kerajaannya juga ikut dibantai yaitu Anak Boru Panei Tuan Jademan Saragih Garingging dari Dolog Saribu (ayah Prof. Dr. Boas Saragih), kemudian Tuan Naga Panei Tuan Jamonang Purba Sidadolog juga tewas dibunuh. Pembantaian terhadap keluarga Raja Panei terus berlanjut hingga bulan April 1947, putera-putera raja Panei yang sudah aktif di perjuangan yaitu Tuan Margaidup Purba akhirnya tewas dibunuh BHL, menyusul Tuan Kortas dari Marjandi dan Tuan Mintari Purba kerani Kerajaan Panei. Nyaris saja seluruh keluarga bangsawan Panei punah bila tidak diselamatkan dengan sangat rahasia di Belawan.

  1. Tanoh Jawa
    Raja Muda Tanoh Jawa Tuan Omsah Sinaga dan saudaranya Raja Tanoh Jawa Tuan Kaliamsyah Sinaga selamat dari penculikan BHL, karena saat itu mereka berada di Pematang Siantar. Tetapi saudaranya Tuan Dolog Panribuan yaitu Tuan Mintahain Sinaga dan puteranya Raja Muda Tuan Hormajawa Sinaga (ayah Mayor Jatiman Sinaga) tewas dibunuh BHL beberapa bulan kemudian, yaitu 16 Agustus 1946. Menurut Killian Lumbantobing, mayatnya dicincang dan dicampur dengan daging kerbau serta disuguhkan untuk santapan pasukan BHL. Menurut Tuan Gindo Hilton Sinaga masih banyak korban revolusi sosial di Tanoh Jawa yang masih belum terungkap.
  2. Kerajaan Siantar
    Pemangku raja Siantar Tuan Sawadin Damanik luput dari pembunuhan BHL, karena pada waktu itu beliau berada di rumahnya di Pamatang Bandar dilindungi oleh pendatang Batak Toba yang menggarap sawah di sana. Tetapi di Sipolha, beberapa kaum bangsawan tewas dibunuh, termasuk Tuan Sipolha yaitu Tuan Sahkuda Humala Raja Damanik (ayah Tuan Jabanten Damanik). Bangsawan di Sipolha yang paling banyak mengalami pembantaian oleh BHL, berhubung dengan lokasinya yang relatif lebih terisolir di pantai Danau Toba, jauh dari pengawasan TRI. Banyak keluarga Tuan Sipolha yang menyelamatkan diri ke daerah Parapat bahkan mengungsi sampai ke luar negeri. Diperkirakan ada ratusan korban tewas dibantai oleh BHL di Sipolha.

Tuan Sidamanik sendiri yaitu Tuan Ramahadim Damanik bersama Raja Muda Sidamanik yaitu Mr. Tuan Djariaman Damanik sudah mengetahui gelagat buruk ini, mereka menyingkir ke Pamatang Siantar. Setelah bermufakat di rumah pesanggerahan Tuan Sidamanik bersama Tuan Bisara Sinaga dari Jorlang Hataran, Tuan Baja Purba dari Dolog Batu Nanggar, dan Tuan Jansen Saragih dari Raya Kahean mereka pergi berlindung ke kantor polisi RI. Beberapa hari kemudian Tuan Jariaman Damanik menemukan buku kecil berwarna merah beredar di kota Pamatang Siantar yang berjudul “Revolusi Perancis dan Revolusi Soviet” di sampul terdapat lukisan palu arit yang merupakan simbol partai komunis. Melihat keadaan yang semakin memanas, Tuan Jariaman Damanik memilih berangkat ke Tapanuli bergabung dengan TKR RI atas saran Komandan TKR Pamatang Siantar Rikardo Siahaan.

  1. Kerajaan Purba
    Meskipun Raja Purba Tuan Mogang Purba telah mengungsi ke Markas Langit bersama anaknya Tuan Jamin Purba, tetapi keduanya tewas secara misterius. Tuan Jamita Purba dan Tuan Lintar Purba tewas disekitar Tigaras. Semuanya berlangsung di sekitar bulan April tahun 1947. Pantai Haranggaol pada masa itu dikabarkan penuh dengan mayat-mayat manusia yang tewas dibantai dengan sadis, sampai-sampai orang tidak mau memakan ikan dari danau Toba, karena sering kedapatan jari manusia dalam perut ikan. Pada tahun 1947 pemangku Kerajaan Purba Tuan Karel Purba tewas terbunuh oleh BHL di Haranggaol. Anaknya Tuan Maja Purba pejabat pemerintah RI pernah menjadi Bupati Simalungun dan pejabat Gubernur Sumatera Utara. Adapun keturunan Raja Purba yang selamat yaitu Mr. Tuan Jaidin Purba pernah menjabat sebagai walikota Medan. Kemudian Tuan Jomat Purba, terakhir Kolonel TNI aktif memimpin pasukan Blaw Pijper Negara Sumatera Timur.
  2. Kerajaan Silima Huta
    Raja Silima Huta Tuan Padiraja Purba Girsang yang sudah aktif di Markas Agung juga tewas dan tidak diketahui di mana makamnya, sewaktu mengungsi ke Tanah Karo. Bersama beliau turut tewas dokter pertama Simalungun dr. Jasamen Saragih. Konon mayat Raja Silima Huta dihanyutkan di sungai Lau Dah dekat Kabanjahe. Turut juga ditangkap Pangulubalei Jaudin Saragih dan ditahan di Raya Berastagi tetapi beliau mujur masih hidup diselamatkan oleh TRI.
  3. Kerajaan Raya
    Nasib naas menimpa pemangku Raja Raya Tuan Jaulan Kaduk Saragih Garingging gelar Tuan Raya Kahean. Beliau seorang maestro seni Simalungun dan perintis pembangunan jalan penghubung Sondi Raya-Sindar Raya. Semasa dia menjabat sebagai penguasa swapraja di Raya sungguh banyak pembangunan yang dirasakan masyarakat seperti pengadaan listrik dan air minum serta transportasi bus yang diberi nama “Sinanggalutu” dengan rute Pamatang Siantar-Pamatang Raya. Beliau ditangkap pasukan BHL sewaktu menghadiri acara keluarga saudaranya Tuan Manak Raya, bersama Opas Radan Sitopu dan Penilik Sekolah (Schoolopziner) Saulus Siregar. Ketiganya ditangkap dan dibawa ke bawah jembatan Bah Hutailing (dekat Sirpang Sigodang). Opas Radan Sitopu dapat meloloskan diri dengan berpura-pura mati dan menjatuhkan dirinya ke sungai, sedangkan Saulus Siregar dan Tuan Jaulan Kaduk tewas dipenggal lehernya dan dihanyutkan ke sungai Bah Hutailing tersebut.

Mayat mereka kemudian ditemukan oleh TRI dan dibawa ke Pamatang Siantar dan dimakamkan secara agama Kristen. Keturunannya yang terkenal di antaranya adalah Tuan Bill Amirsjah Rondahaim Saragih (Bill Saragih) yang dikenal sebagai seorang komponis jazz yang lama berdiam di Australia dan Prof. Dr. Bungaran Saragih, M.Si mantan Menteri Pertanian RI era Presiden Abdurrahman Wahid. Adapun Tuan Anggi Raya yaitu Tuan Pusia Saragih Garingging memilih gantung diri daripada ditangkap oleh BHL. Keluarga bangsawan Raya lainnya ada yang melarikan diri ke hutan atau tempat yang aman. Selain kaum bangsawan, orang-orang di luar kerabat kerajaan juga ikut terbunuh seperti Bisa Lingga, Willem Saragih, Bungaronim Damanik, dan Parudo Girsang. Sasaran BHL bukan hanya kaum bangsawan, tetapi juga mereka yang kebetulan posisinya sebagai pejabat sipil, tenaga medis (dokter, mantri, bidan), guru bahkan mereka yang busananya terlihat kebarat-baratan juga ikut menjadi korban.

Pada tanggal 5 Maret Wakil Gubernur Sumatera dr. Muhammad Amir mengeluarkan pengumuman bahwa gerakan itu adalah “Revolusi Sosial” dan memberikan penjelasan sebagai berikut:

“Untuk mengerti kejadian yang hebat sekarang (Revolusi Sosial) di Sumatera Timur, haruslah diketahui bahwa di seluruh pulau Sumatera semenjak beribu tahun ada susunan demokrasi di kampung dan hutan dan nagari, kecuali di Sumatera Timur yang sampai sekarang masih menjadi sarang dan benteng feodalisme (pemerintahan keningratan). Di luar Sumatera Timur, rakyat jelata selama terbentuknya Negara Republik Indonesia (NRI) adalah rakyat yang merdeka dan dibela oleh grondwet (Undang-Undang Dasar Republik Indonesia), pemerintah, laskar Republik. Rakyat Sumatra Timur hidup dalam “daerah-daerah istimewa” (kerajaan, landscap di bawah pemerintahan raja-raja, datuk-datuk, dan lain-lain, kaum feodal yang umumnva tidak suka pada pergerakan rakyat dan tidak suka pada republik. Antara mereka banyak pula yang dengan terang-terangan atau bersembunyi mengatur perlawanan untuk menentang NRI dan berhubungan dengan NICA. Setelah rakyat dengan barisan-barisannya melihat hal-hal pengkhianatan itu, maka mereka dengan segera bertindak dengan tak sabar lagi membantu pemerintah, menyapu bersih musuh-musuh negara itu dan rakyat menuntut supaya daerah-daerah istimewa, benteng feodal yang telah menyawa dengan musuh-musuh negara dan kapitalisme asing itu, dengan segera supaya NRI di seluruh Sumatera ini ditegakkan atas sendi-sendi yang betul, menurut grondwet NRI, kedaulatan rakyat, dan kesejahteraan sosial.”

Esoknya tanggal 6 Maret 1946 ia mengangkat Muhammad Yunus Nasution (Ketua PKI Sumatera Timur) sebagai Residen Sumatera Timur. Untuk meminimalkan korban Revolusi Sosial, Yunus Nasution untuk sementara waktu bekerja sama dengan BP KNI maupun Volksfront dan Mr. Luat Siregar ditunjuk menjadi Juru Damai (Pacifikator) untuk seluruh wilayah Sumatera Timur dengan kewenangan seluas-luasnya. Dalam suatu rapat raksasa di dekat Mesjid Raya Medan yang dihadiri oleh Residen Sumatera Timur M. Yunus Nasution, rakyat mendesak Komite Nasional Indonesia wilayah Deli untuk menghapuskan daerah istimewa, mereka menyerukan: “Hapuskan daerah istimewa! Hapuskan pemerintah Kesultanan Deli! Dirikan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat!.” Akhimya diproklamasikan penghapusan daerah istimewa Deli, kemudian tanggal 8 Maret disusul penghapusan daerah istimewa Simalungun, Bilah, dan Panai.

Pemerintah pusat melalui Komite Nasional Indonesia tidak membenarkan aksi pembantaian tersebut. Para menteri seperti Sultan Hamengkubowono IX, Mrs. Maria Ulfah Santoso, Mr. Mohammad Roem, dan Mr. Syafruddin Prawiranegara pernah berjanji bahwa para keluarga korban revolusi sosial tahun 1946 akan dikembalikan kehormatannya dan harta benda mereka dikembalikan oleh negara.

Di bawah ini saya lampirkan beberapa foto raja-raja di Simalungun yang terbunuh pada peristiwa Revolusi Sosial, 3 Maret 1946 hingga 1947.

  1. Raja Panei, Tuan Bosar Sumalam Purba Sidasuha.
  2. Raja Purba, Tuan Mogang Purba Sidapakpak.
  3. Raja Silima Huta, Tuan Padiraja Purba Girsang.
  4. Raja Raya, Tuan Jaulan Kaduk Saragih Garingging.

Penulis: Masrul Purba Sidasuha, S. Pd

Red.

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Latest Posts