Sunday, July 20, 2025
HomeSejarahI Gusti Ngurah Rai
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Related Posts

Featured Artist

I Gusti Ngurah Rai

globalcybernews.com Salah satu yang dilakukan bersama pasukannya untuk mengatasi keterbatasan persenjataan, Ngurah Rai memutuskan untuk merebut sejumlah senjata dan amunisi dari musuh. Barak polisi kolonial di Kabupaten Tabanan dianggap sebagai target yang tepat. Ia mendapatkan informasi dari kepala polisi bernama Wagimin, yang merupakan pendukung rahasia dan informan dari gerilyawan bahwa di barak tersebut terdapat banyak senjata dan amunisi. Bersama 95 pejuang “Ciung Wanara” dan 300 simpatisan dari kalangan petani desa, Ngurah Rai beraksi. Tepatnya aksi itu dilakukan pada 18 November 1946, dan mendapatkan perlawanan minimal dari polisi, sehingga bisa menyita senjata dan amunisi berupa 36 karabin, 2 senapan mesin bren, 2 senapan mesin ringan, dan 8 ribu butir amunisi. Wagimin, yang memainkan peran penting dalam keberhasilan operasi, akhirnya bergabung dengan resimen “Ciung Wanara”.

Setelah melengkapi persenjataan mereka dan membubarkan milisi petani pembantu, para gerilyawan mundur ke kamp yang telah disiapkan sebelumnya di dekat Desa Marga, yang terletak di daerah pegunungan sekitar 40 kilometer sebelah utara Denpasar. Keesokan harinya, kamp “Ciung Wanara” ditemukan oleh Belanda dan sehari kemudian, pada 20 November, diserang dengan melibatkan pesawat yang diterbangkan dari Makasar, serta unit infanteri tambahan yang segera dikerahkan dari Pulau Lombok.

Setelah bentrokan pertama yang terjadi sekitar pukul 10.00, para pejuang yang berusaha menghindari pengepungan berusaha mundur dari medan pertempuran dalam kelompok-kelompok kecil melalui ladang jagung yang mengelilingi Desa Marga. Namun, upaya ini gagal, pasukan menderita kerugian besar dan terpojok di dekat ngarai gunung. Tawaran Belanda untuk menyerah ditolak dan dalam pertempuran berikutnya, yang berlangsung sekitar pukul 14.00 hingga 17.00, semua pejuang Ciung Wanara, termasuk Ngurah Rai, tewas.

Kenapa pasukan Ciung Wanara Tewas semua? I Gusti Gurah Rai meminta rekan-rekannya untuk melakukan perlawanan puputan—perlawanan habis-habisan yang berakhir dengan kematian di tangan musuh. Peristiwa itu dikenal sebagai Puputan Margarana, yang merupakan bentrokan terbesar selama perang kemerdekaan di Bali. Pengorbanan mereka tak sia-sia. Kematian Rai dan rekan-rekan terdekatnya berkontribusi pada peningkatan sentimen anti-Belanda di kalangan orang Bali. Selain itu, dampak lain dari kematian Ngurah Rai adalah perubahan nyata dalam komposisi sosial di puncak perlawanan anti-Belanda. Pada awalnya, sebagian besar pasukan terdiri dari perwakilan masyarakat Bali kasta atas. Setelah kematian Ngurah Rai dan rekan-rekan terdekatnya, sebagian besar peran penting dalam gerakan anti-kolonial dipegang orang-orang yang berasal dari golongan rakyat biasa, selain juga dari golongan bangsawan.

Dahsyatnya peristiwa Puputan Margarana masih bisa dikenang dengan mengunjungi pemakaman para pejuang yang terlibat. Terdapat 1.371 orang dimakamkan, yang meliputi 64 prajurit reguler TNI, 1.296 sukarelawan sipil dalam gerakan gerilya, dan 11 militer Jepang yang memihak Republik Indonesia dan ikut serta dalam perlawanan anti-Belanda. Satu batu nisan didirikan untuk mengenang seorang prajurit yang tidak dikenal. Semua batu nisan memiliki jenis yang sama, namun batu nisan Ngurah Rai lebih besar dan diletakkan di depan yang lain, tersusun berjajar. Nama-nama pasukan yang gugur diukir di dinding marmer di sebelah kuburan. Selain pemakaman dan monumen, kompleks ini juga memiliki museum sejarah gerakan perjuangan Bali.

Pada 1954, Ngurah Rai secara anumerta dipromosikan menjadi kolonel. Pada 1975, dengan keputusan Nomor 06 tanggal 9 Agustus 1975, ia dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. Pada dekrit yang sama, ia sekali lagi secara anumerta dipromosikan ke pangkat brigadir jenderal, dan juga dianugerahi salah satu bintang militer tertinggi yaitu Bintang Mahaputra, tingkat ke-4.

Untuk mengenang jasa-jasanya, nama I Gusti Ngurah Rai diabadikan sebagai nama Bandara Internasional di Bali, universitas, dan stadion yang berada di Denpasar dinamai dengan nama Ngurah Rai. Namanya juga di dijadikan nama-nama jalan di Denpasar dan banyak daerah Bali lainnya, serta di beberapa kota di luar Bali, termasuk di ibu kota Indonesia, Jakarta. Potret Ngurah Rai juga ditampilkan pada uang kertas Indonesia dalam dua desain, masing-masing diterbitkan pada 2005-2011 dan 2011-2016.

TENTANG I GUSTI NGURAH RAI

Ia lahir pada 30 Januari 1917 di Desa Carangsari, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung, Bali selatan. Ia berasal dari sebuah keluarga bangsawan. Ayahnya menjabat sebagai Camat Petang. Kedudukan resmi dan kekayaan materi sang ayah memungkinkan untuk mengirimkannya untuk belajar di HIS Denpasar, kemudian MULO di Malang, Jawa Timur untuk melanjutkan pendidikan di sekolah menengah Belanda (Belanda: Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, MULO). Namun, Ngurah Rai tak merampungkan pendidikan terakhirnya setelah kematian ayahnya pada 1935. Peristiwa tersebut membuat Ngurah Rai harus kembali ke Bali.

Pada 1 Desember 1936, ia masuk sekolah perwira Korps Prajoda yang terletak di Kabupaten Gianyar. Setelah lulus dari sekolah militer dengan pangkat letnan dua pada 1940, Ngurah Rai dikirim ke Corps Opleiding Voor Reserve Officieren (CORO) di Magelang dan kemudian Pendidikan Artileri di Malang.

Ketika pasukan Jepang datang di Bali, Korps Prajoda merasa tak mampu melakukan perlawanan dan bubar. Ngurah Rai awalnya cukup setia kepada Jepang dengan harapan bahwa Jepang bisa membawa perubahan. Ia bergabung dengan cabang perusahaan transportasi Jepang Mitsui Busan Kaisa, yang dibuka di Bali. Di sana, ia mengatur pasokan beras dan barang-barang lainnya ke Jepang. Namun, Ngurah Rai semakin yakin bahwa pendudukan Jepang hanya memperburuk keadaan penduduk Bali.

Pada 1944, Ia bergabung dengan gerakan bawah tanah anti-Jepang dan mulai bekerja sama dengan dinas intelijen sekutu. Ia sempat dicurigai dan ditahan oleh polisi angkatan laut Jepang. Namun, karena kurangnya bukti, dia dibebaskan setelah tiga hari ditahan.

Setelah Jepang menyerah pada sekutu dan proklamasi diumumkan ia segera mendukung kemerdekaan secara terbuka. Ia bekerja sama dengan I Gusti Ketut Pudja selaku gubernur Kepulauan Sunda Kecil membentuk angkatan militer dan polisi di Bali. Ia berhasil membentuk 13 kompi misili yang akhirnya dinyatakan sebagai subbagian struktural TKR. Selanjutnya Ngurah Rai terpilih sebagai komandan “pasukan TKR di Kepulauan Sunda Kecil”.

Pasca-kekalahan Jepang oleh Sekutu, Belanda ingin menjajah kembali Indonesia. Tentara Belanda yang tergabung dalam resimen “Gajah Merah”, yang mencakup banyak perwira yang secara pribadi mengenal Ngurah Rai dari dinas di Korps Prajoda, termasuk komandan kontingen, Letnan Kolonel ter Meulen, berharap dapat meyakinkan Rai sebagai komandan pasukan Republik untuk meninggalkan konfrontasi. Pada tanggal 13 Mei 1946, perwira markas “Gajah Merah” yaitu Kapten J. B. T. Konig mengirimkan surat kepada Rai memakai nada yang agak sopan dan penuh hormat untuk melakukan negosiasi:

“Denpasar, 13 Mei 1946. Rai yang Budiman, Kami, Letnan Kolonel Termeulen dan saya (kamu tentu masih ingat kepada kami), mengetahui betul atas dorongan apa kamu terpaksa mau memimpin TKR. Kami ingin sekali berbicara padamu. Cobalah mencari hubungan dengan Kapten Cassa di sekitar Desa Plaga, kemudian di sana kita bisa bicara. Apapun keputusanmu setelah pembicaraan itu, kamu dengan penuh kebebasan dapat menentukannya kepada kamu suka.J. B. T. Konig. Kapten Infanteri”

I Gusti Ngurah Rai membalas surat tersebut dengan judul “Surat Suci” dan dipopulerkan secara luas sebagai wujud keberanian dan patriotisme.

“18 Mei 1946 kepada Yth.Tuan Overste Termeulen di Denpasar. M E R D E K A! Surat telah kami terima dengan selamat. Dengan singkat kami sampaikan jawaban sebagai berikut: Tentang keamanan di Bali adalah urusan kami. Semenjak pendaratan tentara tuan, pulau menjadi tidak aman. Bukti telah nyata, tidak dapat dipungkiri lagi. Lihatlah, penderitaan rakyat menghebat. Mengancam keselamatan rakyat bersama. Tambah-tambah kekacauan ekonomi menjerat leher rakyat. Keamanan terganggu, karena tuan memperkosa kehendak rakyat yang telah menyatakan kemerdekaannya. Soal perundingan kami serahkan kepada kebijaksanaan pemimpin-pemimpin kita di Jawa. Bali bukan tempatnya perundingan diplomatik. Dan saya bukan kompromis. Saya atas nama rakyat hanya menghendaki lenyapnya Belanda dari pulau Bali atau kami sanggup dan berjanji bertempur terus sampai cita-cita kita tercapai. Selama Tuan tinggal di Bali, pulau Bali tetap menjadi belanga pertumpahan darah, antara kita dan pihak tuan. Sekian, harap menjadikan maklum adanya. Sekali merdeka, tetap merdeka. a/n. DEWAN PERJUANGAN BALI. Pemimpin: ( I Gusti Ngurah Rai).”

Dan upaya perlawanan I Gusti Ngurah Rai berakhir dengan Puputan Margarana yang sebelumnya ia melakukan pawai sejauh 200 kilometer bersama 1.500 orang melintasi hutan dan pegunungan, yang memakan waktu lebih dari sebulan yang terkenal dengan sebutan “Longmarch ke Gunung Agung”. 20 November 1946, I Gusti Ngurah Rai Gugur bersama pejuangnya dalam peristiwa perang sampai titik darah penghabisan. Puputan Margarana. Heroik dan patriotis.

Red

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Latest Posts