Monday, June 16, 2025
HomeSejarahKapan pertama kali kamera masuk ke Indonesia
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Related Posts

Featured Artist

Kapan pertama kali kamera masuk ke Indonesia

globalcybernews.com -Penemuan fotografi umumnya diatribusikan kepada Joseph Nicéphore Niépce pada tahun 1826.
Prosesnya membutuhkan waktu lama dan menghasilkan gambar yang sangat kasar.

Paten fotografi pertama dikeluarkan pada bulan Agustus 1839 kepada seorang Perancis bernama Jean Louis Daguerre. Daguerre mengembangkan cara membuat gambar fotografi unik pada plat tembaga berlapis perak. Daguerre menamakan prosesnya daguerreotype.

Pada tahun 1840, hanya setahun setelah Louis Jacques Mande Daguerre mengumumkan proses revolusionernya kepada dunia, pemerintah Belanda mengirim Jurriaan Munnich ke Hindia Timur untuk mengambil gambar bangunan dan barang antik dengan Daguerreotype.
Ia kemudian ditunjuk untuk membantu arkeolog W.A. Van Den Ham yang sedang melakukan penelitian di Jawa.

Namun, ternyata Proses daguerreotype sensitif terhadap kelembaban dan suhu kondisi tropis sehingga sangat sulit dilakukan.

Adolph Schaefer, seorang Jerman yang mendirikan toko di Den Haag mengajukan permohonan kepada pemerintah Belanda untuk dikirim ke Hindia Timur, dan permintaannya datang tepat ketika berita kegagalan Munnich mulai sampai ke Belanda.

Rencananya adalah pemerintah akan membiayai pelayaran dan peralatan Schaefer dan dia akan diizinkan untuk membayar kembali dana pinjaman tersebut dengan membuat gambar daguerreotypes.

Schaefer menerima sejumlah besar uang untuk pergi ke Paris membeli peralatan baru dan mengunjungi Daguerre untuk mendapatkan instruksi langsung.

Schaefer tiba di Batavia, di pulau Jawa, pada bulan Juni 1844.
Dia diperintahkan untuk memotret patung-patung koleksi Bataviaasch Genootschap voor Kensten en Wetenschappen (Masyarakat Seni dan Sains Batavia).
Harga yang diminta Schaefer untuk fotonya, menurut pemerintah, terlalu tinggi.
Dia meminta 120 hingga 150 gulden per daguerreotype, sedangkan harga 10 hingga 15 gulden merupakan hal biasa di Eropa.
Kemudian diputuskan untuk membayar Schaefer sejumlah 800 gulden.

Setelah pekerjaan ini selesai, Schaefer diarahkan untuk pergi ke Surakarta, di mana ia menghadap W.A van den Ham, sang arkeolog.
Pada bulan September 1845 Schaefer berangkat dari Batavia dengan kuda dan kopernya untuk menempuh perjalanan sejauh 450 kilometer ke Residence Kadu, di mana ia mulai memotret Borobudur, candi Budha yang agung, di bawah arahan van den Ham.

Sesampainya di Borobudur, ia mulai mendokumentasikan relief rumit yang diukir pada koridor batu bangunan tersebut.
Dia akan mendapat gaji tambahan untuk pekerjaan ini guna membiayai pengeluarannya, namun jumlahnya tidak akan ditentukan sampai dia membuat enam gambar dan mengirimkannya ke pemerintah. Gaji bulanannya akhirnya dinaikkan menjadi 600 gulden.

Pada akhir tahun 1845, Residen Kadu memberitahu Gubernur Jenderal Hindia Belanda bahwa Schaefer telah memberinya tiga belas bingkai, yang di dalamnya telah dipasang lima puluh delapan daguerreotype Borobudur.
Dalam sebuah memorandum, Schaefer menguraikan kesulitan yang dia hadapi dalam membuat daguerreotypes ini.
Tidak ada ruang yang cocok untuk kamar gelap di rumah yang telah dikhususkan untuk digunakan, dan angin serta debu dapat masuk dengan bebas ke dalam bangunan tradisional yang terbuka.
Schaefer meminta agar rumah Eropa dibangun dengan pintu dan jendela yang dapat ditutup, dan di dalamnya dapat dibuat kamar gelap yang memadai.

Pengambilan gambarnya sendiri bahkan lebih sulit karena koridor sempit di Borobudur membuat jarak yang tepat antara kamera dan subjeknya tidak dapat diambil.
Panjang fokus lensanya terlalu panjang untuk fokus pada relief batu yang memanjang di koridor sempit, dia tidak dapat menampilkan relief lengkap dalam satu daguerreotype. Schaefer memecahkan masalah ini dengan membuat beberapa daguerreotype dan memasangnya bersebelahan dalam sebuah bingkai, tetapi ketika dia mengirimkan daguerreotype tersebut ke van den Ham untuk meminta pendapatnya, arkeolog tersebut tidak menyukainya dan memberi banyak kritik.

Untuk tujuan ilmiah, Van den ham bersikeras bahwa relief dasar harus difoto dalam urutan aslinya. Van den Ham merasa bahwa gambar komposit tidak memberikan kesan efektif terhadap struktur sebenarnya.

Schaefer memperkirakan untuk memotret seluruh relief di Borobudur, diperlukan 4.000 hingga 5.000 pelat, dan diperlukan empat hingga lima tahun pengerjaan.
Dia siap untuk melakukan tugas ini, tetapi hanya dalam kondisi tertentu. Ia ingin dipekerjakan sebagai pegawai negeri oleh pemerintah Hindia, dengan pembayaran sebesar 150.000 gulden.
Jumlah ini merupakan jumlah yang sangat besar pada periode tersebut, melebihi kemampuan keuangan koloni.
Selain itu, sulit bagi pemerintah untuk mempekerjakan seorang fotografer pada saat itu karena fotografi belum diterima sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.

Saat Van den Ham telah meninggal; dan, karena arahan ilmiah atas pekerjaan Schaefer tidak mungkin lagi dilakukan, Gubernur Jenderal memutuskan untuk menghentikan proyek tersebut.
Schaefer diberitahu untuk pindah ke Semarang, menjadikan dirinya di sana sebagai fotografer dan mulai membayar kembali utangnya kepada pemerintah, yang jumlahnya telah meningkat.

Namun Semarang tidak memiliki cukup penduduk Eropa untuk memasok jumlah pelanggan yang diperlukan untuk bisnis potret yang sukses;
Schaefer diperbolehkan pindah selama setahun ke Surabaya, Madura dan Sumenep untuk mengadu nasib di sana;
Namun, pada bulan Agustus 1849, karena masih belum mampu melunasi utangnya, ia kembali ke Batavia.
Pemerintah menjual peralatannya melalui lelang.

Tidak ada yang diketahui tentang kehidupan Schaefer setelah ini.
Diperkirakan ia meninggal dalam keadaan melarat dan tertekan.

Gubernur Jenderal mengirimkan gambar daguerreotype-nya ke Belanda, kemudian disumbangkan ke Museum Etnologi di Leiden, dan kemudian dipindahkan ke koleksi Pusat Studi dan Dokumentasi Fotografi Universitas Leiden.

Gerda Theuns-de Boer, dalam “Java through the Eyes of Van Kinsbergen” (2002), menyebut
Pada 1851, Kinsbergen datang ke Batavia untuk menggelar pertunjukkan bersama sebuah kelompok opera Perancis.
Namun, tatkala teman-teman operanya pulang, Kinsbergen memilih menetap di Batavia.
Kinsbergen tertarik dengan dunia fotografi.

Kinsbergen memilih teknik penciptaan foto baru, yang ditemukan pada 1850 oleh Louis Desire Blanquart-Evrard, bernama “albumen print process”.
Teknik ini melibatkan selembar kertas yang dilapisi dengan albumen (putih telur), yang bertujuan untuk membuat permukaan kertas mengkilap dan halus.

Terkesan dengan foto dari Kinsbergen Pada Mei 1863 pemerintah kolonial memerintahkan Kinsbergen melancong ke berbagai tempat di Jawa Bali, dan Madura. ia juga ditugaskan memotret Candi Borobudur.
Sayangnya, karena kehabisan bahan baku penciptaan foto, Kinsbergen hanya mampu memotret beberapa tempat di Jawa, Bali, Madura, dan Candi Panataran, tidak sampai ke Borobudur.
Baru pada 1873, misi yang disebut Boer sebagai “setengah arkeologis” itu sukses memotret Candi Borobudur.
Sebanyak 1.400 potret Candi Borobudur dihasilkan Kinsbergen.

Pada paruh kedua abad ke-19 , usaha kolonial Belanda di Hindia mencapai puncaknya. Sistem pertanian paksa yang mengendalikan tenaga kerja dan hasil panen memungkinkan peningkatan aktivitas ekonomi. Perusahaan Dagang Belanda (VOC) hampir memonopoli produksi dan transit kopi, teh, gula, tembakau, lada, dan kayu manis di seluruh kawasan, serta mendistribusikan produk-produk ini ke seluruh Eropa.

Ditambah dengan meningkatnya akses terhadap proses fotografi dan kekayaan kehadiran kolonial di Hindia, pada tahun 1860-an fotografi mengambil peran yang lebih besar di Hindia. Studio-studio yang lebih mapan mulai bermunculan di sekitar Jawa dan seluruh nusantara, menyediakan potret dan dokumentasi misi kolonial.

Yang menonjol di antaranya adalah studio Woodbury & Page. Berasal dari Inggris.
Walter Bentley Woodbury dan James Page datang ke Jawa dari Australia.

Selain membuat potret masyarakat Jawa dan elit kolonial, mereka juga berkelana ke seluruh Jawa dan seluruh nusantara untuk mendokumentasikan bentang alam, jalur kereta api, monumen, dan sistem pertanian yang dikembangkan di bawah misi kolonial.
Setelah pertama kali mendirikan studio, Woodbury melakukan perjalanan kembali ke Eropa untuk mendirikan jaringan pasokan. Sebagai hasil dari hubungan ini, studio mereka memasok peralatan dan bahan fotografi untuk fotografer lain di seluruh Hindia Belanda dan di seluruh Asia Tenggara.
Pada 1870 studio ini membuat album foto legendaris bersampul kulit yang memajang pemandangan berbagai tempat di kepulauan nusantara dan profil sejumlah individu terkemuka pada jamannya.

Selama 100 tahun keberadaan fotografi di Indonesia (1841-1941), penguasaan alat ini secara eksklusif berada di tangan orang Eropa, Cina, dan Jepang.
Berdasarkan hasil riset di studio foto-foto komersial di Hindia Belanda, salah satu orang lokal yang menguasainya adalah Kassian Cephas.
Kassian Cephas adalah warga lokal asli Indonesia. Ia lahir pada tanggal 15 Februari 1844 di Yogyakarta.
Cephas sebenarnya adalah pribumi asli, yang kemudian diangkat sebagai anak oleh pasangan Adrianus Schalk dan Eta Philipina Kreeft, dan disekolahkan ke Belanda.

Cephas lah yang kemudian mengenalkan dunia fotografi ke masyarakat Indonesia. Meski demikian, literatur-literatur sejarah Indonesia sangat jarang menyebut namanya sebagai pribumi pertama yang berkarir sebagai fotografer profesional.
Nama Kassian Cephas mulai terlacak lewat karya fotografi tertuanya buatan tahun 1875.

Selain Cephas, fotografer Indonesia lainnya adalah Mendur bersaudara.
Masuknya Jepang pada tahun 1942 telah memberikan kesempatan bagi bangsa Indonesia untuk menyerap teknologi ini.
Demi kebutuhan propagandanya, Jepang mulai melatih orang Indonesia menjadi fotografer untuk bekerja di kantor berita mereka, Domei.
Pada saat itulah, Mendur bersaudara mendapat kesempatan untuk membentuk imaji baru tentang bangsa Indonesia.
Lewat fotografi, Mendur bersaudara berusaha menggiring mental bangsa ini untuk memiliki mental yang sama tinggi dan sederajat.
Frans Mendur bersama kakaknya, Alex Mendur kerap merekam peristiwa-peristiwa penting bagi negeri ini, salah satunya mengabadikan detik-detik pembacaan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Inilah momentum di mana fotografi benar-benar “sampai” ke Indonesia, ketika kamera berpindah tangan dan orang Indonesia mulai bisa merepresentasikan dirinya sendiri.

Kini fotografi menjadi sebuah karya sekaligus kitab peradabaan cahaya masa lalu dan masa kini, bagi orang-orang yang tak lelah untuk terus mengabadikan segala bentuk peristiwa yang nantinya akan menjadi sejarah bangsa Indonesia.

Red
.
.
.

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Latest Posts