(Bagian kedelapan)
globalcybernews.com -Ikhwal kematian itu sendiri bagi almarhum bisa diakibatkan terbunuh dan bunuh diri. Demikian ungkapnya suatu ketika saat diskusi kecil tentang filsafat kematian dalam pengertian syunnatullah bagi apa saja yang pernah hidup. Jadi kematian itu sendiri hanya akan dialami apa saja yang pernah hidup, termasuk mesin pabrik atau kendaraan kendati tidak bernyawa.
Dan kematian itu sendiri bisa terjadi karena dibunuh dan bunuh diri. Adapun yang terbunuh itu juga dapat juga terjadi terhadap mesin pabrik atau kendaraan, meski kemudian bisa hidup kembali atau dihidupkan oleh manusia. Tapi untuk binatang hanya bisa terbuh, karena boleh dikatakan tak binatang yang bunuh diri, kecuali manusia saja. Binatang yang mati itu pun — kecuali terbuh — biasanya Karena hukum Tuhan saja — sunnattullah — akibat lapuk dimakan usia tua. Maka itu jadi menarik fenomena bunuh diri yang hanya biasa dilakukan oleh manusia, akibat pergumulan antara akal sehat yang kalah berkelahi dengan akal yang tidak waras. Sebab manusia hidup itu justru harus berjuang — survive — agar tidak mati serta mampu meningkatkan kualitas diri dan kepribadiannya hingga mampu menjaga statusnya sebagai makhluk yang paling mulia dibanding makhluk lain, termasuk dibanding malaikat terlepas dari sikap dan sifatnya yang baik itu. Karena itu, kematian sungguh merupakan suatu misteri yang menjadi bagian dari rahasia Tuhan, yang juga tidak terjangkau untuk memahami hakikat dari pengertian kematian yang sesungguhnya.
Lalu setelah mati itu pun — semua nyawa atau ruh dari makhluk yang pernah hidup itu — lantas bersemayam di mana ?
“Pendek kata, diskusi kecil kami dahulu bersama almarhum, acap melampaui lapisan langit ke tujuh”, tutur Karto Glinding mengungkap nostalgia lamanya bersama seniman, budayawan serta penulis di Taman Ismail Jakarta, jauh sebelum dirombak dan direnovasi seperti sekarang, sehingga hilangnya Juanda dan suasana keakraban yang khas dari sebuah komunitas manusia yang bebas.
Setidaknya, pilihan untuk bunuh diri bagi binatang bisa dikata tak mungkin ada. Kalau pun ada yang nyaris sama, itu sekedar kekonyolan binatang itu belaka. Misalnya karena tak mampu untuk menggunakan otaknya, maka binatang itu banyak yang tergelincir ke jurang. Atau konyol seperti hasrat menyebrang di rel perlintasan kereta api yang tengah melaju kencang, lalu terlindas seperti manusia yang konyol melakukan dengan sengaja untuk membunuh dirinya sendiri.
Diskusi ringan yang acap melantur ke mana-mana arahnya ini seperti tentang kematian bagi makhluk dan apa saja yang hidup di muka bumi ini, biasa bagian lain dari topik diskusi almarhum bersama Karto Glinding serta Markenun berikut anggota komunitas yang sekarang jadi bergentayangan dari warung kopi yang satu ke warung kopi yang lain, sebagai tempat mereka nongkrong setelah tergusur dari Taman Ismail Marzuki yang tak lagi ramah dan semakin asing itu dalam kehidupan para seniman serta budayawan maupun para pekerja seni yang berserakan di Ibu Kota Negara yang bakal digeser juga ke Penajam, Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur.
Artinya, ancaman kematian terhadap Ibu Kota Negara, Jakarta yang telah tergurat dan tersurat dalam sejarah perjuangan bangsa Nusantara yang kemudian disatukan menjadi bangsa Indonesia, pun sedang terancam. Ibarat pandemi yang ditebar secara sistematis, terstruktur dan masif, sungguh bisa menjadi bencana bagi tradisi, budaya maupun tatanan sosial jadi terguncang atau benturan seperti yang dilukiskan Francis Fukuyama bagi manusia di masa depan.
Seperti pengertian matinya penulis itu sendiri, bisa segera dipahami sebagai pertanda dari matinya sejarah akibat kesaksian yang tak lagi tercatat dalam album kenangan masa lalu yang hilang, tak lagi berkelanjutan semacam kisah matinya obor dalam dalam silsilah suatu keluarga.
Balaraja, 11 Maret 2024
Red
