Sunday, September 8, 2024
spot_img
spot_img
HomeOpiniReligiusitas Pandemi Corona
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Related Posts

Featured Artist

Religiusitas Pandemi Corona

Oleh Uten S

Global Cyber News|Dalam banyak moment dan tulisan, saya sering menyampaikan kalimat ini :
“Keberadaan Tuhan ditunjukkan oleh dua hal. Yaitu ada mahlukNya (ciptaan atau karya -karya) dan IlmuNya.”

Cobalah perhatikan secara seksama kalimat di atas dan kaitkan dengan keberadaan kita dan lingkungan sekitar.

Rasanya pikiran dan hati sulit untuk menolak pendapat tersebut, karena memang begitulah adanya.

Dalam sejarah kehidupan manusia di bumi, belum pernah ada seorangpun yang mampu melihat secara nyata bentuk ukuran dan penampilan Tuhan dalam wujudnya seperti mahluk. Kalau pun saat ini ada banyak agama dan kelompok keyakinan di dunia seolah mampu menampilkan wujud Tuhan dalam bentuk patung atau gambar, itu hanya sekedar simbol, bentuk artikulasi pikiran dan imajinasi manusia yang terobsesi ingin melihat Tuhan dengan cara yang mudah.

Dalam kata lain, agama-agama yang ada sebagai tuntunan, ingin agar umat manusia selalu ingat dan dekat dengan Tuhan dalam mengarungi samudra kehidupan agar tak salah jalan atau tak salah arah jalan menuju pulang. Itu sebabnya agama menciptakan banyak simbol tentang Tuhan, baik dalam bentuk patung, maupun hurup tulisan tertentu sebagai media agar umat senantiasa bisa ingat dan dekat dengan Tuhan. Tetapi simbol itu ya sebatas simbol, bukan Tuhan itu sendiri.

Jika umat beragama ngotot bahwa simbol yang dibuatnya adalah Tuhan sebenarnya, maka itu adalah sebuah sikap kekeliruan- kekacauan pikiran dan imajinasi manusia. Tuhan sebagai Sang Maha Pencipta (Al Kholiq) mana mungkin bisa dilukis, digambar oleh manusia sebagai mahluk (ciptaanNya).

Imposible…!

Hanya kesombongan dan kebodohan tingkat tinggi jika ada kelompok atau komunitas manusia yang bersikeras menyatakan bahwa lukisan, patung, tulisan hurup bahasa tertentu apapun bentuknya, adalah sebenar-benarnya nama dan wujud Tuhan yang wajib disembah.

Sejarah umat manusia banyak diisi oleh cerita-cerita kesombongan dan kebodohan model ini. Ada Raja Firaun yang mengaku dirinya Tuhan. Ada juga kisah-kisah dalam banyak epos tentang raja raja dholim yang minta disembah oleh rakyatnya karena merasa paling berkuasa di wilayah negerinya.

Sungguh sejarah kehidupan manusia banyak diisi oleh tragedi perang dan pertumpahan darah yang diakibatkan atau bersumber dari penolakan wujud Tuhan hasil rekayasa pikiran dan imajinasi, atau karena pemaksaan kehendak dari kelompok tertentu agar pihak lain mau menerima dan meyakini gambaran wujud Tuhan yang telah dirumuskan oleh konsep pikiran dan keyakinan mereka.

Pada akhirnya semua sikap-sikap sombong, dan bodoh itu terbukti hancur. Raja Firaun hancur oleh kekuatan Musa yang menentang Firaun sebagai Tuhan.Demikian juga figur-figur para penguasa adidaya lain di jaman dahulu, hancur tak tersisa. Hancur karena sifat alami sebagai mahluk (terbatas oleh ruang dan waktu) dan karena hukuman alam itu sendiri (bencana banjir, lingsor, gempa, wabah, kebakaran, peperangan,atau kerusuhan) dimana alam bereaksi merespon atas perilaku sikap sombong umat manusia.

Sementara itu kelompok dan komunitas agama yang masih bertumpu pada pengkultusan atau menuhankan simbol Tuhan, perlahan-lahan makin ditinggalkan para pengikutnya.

Kalau begitu kita harus bagaimana caranya untuk merefleksikan diri sebagai wujud pengakuan dan persembahan diri atas adanya Tuhan? Bagaimana dengan sikap keberagamaan kita di tengah-tengah abusurditas kemampuan manusia mendiskripsikan gambaan adanya wujud Tuhan?

Mari kita berfikir sejenak !

Kalau kita melihat dan belajar pada sejarah, semua ajaran agama- agama samawi menekankan atau memprioritaskan pentingnya perbuatan, prilaku, dan ahlak baik. Berkarya , mencipta dan berbuat hal terbaik untuk kehidupan di bumi.Tak ada satupun ayat atau kalimat di dalam prinsip-prinsip dasar ajaran agama yang tertuang dalam tulisan kitab-kitab panduan yang memerintahkan agar umat manusia mampu melukis, menggambar, mengukir, memahat, merangkai kata- kata tentang wujud dan Zat Tuhan. Tak ada…! Karena memang gak mungkin mampu.

Dalam momentum pandemi global corona ini nampaknya —lewat kekuatan alam— Sang Maha Pencipta sedang memberi kesempatan bagi kita untuk berefleksi secara lebih mendalam tentang makna, konsep dan cara- cara kita ber-Tuhan.

Momentum corona ini juga mengajak kita melakukan re-interpretasi tentang cara_cara berkeyakinan, berpengakuan, dan memberi persembahan atas atau terhadap adanya Tuhan.

Inilah momen paling tepat untuk melakukan koreksi total terhadap cara kita beragama di saat pusat-pusat kegiatan keyakinan agama ditutup, tempat tempat ibadah semua agama ditutup, lambang dan simbol-simbol keangkuhan beragama dan berkeyakinan juga tumbang. Sementara sekat perbedaan antar umat manusia karena perbedaan agama juga sudah jebol. Dan disaat semua variable ilmu pengetahuan dan tekhnologi ciptaan manusia tak ada yang mampu memberi jawaban. Mengapa semua ini terjadi?.

Apakah semua itu tidak membuat kita tertarik, terangsang untuk berfikir ? Bukankah Sang Pencipta sudah memberikan ayat-ayat (tanda-tanda) lewat ilmu-ilmuNya baik yang sudah tertulis maupun yang tersaji terhampar di alam semesta ini? Bukankah kita sebagai mahluk berakal dan berfikir diminta untuk membaca semua kejadian ini, Iqra..!?

Secara tidak langsung momentum Pandemi Corona sedang mengajak kita untuk merenungi atas sikap religiusitas (sikap keberagamaan) yang selama ini seringkali kita merasa paling benar dalam beragama, dan cenderung saling menyalahkan bahkan saling membenci antar pihak yang berbeda cara.

Era Pandemi Corona memberi pelajaran maha penting, bahwa dalam sikap religiusitas bukan lagi soal simbol Tuhan yang harus kita agungkan dan persembahkan. Melainkan sifat -sifat Tuhanlah yang harus kita junjung tinggi dan persembahkan di dalam praktek kehidupan dengan bentuk karya nyata.

Bukan soal perbedaan cara berkeyakinan dan cara beragama lagi yang harus kita tonjolkan sehari- hari, melainkan sikap saling menghargai perbedaan dan mengedepankan persamaan di antara begitu banyak bentuk perbedaan, karena sesungguhnya kita berasal dari Tuhan yang sama.
(Tuhan hanya satu, yag banyak sikap cara bertuhan. Karenanya tak ada perang antar Tuhan, yang ada perang antar umat beragama)

Bukan lagi soal arogansi, kesombongan (merasa paling benar) lagi yang harus kita kedepankan dalam berekspresi sebagai umat beragama dan umat bertuhan, melainkan sikap berserah diri, bersujud panjang. Di hadapan KeagunganNya kita bukan siapa-siapa, tak punya apa-apa, dan tak bisa apa- apa .

Wassalam
Get the feeling
Mr. Ten (2020)

Red.

Latest Posts