Global Cyber News.Com|Konon cerita kegagalan pemerintah dalam usahan merencanakan untuk mencetak sawah baru, diantaranya karena tidak melibatkan orang-orang lapangan yang lebih banyak paham mulai dari geograpi sampai pada geobudaya masyarakat setempat.
Catatan dari program mencetak sawah baru yang gagal dilakukan pemerintah Infonesia pun karena enggan belajar dari kegagalan pemerintah sebelumnya — semasa Orde Baru — yang sudah pernah melakukannya dengan semboyan “mencetak sawah satu juta hektar” khusus di Kalimantan.
Kegagalan dari usaha hendak mencetak satu juta hektar dawah karena pemerintah terlalu yakin mampu untuk melakukannya sendiri dengan caranya sendiri tanpa mau melibatkan warga masyarakat setempat yang justru paling ideal menjadi pelaku utama dari progran mencetak satu juta sawah baru itu agar swasembada beras dapat jadi pemicu swasembada pangan dalam arti yang lebih meluas.
Orang-orang lapangan — utamanya yang memiliki ikatan emosional pada daerah yang dijadikan tempat sawah baru yang mau dicetak itu — pasti akan memiliki nilai lebih utamanya dalam etos kerja serta gairah dan semangat untuk lebih serius saat melaksanakannya hingga sukses dan menghasilkan panen yang membanggakan sekaligus menggembirakan. Apalagi untuk warga masyarakat setempat yang memiliki ragam pengalaman bertani, lalu diberi kepercayaan untuk mencetak sawah yang disesuaikan dengan kondisi dan situasi setempat, pasti akan lebih baik dari program yang terkesan sangat dipaksakan untuk dijalankan seperti yang sudah-sudah, termasuk dari program yang dicanangkan pemerintahan Joko Widodo.
Menurut para pakar, program mencetak sawah baru pada era Presiden Joko Widodo pun lebih dominan teoritis belaka. Bukan atas dasar pengalaman empiris seperti yang bisa dan mampu dilakukan oleh petani setempat.
Kajian yang gagal karena tak melibatkan praktisi dan para pelaku di lapangan (petani) dapat dipelajari dari temuan BPK (Badan Peneriksa Keuangan) yang memiliki catatan dari kegiatan survei investigasi dan desain (SID) untuk program cetak sawah itu yang tidak melalui pengujian tanah secara menyeluruh mulai dari tahap perencanaan. Konsultan, hanya dengan pengamatan secara visual pada sebagian calon lokasi yang hendak menjadi tempat untuk mencetak sawah tersebut.
Dari eksekusi
perluasan
sawah yang dilakukam oleh TNI Angkatan Darat, menurut BPK hanya menekankan pada target luasan lahan, bukan pada kesiapan lahan. Akibatnya, dari kobdisi lahan pilihan yang tak mendukung itu dan juga tidak produktif, maka kegagalan tak mungkin dapat diatasi. Karena apa yang ada dalam peta yang diproyeksi dari atas meja itu tidak sesuai dengan realitas yang ada di lapangan.
Kecuali itu tentu saja ikatan para petani setempat secara emosional dengan daerah tempat asalnya pasti menjadi daya dukung yang tidak bisa diabaikan kedakhsyatannya untuk ikut mensukseskan program mencetak sawah baru ini.
Pengakuan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo saat menghadiri Rapat Kerja bersama DPR RI sempat dicecar dengan pertanyaan ikhwal rencana pencetakan sawah baru saat Rapat Kerja bersama DPR RI pada (22/6/2020). Para Anggota Dewan sempat mempertanyakan rencana yang digulirkan sebagai respons atas situasi krisis akibat pandemi Covid-19. Anggota komisi dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera, drh Slamet, mempertanyakan tindak lanjut temuan BPK terhadap program cetak sawah Kementerian Pertanian itu.
Ternyata, kerja sama yang dilakukan oleh Kementerian Pertanian dengan TNI Angkatan Darat sejak tahun 2015 hingga tahun 2017 ikhwal dari program mencetak sawah baru itu telah gagal karena bermasalah dan sudah dihentikan. Hingga harapan untuk meningkatkan produksi beras sudah tak bisa lagi diharapkan dengan proyek tersebut.
Kementerian Pertanian telah menghentikan program untuk mencetak lahan sawah baru pada tahun 2017 karena telah gagal. Mentan Syahrul pun cuma berbicara tentang upaya menyediakan cadangan pangan di pada saat pandemi sekarang ini atas perintah Presiden Joko Widodo. Sebab Kementerian Pertanian telah dituntut untuk mmelakukan langkah konkret guna menjamin ketersediaan pangan di masa pandemi dengan cara menggalakkan lahan pertanian yang telah tersedia itu saja.
Kebijakan dari Presiden pada masa pandemi Covid-19 dan peringatan dari FAO akan terjadi kekeringan dan krisis, agar segera dapat mempersiapkan cadangan pangan.
Program untuk mencetak sawah yang pernah digulirkan Kementerian Pertanian itu dkmulai pada 2015. Karena gagal maka dihentikan pada tahun 2019. Ketika itu implementasi dari program tersebut lebih dominan ditangani oleh Kepala Ditjen PSP. Padahal, program yang dilakukan bersama TNI AD sempat berlanjut hingga tajun 2019. Artinya, monitoring dan pertanggungjawaban program cetak sawah semestinya dapat diketahui oleh Dirjen yang bertugas pada periode berikutnya.
Jadi jelas dari pengalaman sudah berulang kali memberi pelajaran yang baik dan bagus, bila hendak membangun hendaknya selalu bijak melibatkan peran serta masyakat. Bila tidak, maka kegagalan bisa dipastikan terjadi. Karena sejatinya pembangunan yang hendak diwujudkan itu — apapun bentuknya — adalah demi dan untuk rakyat. Bukan untuk dan demi penguasa.
Jakarta, 15 Maret 2021
Red.