
Global Cyber News|Prof. Dr. Dadang Suganda
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran
“If history were taught in the form of stories, it would never be forgotten.”
Rudyard Kipling
Kutunggu di Setiap Kamisan adalah sebuah buku puisi esai karya Denny Januar Ali atau dikenal dengan nama Denny J.A. Ia seorang konsultan politik yang produktif menulis artikel maupun buku bertema sosial dan politik Indonesia.
Buku puisi esai ini diterbitkan pada tahun 2016. Dalam setiap bait puisi yang ditampilkan senantiasa dibarengi dengan ilustrasi/gambar yang sesuai dengan isi puisi dan bertujuan menguatkan makna yang ingin disampaikan penulis kepada pembaca.
Puisi esai Kutunggu di Setiap Kamisan ini bercerita tentang tokoh utama bernama Lina yang menetap di Yogyakarta dan tengah hamil dua bulan.
Pada tahun 1998 Lina ditinggalkan pergi oleh Kang Mas, suaminya, ke Jakarta yang akan mengikuti gerakan politik yang berkaitan dengan turunnya Orde Baru dan tuntutan perubahan Indonesia (reformasi). Sejak itu suaminya tidak pernah kembali, namun Lina tetap berkeyakinan bahwa suaminya masih ada dan akan pulang.
Kesetiaan Lina ini dibuktikan dengan berpindahnya Lina ke Jakarta untuk mencari Kang Mas dan mengikuti kegiatan Kamisan yang digelar setiap hari Kamis di depan Istana Presiden pada pukul 16.00-17.00 WIB.
Empat ratus kali Kamisan telah diikuti oleh Lina, namun suaminya tak kunjung pulang.
Kemudian cerita disisipi juga dengan kisah lainnya, yaitu kisah trauma Lina saat kecil, manakala ayahnya menjadi tahanan politik karena dianggap terlibat partai komunis. Kehadiran tokoh lain, yaitu Rambu sebagai anak dari Lina dan Kang Mas, Anwar sebagai sahabat Kang Mas di Yogyakarta, Sinta sebagai sahabat Lina setelah pindah ke Jakarta, dan Radi sebagai wartawan yang sangat tertarik memublikasikan kisah Lina juga menjadikan puisi esai ini memiliki nuansa kisah cinta dan kasih sayang di dalamnya.
Jika dikaitkan dengan konteks sosial, budaya, dan politik Indonesia pada tahun 1998, Kutunggu di Setiap Kamisan merupakan buku yang di dalamnya kental dan berkaitan dengan peristiwa traumatis, yaitu Tragedi Mei 98 yang terjadi di Indonesia.
Tragedi Mei ’98 dianggap sebagai kejahatan luar biasa ‘extra ordinary crimes’ yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan. Ini dibuktikan oleh hasil penyedikan yang dilakukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) maupun hasil penyelidikan Tim Ad Hoc Penyelidikan Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Hamid, dkk. (2005) memaparkan bahwa sampai sekarang pelanggaran HAM yang berat tersebut masih gelap. Menurutnya, banyak pihak yang mengelak dan menghindar dari tanggung jawab terhadap tragedi tersebut. Di sisi lain, para korban dan keluarga korban tidak henti-hentinya berjuang untuk mendapatkan keadilan bagi diri mereka.
Banyak upaya yang dilakukan oleh keluarga korban dengan mendatangi lembaga-lembaga resmi negara: DPR, Menteri, Kejaksaan Agung, bahkan presiden juga ditambah dengan aksi-aksi demontrasi. Namun, aksi dan usaha-usaha itu sampai sekarang belum menemukan kejelasan.
Salah satu upaya yang dilakukan oleh para korban adalah dengan menyelenggarakan aksi Kamisan.
Peritiwa sejarah Mei 1998 dan Aksi Kamisan inilah yang kemudian tampaknya berusaha direkam dan berusaha dikekalkan oleh Denny J.A. melalui gambar dan kata-kata berwujud puisi esai.
Pengarang berupaya mendekonstruksi hubungan antara kekuatan politik (negara) dan individu, mendekonstruksi trauma/isu kehilangan, dan merawat ingatan atas peristiwa sejarah melalui sebentuk karya sastra.
Hal ini sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh Rudyard Kipling “If history were taught in the form of stories, it would never be forgotten.” Denny J.A. berusaha mengekalkan peristiwa sejarah dalam sebentuk karya sastra agar kekal dan tidak mudah dilupakan.
Upaya penulis merekam sejarah melalui karya sastra ini juga sejalan ciri karakter karya sastra yang senantiasa erat kaitannya dengan perubahan sosial masyarakatnya.
Schönfelder (2013) menjelaskan trauma dalam studi sastra. Menurutnya, imajinasi sastra dengan kemampuannya untuk membuat fiksi dan simbolisasi, dapat menciptakan ruang di mana pengalaman yang tampaknya menentang pemahaman dan verbalisasi, yang menyangkut dimensi eksistensial dari kondisi manusia—terutama pengalaman yang mengancam kerentanan atau kematian—dapat dieksplorasi dari berbagai perspektif menyenangkan.
Teks sastra dan dunia fiksinya memungkinkan adanya keterlibatan yang bernuansa dengan subjek trauma, yang seringkali dipersonalisasi dan dikontekstualisasikan, difiksikan dan dihistorisasi, serta dipsikologiskan dan dijadikan metafora pada saat yang bersamaan.
Pendekatan sastra terhadap trauma, kemudian, memiliki potensi untuk melibatkan kekuatan identifikasi emosional dan simpati pembaca di satu sisi dan refleksi kritis di sisi lain. Itulah sebabnya mengapa penting menuangkan trauma dalam karya sastra.
Dengan demikian, sastra dapat digunakan untuk menjelaskan suatu periode atau satu peristiwa tertentu dan sekaligus memberikan wawasan dan gambaran serta menyampaikan emosi dan gagasan tentang bagaimana perasaan orang-orang yang terlibat di dalamnya.
Para new historisist tidak percaya bahwa sejarah dapat dilihat secara objektif karena itu merupakan hasil tafsir dari waktu dan budaya tertentu. Dengan demikian, karya sastra akan ditempatkan sebagai objek kajian untuk melihat tafsir atas sebuah peristiwa.
Pesan-pesan yang sama sudah banyak disuarakan dalam karya sastra: memelihara ingatan dan melawan lupa terhadap peristiwa yang tidak pernah selesai diungkap negara sampai saat ini.
Peristiwa kelam, Tragedi 1998, bagi bangsa Indonesia ini direkam dalam karya sastra. Banyak novel mengambil latar targedi 1998 tersebut. Beberapa di antaranya Laut Bercerita (2017) dan Pulang (2012) karya Leila S. Chudori, Sekuntum Nozomi 3 (2007) karya Marga T, Mei Merah ’98 Kala Arwah Berkisah (2018) karya Naning Prananto, Lemah Tanjung (2003) karya Ratna Indraswari Ibrahim, Saman (1998) & Larung (2001) karya Ayu Utami, Mei Hwa dan Sang Pelintas Zaman (2014) Karya Afifah Afra, Notasi (2013) karya Morra Quatro, Lelaki di Tengah Hujan (2019) karya Wenri Wanhar, Trilogi Soekram (2015) karya Sapardi Djoko Damono. Novel Naga Kuning: Sebuah Novel Berlatar Kerusuhan Mei 1998 (2011) karya Yuasiana Basuki yang asalnya ditulis dalam bahasa Inggris yang kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.
Selain novel-novel tersebut juga ada cerpen “Gerimis yang Sederhana” (2007) karya Eka Kurniawan, Cerpen “Clara atawa Wanita yang Diperkosa” (2007). Tragedi ini juga diabadikan dalam bentuk komik Indonesia 1998 (2014) oleh Muhammad “Mice” Misrad. Mungkin masih ada karya sastra lain yang berlatar Tragedi Indonesia tahun 1998. Hal ini menunjukkan bahwa tragedi itu menyimpan misteri dan banyak kisah.
Setiap karya memiliki karakteristik yang khas dalam mengungkapkan dan menggambarkan peristiwa berkaitan dengan tragedi kemanusiaan Mei 1998 tersebut. Demikian pula kumpulan Puisi Kutunggu di Setiap Kamisan karya Denny J.A. Karya ini dinilai berbeda sebagai karya sastra pada umumnya. Meski demikian, tulisan ini tidak masuk ke dalam pusaran berkaitan dengan pandangan mengenai hal tersebut.
Tulisan ini akan mendekati karya puisi esai Denny J.A. ini dari perpektif bahasa, tepatnya melalui pendekatan analisis wacana kritis atau disebut AWK.
Analisis wacana kritis adalah salah satu metode dan teori yang dapat digunakan dalam menganalisis sebuah teks dalam upaya membongkar praktik sosial tertentu yang disembunyikan di sebalik teks.
Umumnya praktis sosial yang dimaksud adalah idelogi, hegemoni, marginalisasi, kuasa, dll.
Dalam pandangan analisis wacana kritis, khususnya model Norman Fairclough (2005), sebuah teks (wacana) senantiasa memiliki hubungan yang dialektikal dengan masyarakatnya.
Dengan demikian menganalisis sebuah wacana harus senantiasa ditinjau berdasarkan tiga tahapan, mikro, meso, dan makro.
Pada tahap mikro dianalisis bentuk dan representasi teks pada wacana tersebut. Pendekatan analisis linguistik menjadi bagian yang dominan pada tahap ini. Pilihan kata yang digunakan, kohesi dan koherensi yang dibangun, serta penanda kebahasaan lainnya menjadi alat untuk menunjukkan apa yang terkadung dalam wacana, yang dalam hal ini adalah buku puisi Kutunggu di Setiap Kamisan karya Denny J.A.
Pada tahap meso analisis diarahkan para proses penghasilan teksnya, yang dalam hal ini adalah profil Denny J.A. sebagai /penulis penghasil wacana Kutunggu di Setiap Kamisan. Analisis diarahkan pada bagaimana kognisi yang dimiliki Denny J.A memengaruhi karyanya sehingga ia bisa menghasilkan teks yang terepresentasi pada level mikro yang telah dianalisis sebelumnya.
Apa yang terepresentasi pada level mikro senantiasa memiliki benang merah dan kaitan dengan level mesonya.
Pada tahap makro, analisis difokuskan pada sosial budaya yang melatari proses produksi teks/wacana yang telah dianalisis pada level mikro dan meso. Pada level makro ini peneliti mengkaji peristiwa apa yang menjadi jiwa/nafas dalam sebuah wacana.
Dalam hal ini peneliti bisa jadi harus mengkajinya dari aspek politik, hukum, ekonomi, budaya, dll. Apa yang terjadi pada level makro ini juga akan menunjukkan benang merah dengan apa yang berhasil ditemukan pada lebih mikro dan meso.
Hubungan antara mikro, meso, dan makro inilah yang dapat menunjukkan praktis sosial apa yang sebenarnya sedang disalurkan oleh Denny J.A. melalui kumpulan puisi Kutunggu di Setiap Kamisan.
Pada tulisan ini, praktis sosial yang akan dikaji adalah berkaitan dengan ideologi yang disalurkan oleh Denny J.A. dalam kumpulan puisinya.
Analisis Mikro: Bentuk dan Diksi dalam Puisi Kutunggu di Setiap Kamisan
Bagian ini mengkaji bentuk dan aspek kebahasaan yang terdapat dalam buku Kutunggu di Setiap Kamisan karya Denny J.A.
Buku puisi esai berbentuk kwatrin dan dilengkapi gambar. Kwatrin adalah salah satu jenis puisi yang didasarkan pada jumlah baris.
Hampir keseluruhan puisi dalam buku Kutunggu di Setiap Kamisan ini terdiri atas empat baris yang berpola A-A-A-A, di samping juga pola A-A- B-B atau A-B-A-B. Hal ini tampak pada kutipan di bawah ini.
(6)
Seperti kamis minggu lalu,
Dan 400 kamis yang kelu
Puluhan keluarga korban hilang paksa
Berkumpul dalam duka
(7)
Membawa payung hitam
Dan kesedihan yang kelam
Mencari ayah, anak, kakak, adik, keluarga, sahabat yang hilang
Sejak belasan tahun lalu, tak kunjung pulang
(70)
Ternyata itu ayah mertua
Yang perawakannya mirip Kang Mas
Bersama ibu yang menua
Menengok Lina yang lemas
(198)
Ayah Lina dari partai terlarang
Penambah kisah bersinar terang
Sebagai latar, menambah seksi
Sebagai bumbu, makin berisi
Kutipan data pada halaman (6), (7), (70), dan (198) merupakan contoh data dalam buku Kutunggu di Setiap Kamisan yang merupakan puisi dengan bentuk Kwatrin atau puisi empat baris.
Data (6) merupakan puisi kwatrin dengan pola AAAA. Data (7) dan (198) merupakan puisi kwatrin dengan pola AABB. Data (70) merupakan puisi kwatrin dengan pola ABAB.
Pola kwatrin ini menyebar di puisi pada urutan awal, tengah, dan akhir keseluruhan buku. Pola ini sengaja dipilih penulis agar “efek puisi” masih tetap terasa saat dibaca.
Meski cukup konsisten mempertahankan rima, dalam beberapa puisi di buku ini pola kuatrin diabaikan. Misalnya pada puisi halaman (4) dan (199) yang tidak memiliki pola puisi kwatrin dan puisi halaman (142) yang tidak berjumlah empat baris.
(4)
“Luka jiwaku hingga kering
Kering air mataku hingga habis
Habis mata airku hingga luka
Tak kunjung ia kujumpa”
(142)
(Kemarahan mereka
Disusupi arwah korban
Ribuan jumlahnya
Saut-menyahut
Korban minta dicari
Korban minta ditemukan)
(199)
Sebagai kisah, untuk TiVi
Lebih banyak untuk novel
Tak lupa film layar lebar
Yeah, sebuah karya agung!
Pada satu sisi kekonsistenan penulis dalam menggunakan bentuk kwatrin ini telah menunjukkan dan mengukuhkan kepada pembaca bahwa genre wacana ini adalah puisi.
Namun, di sisi lain kepatuhan pada rima ini telah mengekang penulis dalam pilihan katanya. Penulis dalam beberapa puisinya menggunakan pilihan kata yang tidak lazim dan bukan pasangannya karena sangat tampak terikat oleh pola rima kwatrin yang ingin dihasilkan.
Berikut adalah pilihan kata yang tidak lazim yang disebabkan oleh rima yang mengikat.
(56)
“Kang Mas anak kita sudah sekolah
Sudah membaca dan mengolah
Rambu namanya
Ia rindu ayahnya.”
(78)
Lina menangis seguk sedan
Anwar penuh perhatian
Ia potensial suami teladan
Sehat jiwa dan badan
(121)
Lina terharu biru
Tahu Anwar semata membantu
Untuk Lina pindah ke Jakarta
Dengan tabungan yang lega
Data puisi halaman (56) menunjukkan pemilihan diksi yang bukan pasangan lazimnya karena penulis terikat oleh bunyi rima –lah mengikuti rima pada bait pertama. Umumnya kata membaca berpasangan dengan menulis untuk menunjukkan kemampuan anak yang baru duduk di bangku sekolah.
Puisi pada halaman (78) menunjukkan pemilihan diksi jiwa dan badan merupakan pasangan kata yang kurang sesuai meski memiliki makna yang tidak salah. Umumnya kata jiwa berpasangan dengan kata raga, namun penulis memilih kata badan karena terikat dengan rima pada bait sebelumnya yaitu teladan.
Data puisi halaman (121) menunjukkan pemilihan diksi kurang sesuai dengan menempatkan kata lega untuk merujuk tabungan. Lega adalah kata sifat untuk merujuk luas suatu tempat/ruang.
Sementara itu, tabungan adalah suatu kata benda yang merujuk tempat menyimpan sejumlah uang. Penggunaan kata lega untuk menjelaskan tabungan ini karena penulis terikat oleh rima yang ada pada bait sebelumnya, yaitu jakarta
Bentuk lain yang menjadi kekhasan dalam Kumpulan Puisi Kutunggu di Setiap Kamisan adalah pemilihan kata yang membangun tema yang ingin diciptakan oleh penulis. Hal ini terlihat dari pilihan kata yang memiliki kolokasi yang erat dengan temanya.
N Kata Kunci Kolokasi Nomor Data
1 Politik Luka politik
Politik yang luka
Politik Ajaib
Politik bengis
Politik lama
Trauma Politik
Gerakan Politik
Politik Raksasa
2 Kesedihan Derita
Jiwa Lesu
Duka
Trauma
Luka menganga
Air mata
Menangis
Luka lama
Luka Jiwa
Perih
Kelu
3 Kelam Hitam
Suram
Misteri
Buram
Payung hitam
Redup
Rabun
Ilusi
4 Kesepian Sepi
Bisu
Sepi yang luka
Diam
Tak kunjung pulang
Tak berbunyi
Terasing sepi
Menyendiri
Yang Tiada
Terkunci Sunyi
Data pada tabel di atas menunjukkan bahwa dalam kumpulan puisi Kutunggu di Setiap Kamisan karya Denny J.A. merepresentasikan politik salah satu isu sentral dalam puisi ini.
Namun, politik yang dirujuk oleh Danny J.A. adalah politik yang membawa luka. Hal ini terlihat pada diksi luka politik, politik yang luka, politik ajaib, politik bengis, politik lama, trauma politik, gerakan politik, dan politik raksasa yang menyebar di dalam buku tersebut.
Denny J.A. menunjukkan bahwa luka yang dialami oleh tokoh utama, Lina, adalah karena praktik politik yang melatarbelakanginya.
Selain politik, Denny J.A juga memfokuskan isu sentralnya pada tiga kata kunci lainnya, yaitu: kesedihan, kelam, dan kesepian.
Kesedihan berkolokasi dengan kata Derita, Jiwa Lesu, Duka, Trauma, Luka menganga, Air mata, Menangis, Luka lama, Luka Jiwa, Perih, Kelu. Kelam berkolokasi dengan hitam, suram, misteri, buram, payung hitam, redup, rabun, ilusi.
Sementara itu, kesepian berkolokasi dengan sepi, bisu, sepi yang luka, diam, tak kunjung pulang, tak berbunyi, terasing sepi, menyendiri, yang tiada, terkunci sunyi.
Ketiga kata kunci yang dilengkapi dengan kolokasinya ini merupakan upaya Denny J.A untuk mengangkat masalah utama dalam puisi ini yaitu tragedi 98.
Ia ingin menggambarkan dengan detail bahwa grakan politik 98 telah membawa kesedihan, kesepian, dan keadaan yang kelam bagi bagi bangsa Indonesia, terutama bagi para keluarga yang menjadi korban dalam peristiwa tersebut.
Di satu sisi, Denny J.A. ingin menunjukkan perlawanannya pada politik dan penguasa yang hingga saat ini tidak kunjung bisa mengungkap dan menyelesaikan masalah yang terjadi akibat tragedi Mei 98 ini.
Di sisi lain, ia ingin menunjukkan keberpihakannya para keluarga para korban, dan keberpihakannya kepada para individu yang harus menanggung luka dan trauma akibat peristiwa ini.
Bentuk lainnya yang menarik dari buku ini adalah penggunaan catatan kaki. Ini dilakukan untuk memberikan penjelasan rinci tentang suatu peristiwa atau kondisi.
Bahwa peristiwa tersebut sungguh terjadi dan ada. Hal ini juga menunjukkan ketelitian penulis dalam mengungkapkan fakta sejarah sekaligus memberikan pada pembaca penjelasan yang lebih detail tentang segala sesuatu.
Ini juga menunjukkan bahwa melalui kumpulan puisi ini penulis ingin membuat semacam historical fiction atau fictionalized true story. Yaitu dramatisasi dari kisah sebenarnya.
Ada pula fiksi yang muncul pada teks puisi dan ada fakta keras yang tercantum pada catatan kaki.
Bagian lain yang penting untuk dibicarakan dari kumpulan puisi ini adalah penggunaaan gambar. Gambar atau ilustrasi dalam buku ini memenuhi semua halaman buku. Saat ini dalam penulisan fiksi disebut istilah novel grafis. Tentang novel grafis masih menjadi perdebatan dalam khazanah sastra, sehubungan definisinya yang belum ajeg.
Novel grafis dalam pengertian sederhana adalah novel bergambar. Istilah ini masih problematis karena belum ada definisi yang ajeg—atau malah tidak akan ada definisi yang ajeg. Istilah novel grafis dipertentangkan dengan komik karena ada banyak kesamaan terutama dalam penggunaan gambar sebagai medium cerita. Istilah komik telah lama dikenal sementara novel grafis diperkenalkan sebagai sebuah istilah tahun 1964 dan dipopulerkan dalam komunitas komik sesudah dipublikasikannya karya Will Einser (1978).
Pada tahun 1978 komikus Amerika, Will Einser, menerbitkan A Contract with God dan melabeli bukunya dengan sebutan “Graphic- Novel”. Menurut Darmawan, karya ini terasa “baru” bagi publik Amerika karena ditulis tanpa batasan halaman seperti lazimnya komik di sana.
Lebih jauh Darmawan menjelaskan bahwa komik ini secara sadar membahas tema orang dewasa dan derita orang biasa (bukan superhero), sebuah roman sejarah. Dengan demikian, karya ini mengandung kesadaran naratif, ide, pendalaman karakter, dan komplikasi plot.
Einser meniatkan karyanya sebagai novel, tetapi berbentuk komik. Penjelasan Darmawan di atas sekaligus membuat batasan tentang istilah novel grafis.
Yang membedakannya dengan komik, salah satunya adalah jumlah halaman, tokoh (bukan superhero), karakter dan pendalaman karakter, serta ide naratif. Namun, yang menjadikannya sama adalah penggunaan gambar.
Analisis Meso : Aktitivis Politik dan Penggerak Anti Diskriminasi
Aspek Meso menguraikan aspek proses kewacanaan yang terkandung di dalam puisi Kutunggu di Setiap Kamisan. Ini untuk menunjukkan bahwa teks yang terepresentasi pada aspek mikro memiliki kaitan yang erat dengan proses kewacanaannya.
Selaku aktivis, ia disentuh oleh banyak problem diskriminasi yang masih hadir. Padahal reformasi politik tahun 1998 sudah mengubah wajah politik Indonesia. Namun, reformasi—sebagaimana semua perubahan politik—memang lebih mudah mengubah wacana. Kultur politik yang sudah mengakar tetap di sana. Perubahan kultur politik selalu sangat lambat.
Diskriminasi terhadap etnis, paham agama, wanita, juga orientasi seksual terjadi di sana dan di sini.
Denny JA menulis buku puisi esainya yang pertama Atas Nama Cinta sebagai jawaban atas kegelisahannya melihat situasi Indonesia pasca Reformasi, khususnya berkenaan dengan korban-korban diskriminasi, persekusi, dan intoleransi.
Terbitnya buku itu, juga bentuk puisi esai, merupakan upaya tertulis untuk perjuangannya yang lebih besar yakni “Indonesia tanpa Diskriminasi”.
Buku puisi esai berikutnya, Roti untuk Hati, masih ditulis dalam semangat pluralis atas fenomena penggunaan agama sebagai alat politik, sitgma, dan keberbagaian tafsir yang mestinya anugerah ternyata mengarah pada perpecahan.
Kutunggu di Setiap Kamisan, merupakan puisi esai berisi catatan atas fenomena orang hilang dan penghilangan orang, sebuah tindakan yang bertentangan dengan ruh demokrasi.
Jiwa yang Berdzikir, adalah puisi esai Denny JA yang ditulis setiap sahur sepanjang Ramadhan. Berbasis pada satu atau beberapa ayat Al Qur’an, Denny JA menulis renungan atas fenomena agama dan tantangan penerapannya di era sekarang ini yang beragam.
Atas Nama Derita adalah kumpulan cerpen (esai) yang ditulis sebagai renungan atas pandemi yang melanda dunia, khususnya Indonesia, sekarang ini.
Kesemua karyanya lahir dari kegelisahan atas isu-isu besar di Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Sebagai seorang Muslim, ia berupaya menyuarakan demokratisasi, anti diskriminasi, dan keberbagaian tafsir sebagai rahmat bagi umat Islam.
Denny JA juga dikenal sebagai aktivis sosial yang mempromosikan dan mengkampanyekan gerakan Indonesia Tanpa Diskriminasi, gerakan yang dia danai sendiri setelah ia sukses sebagai pengusaha.
Denny JA dikenal suka membaca dan mempunyai bakat kepemimpinan sejak kecil. Yayasan Denny JA dalam Gerakan Indonesia Tanpa Diskriminasi meraih Democracy Award dari Rakyat Merdeka Online pada tahun 2013, atas aktivitasnya ikut membangun demokrasi di Indonesia.
Latar belakang Denny JA sendiri dapat digambarkan sebagai berikut: Srata Satu Universitas Indonesia jurusan Hukum (1989); Master of Public Administration (MPA) Universitas Universitas Pittsburgh Amerika Serikat (1994); Gelar Ph.D bidang Comparative Politics and Business dari Ohio University Amerika Serikat (2001); Direktur Eksekutif Universitas Jayabaya Jakarta (2000-2003); Host untuk program politik di Metro TV dan Radio Delta FM (2002-2004); Kolumnis di sembilan surat kabar nasional (1986-2005); Direktur Eksekutif Lingkaran Survei Indonesia (LSI) (2005 – sekarang ); Ketua Umum AROPI (Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia) periode 2007 – 2010, dan 2010- 2013; Anggota WAPOR (World Association for Public Opinion Research) (2007 – sekarang); Ketua Umum AKPI (Asosiasi Konsultan Politik Indonesia) (2009 – sekarang).
Menurut pengakuannya, Ia aktif berkisah lewat film, bercerita lewat sastra, beropini lewat puisi,
Itu pula yang menjadi awal langkah saya.
Di tahun 2012, saya sudah menulis lebih dari seribu kolom di aneka media massa. Ia sudah pula menuliskan puluhan makalah riset melalui lembaga Lingkaran Survei Indonesia.
Analisis Makro: Serajah, Sastra, dan Ideologi
Tragedi Mei 1998 adalah rangkaian peristiwa kekerasan yang terjadi pada tanggal 13-15 Mei 1998 di Indonesia. Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRUK) pernah menyampaikan data bahwa Tragedi Mei 1998 telah menelan korban 1.217 jiwa (Zein, 2005).
Peristiwanya antara lain: amuk massa di berbagai kota di Indonesia, kekerasan terhadap perempuan terutama etnis Tionghoa, juga penjarahan, terutama, di Jakarta.
Ketika Peristiwa ini terjadi, Indonesia tengah terpuruk secara ekonomi. Akibat imbas krisis mata uang di kawasan Asia Tenggara, nilai mata uang rupiah secara perlahan terus merosot jauh dibandingkan dengan dollar Amerika.
Krisis yang sudah dimulai sejak Juli 1997 telah menciptakan sejumlah krisis di Indonesia. Banyak pabrik gulung tikar karena mahalnya suku cadang. Akibatnya banyak buruh di PHK. Banyaknya pengangguran baru menimbulkan kerawanan sosial. Hal ini juga ditambah dengan langkanya bahan- bahan kebutuhan pokok.
Pada pertemuan hari Selasa, 9 Januari 2007, bersama KontraS dan JRK, disepakati untuk mengadakan suatu kegiatan untuk memperjuangkan penuntasan kasus pelanggaran HAM.
Sebuah kegiatan berupa ‘Aksi Diam’ sekali dalam seminggu menjadi pilihan bersama. Bahkan disepakati pula mengenai hari, tempat, waktu, pakaian, warna, dan maskot sebagai simbol gerakan.
Dilansir dari berbagai sumber, Aksi Kamisan ini menitikberatkan pada aksi diam disertai payung hitam bertuliskan tuntutan-tuntutan penyelesaian kasus. Aksi ini juga disebut Aksi Payung Hitam.
Aksi Kamisan sendiri dilatar belakangi dari sikap pemerintah yang dirasa semakin mengabaikan penyelesaian HAM. Pemerintah yang terus diam menyikapi kasus-kasus pelanggaran HAM berat menjadi dorongan aktif keluarga korban dan para aktivis dalam menyuarakan aspirasinya.
Aksi Kamisan telah berlangsung selama 13 tahun. Dalam kurun waktu tersebut, aksi damai ini telah melewati dua rezim pemerintahan di Indonesia, era presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko “Jokowi” Widodo.
Lebih dari 643 aksi di depan Istana Negara dan 594 surat telah dikirim kepada kedua pemerintahan tersebut.
Entitas khas yang berupa bahasa yang diucapkan pada saat aksi serta penampilan dan cara berpakain yang serba hitam yang merepresentasikan bentuk kekuatan dan keteguhan hati terhadap ilahi yang akan terus konsisten dalam menuntut pelanggaran HAM di Indonesia yang sampai sekarang belum di usut tuntas.
Pilihan jatuh pada hari Kamis, karena hari tersebut merupakan hari di saat peserta rapat bisa meluangkan waktu. Depan Istana Presiden menjadi lokasi aksi karena Istana merupakan simbol pusat kekuasaan.
Waktu ditentukan pukul 16.00-17.00 WIB. Waktu tersebut dipilih lantaran saat sore hari itu lalu lintas di depan Istana Presiden ramai oleh kendaraan pulang kerja. pelajaran pertama dari Aksi Kamisan adalah membangun konsistensi gerakan sosial. Konsistensi diperlukan karena gerakan sosial kerap membutuhkan waktu panjang untuk mewujudkan agendanya.
Misalnya, akar gerakan sipil di Amerika Serikat (AS) telah bermula sejak 1940-an, namun perjuangan menegakkan hak sipil baru terwujud pada tahun 1968.
Jika saja sejarah disampaikan dan diajarkan dalam bentuk kisah dan cerita, maka sejarah itu akan selalu diingat.” Demikianlah seorang penerima Nobel Satra di tahun 1907, Ruyard Kupling, berpandangan.
Sejarah akan lebih mudah dikenang, diambil hikmah, jika ia sampai pada kita dalam bentuk drama, dengan plot, karakter, kuat sisi human interestnya. Sejarah bahkan aneka peristiwa apa saja memang lebih mudah menyentuh hati jika ia datang dalam bentuk film, teater, sastra, baik puisi ataupun novel.
Ilmu sejarah acapkali menyampaikan sejarah lewat kronologi peristiwa, nama tempat, nama tokoh, riwayat pelaku, dan konteks sosialnya. Sisi batin dan psikologis masyarakat, dan kesadaran kolektif kurang tergambarkan melalui pendekatan keilmuan yang kering.
Sisi batin dan pergolakan kesadaran lebih bisa didapatkan intisarinya lewat kisah dan cerita. Sejarah memang lebih cepat sampai pada kita jika dikatakan lewat sastra.
Bahkan lebih jauh lagi, opini tentang gagasan besar, bisa lebih masuk hingga ke tulang sumsum kita jika disampaikan lewat sastra. Ini pula yang menjadi pilihan Denny JA dalam puisi esai-puisi esainya, termasuk terutama Aku Tunggu di Setiap Kamisan ini, yang memotret sejarah kelam Peristiwa Mei 1998.
Penutup
Hasil analisis mikro, meso, dan makro pada buku kumpulan puisi Aku Tunggu di Setiap Kamisan yang ditulis oleh Denny J.A. menunjukkan bahwa bentuk dan strategi teks yang terdapat dalam buku tersebut memiliki hubungan erat dengan kognisi Denny J.A. sebagai penulis dan situasi sosial, budaya, dan politik yang melatarbelakangi saat wacana itu dihasilkan.
Pertama, bentuk teks kwatrin yang menjadi bentuk utama dari puisi ini menunjukkan upaya Denny J.A. untuk mengukuhkan bahwa wacana yang ditulisnya adalah bergenre puisi.
Meski demikian, pada beberapa bagian, keterikatan bentuk kwatrin ini telah mengekang penulis sehingga menghasilkan diksi-diksi tertentu yang tidak lazim karena pada beberapa bagian, penulis lebih mengutamakan rima, dibandingkan makna.
Kedua, penulis memanfaatkan kata kunci disertai kekayaan kolokasinya dalam membangun tema utama yang ingin disampaikan kepada pembaca melalui buku puisi ini.
Politik, kesedihan, kesepian, dan gambaran situasi yang kelam adalah kata kunci utama yang dihadirkan dalam bentuk kolokasinya yang beragam.
Hal ini untuk mengukuhkan tema yang diusung dalam kumpulan puisi Kutunggu di Setiap Kamisan, yakni masalah politik yang membawa penderitaan, utamanya berkaitan dengan kasus tragedi 98.
Ketiga, keutamaan lain dari aspek bentuk dari kumpulan puisi ini adalah adanya catatan kaki dan gambar/ilustrasi yang melengkapi beberapa bagian puisi di dalam buku ini. Penggunaan catatan kaki menunjukkan bahwa Danny J.A. sebagai penulis memiliki atau melakukan riset ilmiah untuk penulisan buku kumpulan puisi ini.
Hal ini tentu saja dilatarbelakangi oleh latar pendidikan dan sosial Denny J.A. yang merupakan seorang peneliti sekaligus praktisi dalam bidang hukum dan politik, Hal ini menunjukkan bahwa melalui buku puisi ini, penulis ingin membuat semacam historical fiction atau fictionalized true story. Yaitu dramatisasi dari kisah sebenarnya. Ada pula fiksi yang muncul pada teks puisi dan ada fakta keras yang tercantum pada catatan kaki.[]
Prof. Dr. Dadang Suganda, M. Hum. ialah Guru Besar Linguistik, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran yang juga bertugas sebagai Wakil Rektor I Universitas Widyatama (2020- sekarang). Ia pernah menjadi Dekan Fakultas Ilmu Budaya Unpad selama dua periode (2006-2010 dan 2010-2014) dan pernah menjadi Ketua Komisi Akademik, Senat Akademik Unpad (2015-2020).
Kepakaran beliau adalah dalam bidang Analisis Wacana dan Pragmatik, selain memiliki minat terhadap kajian Budaya dan Pariwisata.
Aktif sebagai pemateri dalam berbagai pelatihan/seminar dan aktif melakukan publikasi ilmiah nasional dan internasional. Sebagai bentuk perhatiannya pada kemajuan pendidikan di daerah, beliau juga penggagas Kampung Literasi Cisontrol, sebuah kampung di Ciamis Jawa Barat yang masyarakatnya, khususnya generasi muda, melek literasi dan fasih dalam berkomunikasi dalam bahasa Inggris.
Red.