Global Cyber News.Com|Kemarahan dan dendam memang sulit diukur. Bagi setiap korban kejahatan, hukuman bagi pelaku belum tentu memadai – ada rasa ketidakpuasan jika tak sepadan, ada sisa dendam jika tak seimbang. Gandhi pernah berkata, “jika mata dibayar dengan mata, maka seluruh manusia akan buta”. Namun ada kesadaran yang seringkali lalai untuk diingat bahwa semua manusia adalah makhluk supremasis dan relativitas keadilan kadang terjepit di tengah-tengah dalam posisi salah tingkah.
Hukum pidana kebanyakan dibuat bukan untuk menyeimbangkan sanksi dengan perbuatan, melainkan berusaha seadil mungkin dalam menyetarakan hak dan martabat satu sama lain. “Maka seringkali penegak hukum adalah korban kejahatan sosial berikutnya”, kata Pels Rijcken, “mereka seringkali dituding tidak adil karena keadilan itu sendiri melayang-layang di udara”.
Karena itu ketika Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo, mulai menjabat dan mencanangkan “Presisi” sebagai program awalnya, saya menganggap Polri telah berkenalan dengan tatanan dunia baru dalam hukum internasional. Dari Presisi, Polri lalu mengimplementasikannya dalam berbagai jurus di lapangan, salah satunya konsepsi “restorative justice”.
Tentu saja hal ini tidaklah mudah. Dendam manusia yang dimanjakan oleh hukum “lex talionis” selama ribuan tahun dengan itu harus diakhiri. Gejolak berlapis-lapis pun muncul. Masyarakat belum sanggup bersahabat dengan jalan damai sebagai cara hukum demi hukum. Persoalan hukum pidana ringan yang diselesaikan dengan “materai”, penipuan yang diselesaikan dengan mengganti kerugian, adalah beberapa praktik yang tentu saja akan ditolak oleh masyarakat yang menganggap sanksi hukum sebagai alat pemuas dendam.
Tapi inilah pemolisian masa depan. Hukum negara harus bisa mempertegas keseimbangan hak dan martabat setiap manusia. Kapolri telah memulai semua ini secara perlahan, meski sebagian besar masyarakat masih belum mampu mengakomodasinya. Banyak orang menganggap polisi semakin tak berwibawa terkaitu hal itu, mungkin karena imej polisi di film koboi yang sering digambarkan sebagai “sheriff” bersenjata ganda dengan kemampuan mencabut senjata lebih cepat dari bayangannya. (Islah Bahrawi)
Red.