Sunday, September 8, 2024
spot_img
spot_img
HomeOpiniJacob Ereste :Obrolan Ala Sufi dan Wali Spiritual Pada Acara Halal Bihalal
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Related Posts

Featured Artist

Jacob Ereste :
Obrolan Ala Sufi dan Wali Spiritual Pada Acara Halal Bihalal

Global Cyber News.Com|Ada buah hati, ada juga buah pikiran. Getaran vibrasinya berbeda. Karena buah hati itu lahir bukan atas dasar pikiran, tetapi buah hati itu lahir karena getaran
perasaan atas bisikan jiwa. Begitulah kata pembuka diskusi serius tapi santai antara kaum sufi dan wali spiritual.

Eko Sriyanto Galgendu bersama Tim GMRI sengaja menyambangi kediaman Profesor Yudi Latief di Kawasan Bintaro, Jakarta, Selasa, 10 Mei 2022. Praktis ngobrol santai tapi serius bisa berlangsung tak kurang dari 5 jam, seperti menguras laut yang tengah pasang, karena gunung es di kutub utara sedang mencair sejak kemarin.

Profesor Yudi Latief memang dikenal sebagai intelektual Islam yang serius dan terus bergelut dengan pemikiran keagamaan, kebangsaan dan kenegaraan yang berdimensi spiritual. Sebagai cendikiawan muslim, Yudi Latief sempat masuk lingkaran Istana khusus diminta oleh Presiden Joko Widodo untuk membumikan kembali Pancasila. Tapi kemudian dia tinggalkan, meski tak sempat ditanyakan penyebab serta alasannya untuk meninggalkan jabatan yang bergaji wah itu.

Diskusi bagda sholat azar ini, cukup serius membicarakan banyak masalah. Mulai dari soal spiritual sampai keberadaan Tuhan. Bahkan kelebihan orang yang menekuni laku spiritual, katanya seperti kaum sufi yang sudah memiliki kemampuan bersastra yang tidak lagi perlu diragukan. Sebab kekuatan spiritual itu, katanya mempunyai pengetahuan dan kemampuan bersastra yang mumpuni. Karena kelebihan kaum sufi itu memiliki kekayaan bahasa ucap sastra yang tinggi muru dan kualitasnya.

Kecuali itu, Yudi Latief juga menyoroti perubahan peradaban yang tengah berlangsung di Timur, seperti yang diungkap oleh Eko Sriyanto Galgendu. Karena pusat peradaban manusia dengan segenap sumber daya dan kekayaan budaya memang ada di Timur.

Masalahnya sekarang, menurut Yudi Latief diperlukan semacam aliansi spiritual untuk segera membangun link yang mampu menyambungkannya ke berbagai lapisan masyarakat, termasuk jaringan pada semua elemen yang ada, baik untuk yang berada di dalam negeri maupun yang berada di luar negeri. Sehingga tingkat kesadaran dan pemahaman spiritual dapat segera membumi.

Dalam upaya membangun budaya politik di Indonesia, bisa saja terjadinya suatu persaingan. Namun idealnya, rakyat jangan sampai dijadikan korban. Karena rakyat sudah terlalu lama dan banyak penderitaannya.

Lain lagi paparan dari Eko Sriyanto Galgendu yang lebih pesimistik, karena siapapun yang menjadi Presiden di Indonesia tahun 2024 nanti tetap tidak bisa banyak diharap mampu melakulan perubahan yang mendasar untuk memperbaiki Indonesia yang sudah terlanjur rusak parah. Karena untuk memperbaiki semua kebobrokan yang sudah terjadi, pemimpin politik tidak akan mampu berbuat apa-apa, sebab hanya bisa dilakukan atau didampingi oleh pemimpin spiritual sebagai pengarah dan penasehatnya agar tidak makin parah dan makin jauh mengabai dimensi Ketuhanan seperti yang cuma jadi pajangan dalam Pancasila.

Untuk itulah kata Eko Sriyanto Galgendu diperlukan Wali Spiritual untuk melakukan pembenahan dan menata kembali negara dan bangsa yang sudah porak poranda, karena tatanan berngsa dan bernegara bagi Indonesia di masa mendatang sangat mencemaskan.

Jadi selama Wali Spiritual belum tampil dan tidak dilibatkan dalam penataan bangsa dan negara di Indonesia, maka perbaikan untuk beragam masalah yang rumit dan telah membuat banyak hal menjadi rusak berat, tidak mungkin bisa diselesaikan oleh para politisi yang cuma mementingkan dirinya sendiri.

Sebab hanya bersama Wali Spuritual, maka tuntunan akan didapat dari wali spiritual yang terikat serta memiliki jalinan kesepakatan dengan Tuhan. Maka itu peran wali spiritual semata yang mampu mengatasi kerunyaman yang dihadapi banfsa dan negar kita, kata Eko Sriyanto Galgendu.

Setidaknya, dalam memimpin negara, tandas Eko Sriyanto Galgendu, seorang pemimpin tidak boleh menyamakan cara memimpin negara dengan memimpin perusahaan. Sebab negara bukan perusahaan yang pamali mencari keuntungan financial dari rakyat. Begitulah, imbuh Yudi Latief, yang menilik awal dari kekacauan politik di Indonesia, akibat adanya politik anggaran dan anggaran politik yang tidak pernah jelas juntrungan alokasi penggunaannya.

Sekilas filosofis dari keberadaan Candi Borobudur, itu pun perlu dipahami kandungan makna yabg ada pada reliefnya yang sangat bernilai spiritual sekaligus menggambarkan sejarah peradaban manusia masa lampau di Nusantara yang pernah berjaya di negeri ini. Dan jalan menuju ketinggian keimanan itu pun bisa dipahami lewat pepohonan yang ada. Karena kalau cuma dilihat dari keberadaan batang pohon itu semata, tidak mencapai pucuk pohon itu, maka yang terjadi hanya sekedar pertengkaran yang tidak pernah memahami bahwa pepohonan yang rimbun itu adalah hamparan hutan yang maha luas.

Demikian juga menurut Yudi Latief, jauh sebelum adanya agama manusia sudah mengenal adanya Tahun. Lalu agama yang muncul kemudian dalam formatnya yang beragam itu, acap salah digunakan untuk dapat mencapai Tuhan. Jadi ideal sekali kalau ingin melakukan perjalan menuju Tuhan itu, jangan sampai terjabak pada cara yang diatur oleh agama. Sebab agama itu sendiri bukan tujuan, tapi cuma sekedar sarana atau kendaraan semata untuk mendekatkan diri dengan Tuhan.

Celakanya, yang dominan terjadi selama ini, kata Yudi Latief, cara menuju Tuhan yang dilakoni oleh banyak orang itu jadi terbelenggu oleh cara atau wadah yang dikonstruksikan oleh manusia yang kemudian dinamakan agama.

Padahal menurut Yudi Latief, jauh sebelum adanya agama manusia sudah mengenal Tuhan. Lalu agama kemudian muncul dalam formatnya seperti yang ada sekarang. Maka itu untuk mencapai Tuhan, jangan sampai terjabak oleh cara yang bisa menjebak atau membelenggu kita mendekatkan diri kepada Tuhan.

Yang terjadi selama ini, kata Yudi Latief, cara menuju Tuhan dilakukan oleh banyak orang justru terbelenggu oleh caranya, atau dibatasi oleh wadah yang dikonstruksi oleh manusia. Jadi pada dasarnya etheis itu pun, sesungguhnya tidak ada. Sebab pada dasarnya manusia selalu merinduan Tuhan.

Usai acara makan malam yang sangat indah dan istimewa ini, dialog pun kembali berlanjut sambil merenung betapa nikmatnya makan yang dilayani langsung oleh seorang. Tampaknya keunukan ini terjadi, karena kesadaran sikap kenabian atau khalifatullah di muka bumi telah menyampul gelar Profesornya yang dipenuhi oleh laku spiritual, atau gairah pelayanan yang nemabukkan kaum sufi.

Begitulah agaknya pertautan kaum sufi dengan wali spiriual yang acap terkesan naib bagi orang awam. Sehingga Yudi Latief pun begitu bolak-balik ke dapur hanya untuk memenuhi keperluan tamu yang membutuhkan sendok dan mangkok. Lalu lauk pauk seperti sate bumbu kacang mete, ayam bakar yang gurih ditimpali sambel cabe ijo serta krupuk krecek khas Jawa, jadi terasa menjadi semakin istimewa dan super nikmat ketika dilahap. Sebab pelayanan yang dilakukan Profesor Yudi Latief kepada tetamunya sungguh dilakukan penuh ikhlas, tanpa rasa risi oleh akademik yang tertera didepan maupun dibelakang nama besarnya. Namun begitu, toh ada ekspresi dari kegembiraan tatkala melakukan pelayanan itu, karena mungkin pula karena dia memang sebagai tuan rumah yang indah itu pula.

Pada akhirnya, penulis pun sesungguhnya tidak cukup yakin, sungguhkah acara ngobrol dan makan-makan seperti itu adalah model dari acara halal bihalal model kaum sufi dan wali spiritual pada era milineal sekarang ini ?

Entahlah !

Jakarta, 10 Mei 2022

Red.

Latest Posts