Sunday, September 8, 2024
spot_img
spot_img
HomeSejarahSejarah  Betawi
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Related Posts

Featured Artist

Sejarah  Betawi

Glodok

globalcybernews.com  -SEJARAH GLODOK DI HUNI ETNIS TIONGHOA

GEGER PECINAN.
( Dari seri Amangkurat )
Bagian ke 16.
Gubernur jenderal Adriaan Valckenier.
Ni Hoe Kong.
Siow Phan Xiang.
Gubernur jenderal Van Imhoff.

Pada tanggal 1 Oktober malam, Gubernur jenderal Valckenier menerima laporan bahwa ribuan orang Tionghoa sudah berkumpul di luar gerbang kota Batavia;
Terdiri dari berbagai kelompok buruh pabrik gula keturunan Tionghoa yang menggunakan senjata yang dibuat sendiri telah menjarah dan membakar pabrik, mereka diduga dipimpin Kapitan Cina Ni Hoe Kong,
Untuk menanggapi situasi ini, pemimpin Belanda mengirim 1.800 pasukan tetap yang ditemani schutterij (milisi / sukarelawan ) dan sebelas batalyon wajib militer untuk menghentikan pemberontakan; mereka melaksanakan jam malam dan membatalkan perayaan Tionghoa yang sudah dijadwalkan.

Karena takut bahwa orang Tionghoa akan berkomplot pada malam hari, yang tinggal di dalam batas kota dilarang menyalakan lilin dan disuruh menyerahkan semua senjata, hingga pisau paling kecil sekalipun.
Pada hari berikutnya, pasukan Belanda berhasil menangkis suatu serangan dari hampir 10.000 orang Tionghoa, yang dipimpin oleh kelompok dari Tangerang dan Bekasi, di tembok kota sebelumnya kelompok ini sudah membunuh 50 pasukan Belanda di Meester Cornelis (kini Jatinegara) dan Tanah Abang.
Raffles mencatat sebanyak 1.789 warga keturunan Tionghoa terbunuh dalam serangan ini.

Untuk menanggapi serangan ini, Valckenier kembali mengadakan pertemuan Dewan Hindia pada tanggal 9 Oktober.
Diambil keputusan untuk menghemat ongkos pengamanan, dan supaya tidak ada rasa bersalah maka dewan memutuskan untuk memperhadapkan kelompok pemberontak ini dengan kelompok pribumi yang lain, dengan issue bahwa orang Tionghoa berencana membunuh atau memerkosa orang pribumi, atau menjadikan mereka sebagai budak.
Dengan cepat issue ini menyebar dan terjadilah tindakan anarkis untuk kedua kalinya. kelompok-kelompok ini mulai membakar rumah-rumah milik orang Tionghoa di sepanjang Kali Besar. Disusul oleh serangan Belanda terhadap tempat tinggal orang Tionghoa di Batavia.
Politikus Belanda yang anti-kolonis W.R. van Hoëvell menulis bahwa “wanita hamil dan yang sedang menyusui, anak kecil, dan para pria gaek / manula di sembelih, Tahanan Tionghoa dikeluarkan untuk dibantai seperti domba. Demikian pula dirumah rumah sakit, pasien-pasien Tionghoa diseret keluar dan dibunuh setelah dijatuhkan dari ranjang.

Selama 13 hari di bulan Oktober 1740, VOC membantai warga Cina di Batavia.
“Seluruh jalanan dan gang-gang dipenuhi mayat tanpa kepala, kanal / sungai penuh dengan mayat. Bahkan kaki kita tak akan basah ketika menyeberangi kanal jika melewati tumpukan mayat-mayat itu,” demikian kesaksian G. Bernhard Schwarzen dalam buku Reise in Ost-Indien yang terbit tahun 1751.

Schwarzen termasuk pelaku sejarah berdarah yang dimulai pada 9 Oktober 1740. Ia adalah salah satu serdadu VOC yang turut melakukan “pembersihan” warga Cina di Batavia (sebutan lama untuk Jakarta).

Pasukan di bawah pimpinan Letnan Hermanus van Suchtelen dan Kapten Jan van Oosten, seorang serdadu Belanda yang selamat dari serangan di Tanah Abang, mengambil posisi di daerah pecinan: Suchtelen dan pasukannya menempatkan diri di pasar burung, sementara pasukan van Oosten mendapatkan pos dekat kanal.
Sekitar pukul 5.00 sore, serdadu Belanda mulai menembakkan meriam ke arah rumah-rumah orang Tionghoa, sehingga rumah-rumah tersebut terbakar. Puluhan orang Tionghoa tewas terbakar dan tertimpa bangunan rumah mereka, sementara yang lainnya ditembak saat keluar dari rumah untuk menyelamatkan diri, banyak pula yang putus asa lalu bunuh diri. Yang berhasil mencapai kanal ( sungai buatan didalam kota ) dibunuh oleh pasukan Belanda yang menunggu di perahu kecil,
Dan pasukan Belanda lainnya mondar-mandir di antara rumah-rumah yang sedang terbakar, mencari dan membunuh orang Tionghoa yang masih hidup. Serta menjarah barang-barang nya.
Tindakan ini kemudian menyebar di seluruh kota Batavia.
Usaha untuk memadamkan kebakaran di daerah Kali Besar belum membawa hasil; kebakaran itu malah semakin ganas, dan baru padam pada tanggal 12 Oktober.
Sementara, itu sebuah kelompok yang terdiri dari 800 pasukan Belanda dan 2.000 pasukan orang pribumi menyerbu Kampung Gading Melati, di mana terdapat ratusan orang Tionghoa yang bermarkas disana di bawah pimpinan Khe Pandjang. Pertempuran yang tidak seimbang ini menyebabkan mereka harus mundur ke daerah Paninggaran, namun mereka terus didesak oleh pasukan Belanda. Terdapat sekitar 450 orang di pihak Belanda dan 800 orang Tionghoa yang menjadi korban terbunuh dalam kedua serangan tersebut.

KEKERASAN YANG TERUS BERLANJUT.
Pada tanggal 11 Oktober, Gubernur jenderal Valckenier menyuruh para opsir Belanda untuk menghentikan penjarahan, tetapi tidak berhasil. Hal ini menyebabkan perlawanan terus dilakukan oleh banyak orang Tionghoa dibawah pimpinan Saow Phan Xiang yang mereka angkat sebagai pimpinan dengan jabatan Kapiten. ( Kelak ikut bertempur bersama Raden mas Garendi / Sunan Kuning di Jawa tengah menggempur Belanda – sudah bisa dibaca pada postingan bagian 10 ).

Dua hari kemudian Dewan Hindia, memanfaatkan situasi ini dengan menggelar sayembara. Ia menjajikan hadiah besar untuk setiap kepala orang Cina yang berhasil dipancung. Setiap orang yang membawa kepala orang Tionghoa akan dihargai dengan dua dukat; dan kepala pemimpin pemberontakan; dihargai sebanyak 500 rijksdaalder, dampaknya sangat signifikan. Ratusan orang Cina ditangkap dan disembelih di halaman Balai Kota Batavia, termasuk para tahanan, dan pasien rumah sakit, , hal ini digunakan untuk memancing suku lain agar mereka ikut membantai orang Tionghoa. Akibatnya, orang Tionghoa yang selamat dari serangan pertama mulai diburu “bandit-bandit” yang menginginkan hadiah itu. Dan mereka memotong kepala siapa saja yang ditemui yang penting orang Tionghoa. Penguasa Belanda bekerja sama dengan kelompok pribumi dari berbagai daerah yang menetap di Batavia; Grenadir Bugis dan Bali dikirim untuk memperkuat pasukan Belanda pada tanggal 14 Oktober.Pada tanggal 22 Oktober, datang lagi bantuan dari Grenadir Ambon dan Makasar. Tanggal 29 Oktober datang lagi bantuan Grenadir dari Banten.

Di luar batas kota terus terjadi pertempuran antara pemberontak Tionghoa dan pasukan Belanda. Pada tanggal 25 Oktober, setelah hampir dua minggu adanya pertempuran kecil, 500 orang Tionghoa bersenjata berangkat menuju Cadouwang (kini Angke), tetapi dihalau oleh kavaleri di bawah pimpinan Ridmeester Christoffel Moll serta Kornet Daniel Chits dan Pieter Donker. Pada hari berikutnya kavaleri itu, yang terdiri dari 1.594 pasukan Belanda dan pribumi, mendekati markas orang Tionghoa di Pabrik Gula Salapadjang. Di sana mereka berkumpul di hutan, lalu membakar pabrik yang masih penuh dengan pemberontak Tionghoa; satu pabrik lain di Boedjong Renje dimusnahkan oleh pasukan Belanda lain. Didesak terus oleh pasukan Belanda, orang-orang Tionghoa mengungsi ke pabrik gula lainnya di Kampung Melayu, yang berjarak empat jam dari Salapadjang; markas ini dimusnahkan oleh pasukan gabungan Belanda dan pribumi di bawah pimpinan Kapten Jan George Crummel. Setelah mengalahkan orang Tionghoa, pasukan Belanda kembali ke Batavia. Sementara, itu orang-orang Tionghoa, yang mulai dikurung 3.000 prajurit dari Kesultanan Banten, melarikan diri ke arah timur mengikuti pesisir utara pulau Jawa; pada 30 Oktober dilaporkan bahwa orang-orang Tionghoa dibawah pimpinan Kapiten Soaw Phan Xiang tersebut sudah melewati Tangerang. Kemudian menelusuri pantai Utara dan kelak sampai kota Semarang lalu mengepung Loji Belanda disana.

Perintah untuk gencatan senjata diterima Crummel pada tanggal 2 November. Dia dan pasukannya kembali ke Batavia setelah menempatkan 50 penjaga di Cadouwang. Ketika Crummel tiba di Batavia, sudah tidak ada lagi pemberontak Tionghoa di luar tembok kota. Penjarahan berlangsung sampai tanggal 28 November, dan pasukan pribumi terakhir dibebastugaskan pada akhir bulan itu.

Para sejarawan mencatat sebanyak lebih dari 10.000 orang Tionghoa yang berada di dalam kota Batavia dibunuh, dan 500 lagi mengalami luka berat. Sedangkan yang diluar tembok kota tidak terhitung. Hampir semuanya sudah tanpa kepala. Antara 600 dan 700 rumah milik orang Tionghoa dijarah dan dibakar.
Jacobs Vermeulen mencatat hanya 600 orang Tionghoa yang selamat.
Pembantaian ini disusul oleh periode yang rawan pembantaian terhadap warga keturunan Tionghoa di seluruh pulau Jawa, termasuk satu pembantaian lagi di Semarang pada tahun 1741, dan beberapa pembantaian lain di Surabaya dan Gresik. Oleh pasukan Pangeran Cakraningrat IV atas permintaan Sunan Pakubuwana II.

Gubernur jenderal Belanda akhirnya mengeluarkan peraturan, semua penduduk Batavia keturunan Tionghoa dipindahkan ke suatu wilayah yang disebut Pecinan di luar batas kota Batavia, yang kini menjadi Glodok. Ini membuat orang Belanda lebih mudah mengawasi orang Tionghoa. Untuk meninggalkan pecinan, orang Tionghoa membutuhkan tiket khusus. Dan harus lapor ke pos Belanda ( akhirnya nama lain dari Pecinan adalah Keposan ) Namun, pada tahun 1743, dengan cara menyuap tiba tiba saja sudah ada ratusan pedagang keturunan Tionghoa yang bertempat di dalam kota Batavia.
Orang-orang Tionghoa lain yang dipimpin oleh Kapiten Siow Phan Xiang mengungsi ke Jawa Tengah, di mana mereka menyerang berbagai pos perdagangan Belanda dan bergabung dengan pasukan di bawah pimpinan Sultan Mataram, Pakubuwana II.( Waktu masih anti Belanda ) dan Sunan Kuning, Meskipun perang ini sudah selesai pada tahun 1743,selama 17 tahun terdapat konflik di Jawa secara terus-menerus.

TINDAKAN VALCKENIER PADA LAWAN POLITIKNYA.
Pada tanggal 6 Desember 1740 van Imhoff dan dua anggota Dewan Hindia lainnya ditangkap atas perintah Valckenier dengan tuduhan pembangkangan, dan pada tanggal 13 Januari 1741 mereka dikirimkan ke Belanda dengan kapal yang berbeda. Mereka tiba di Belanda pada tanggal 19 September 1741. Di Belanda, van Imhoff meyakinkan Heeren XVII, pemegang saham utama VOC, bahwa Valckenier yang memicu pembantaian di Batavia, serta menyampaikan pidato berjudul “Consideratiën over den tegenwoordigen staat van de Ned. O.I. Comp.” (“Pertimbangan atas Keadaan Mutakhir di Hindia Belanda”) pada tanggal 24 November. Sebagai akibat dari pidato itu, van Imhoff dan anggota dewan lain dibebaskan dari semua tuntutan. Pada tanggal 27 Oktober 1742, van Imhoff dikirimkan kembali ke Batavia menggunakan kapal Hersteller sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang baru. Ia tiba di Batavia pada tanggal 26 Mei 1743.

AKHIR HIDUP VALCKENIER.
Pada bulan Februari 1741 gubernur jenderal Valckenier, menerima surat yang memerintahkan supaya dia mengangkat van Imhoff sebagai penggantinya.
Versi lain ialah bahwa Heeren XVII menggantikan Valckenier sebagai hukuman atas terlalu banyak gula yang diekspor daripada kopi pada tahun 1739, hal ini sangat merugikan VOC.
Pada bulan Agustus 1742, ia dipenjarakan di Benteng Batavia, dan tiga bulan kemudian, digugat atas beberapa tuntutan, termasuk keterlibatannya dalam Geger Pacinan.
Pada bulan Maret 1744, ia dinyatakan bersalah dan dituntut dengan hukuman mati dan harta bendanya disita.
Pada bulan Desember 1744, kasus tersebut dibuka kembali setelah Valckenier membuat pernyataan yang panjang untuk membela dirinya.
Valckenier meminta lebih banyak bukti dari Belanda, tetapi dia keburu meninggal dunia dalam kurungan pada tanggal 20 Juni 1751, sebelum penyelidikan diselesaikan. Hukuman mati dibatalkan pada tahun 1755.
Vermeulen berpendapat bahwa penyeledikan Valckenier tidak adil dan dipicu oleh amarah masyarakat di Belanda. Lama kemudian hal Ini mungkin diakui secara resmi, sebab pada tahun 1760, putra Valckenier, Adriaan Isaäk Valckenier, mendapatkan ganti rugi sebanyak 725.000 gulden.

Produksi gula di daerah Batavia turun secara drastis setelah pembantaian, sebab banyak orang Tionghoa yang dulu mengurus industri tersebut sudah terbunuh atau hilang. Industri tersebut mulai berkembang lagi setelah Gubernur Jenderal van Imhoff “mengkolonisasi” Tangerang. Awalnya dia bermaksud agar orang yang berasal dari Belanda untuk bertani di sana; dia berpendapat bahwa orang Belanda yang sudah ada di Batavia adalah orang malas. Namun, dia tidak bisa menarik orang baru karena pajak di Hindia Belanda sangat tinggi, maka dia terpaksa menjual tanah kepada orang Belanda yang ada di Batavia. Pemilik tanah baru ini tidak berkenan untuk mengerjakan tanah tersebut, maka mereka menyewakan tanah itu kepada orang Tionghoa.
Produksi meningkat setelah itu, tetapi baru pada dekade 1760-an produksi ada pada tingkat yang sama dengan tahun 1740; setelah itu, produksi mulai berkurang lagi. Jumlah pabrik gula juga berkurang. Pada tahun 1710 terdapat 131 buah, tetapi pada tahun 1750 jumlahnya hanya 66 buah.

Nama bersejarah :

  • Tanah Abang ( tanah yang tertutup i oleh darah orang-orang Tionghoa )
  • Angke sendiri konon berasal dari dua kata dalam bahasa Hokkian: ang yang artinya “merah” dan ke yang berarti “sungai” Dengan demikian, “angke” dapat diartikan “sungai merah”, semerah banjir darah kaum Tionghoa yang dibantai di Batavia pada 1740 itu.
  • Rawa Bangke. Tempat pembuangan ratusan mayat orang-orang Tionghoa.
    Inilah salah satu cerita paling berdarah, juga perih, dalam sejarah Nusantara.

Catatan sunting :

  • (Alwi Shahab, Betawi: Queen of the East, 2002:103).
  • Hembing Wijayakusuma, Pembantaian Massal 1740: Tragedi Berdarah Angke, 2005:103).
  • G. Bernhard Schwarzen dalam buku Reise in Ost-Indien yang terbit tahun 1751.
  • (Benny G. Setiono, Tionghoa dalam Pusaran Politik, 2008:113).
  • (Lilie Suratminto, “Pembantaian Etnis Cina di Batavia 1740”, Jurnal Wacana, April 2004:24).
  • Greg Purcell, South East Asia Since 1800, 1965:14).
  • Dharmowijono, Mengenai Kuli, Klontong, dan Kapitan: Citra Orang Tionghoa dalam Sastra Indonesia-Belanda 1880-1950, 2011:302.
  • Paul H. Kratoska, South East Asia, Colonial History: Imperialism Before 1800, 2001:122.

Catatan : pengaruh politik pecah belah ( de video at Impera ) Belanda ini, sampai sekarang masih terus dirasakan oleh bangsa Indonesia.

Red

Latest Posts