globalcybernews.com -“Herry Kabut harus segera dibebaskan. Dan aparat yang refresif harus segera ditindak. Agar kesewenang-wenangan tidak merajalela di negeri ini”
Peristiwa penangkapan Pemimpin Redaksi Media Floresa, Herry Kabut oleh Kepolisian Resort Manggarai, Nusantara Tenggara Timur mencederai kebebasan pers seperti tertuang dalam UU No. 40 Tahun 1999, karena dilakukan saat melakukan peliputan aksi warga Poco Leok yang melakukan protes terhadap pematokan lahan Proyek Geothermal, di Kabupaten Manggarai, Bisa Tenggara Timur, pada hari Rabu, 2 Oktober 2024.
Pemberitaan penangkapan insan pers yang menarik perhatian berbagai kalangan pemerhati media ini terpublikasi secara meluas oleh floresa.co yang menyaksikan langsung ketika Herry Kabut ditangkap bersama sejumlah peserta aksi lainnya dengan ditarik secara paksa dan diangkut dengan mobil aparat dari lokasi proyek Geothermal yang menjadi bermasalah bagi masyarakat sekitarnya.
Kesaksian warga yang melihat kejadian itu, Herry Kabut diseret dan diangkut secara paksa ke dalam mobil aparat sambil dianiaya secara fisik yang tidak manusiawi. Dokumen peristiwa tragis ini sempat terdokumentasi oleh warga yang menyaksikan peristiwa yang tidak manusiawi ini, kata Erick Tanjung, Koordinator KKJ Indonesia dalam keterangan tertulisnya yang diungkapkan pada hari Jum’at, 4 Oktober 2024.
Geothermal ini adalah proyek kerjasama Perusahaan Listrik Negara (PLN) dengan pihak Pemerintah Kabupaten Manggarai, NTT yang berstatus sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) dengan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT. PLN Tahun 2021-2030. Pilihan pemerintah Kabupaten Manggarai NTT memilih Poco Leok untuk membuka akses jalan bagi proyek Geothermal yang direncanakan itu. Hadirnya PLN dan Pihak Pemerintah Kabupaten Manggarai NTT ini diiringi oleh pengamanan. aparat kepolisian, TNI Angkatan Darat serta Polisi Pamong Praja dari pemerintah setempat.
Upaya pihak PLN dan Pemerintah Kabupaten Manggarai, NTT yang merangsek masuk dihadang oleh warga dan dihadapi oleh pihak aparat dengan tindak kekerasan. dan penangkapan terhadap aktivis serta insan pers yang ingin meliput peristiwa proses pematokan lahan milik rakyat tersebut.
Informasi yang diperoleh dari warga yang ikut dalam aksi penghadangan pematokan lahan untuk akses jalan proyek Geothermal ini, tidak boleh mengambil gambar dari proses pematokan lahan tersebut oleh pihak keamanan, ungkap Erick. Apalagi saat terjadi insiden, ketika pihak aparat keamanan melakukan pendobrakan hingga mengakibatkan banyak warga yang terluka oleh aparat.
Dari keterangan warga yang ikut dalam aksi tersebut, setidaknya ada empat orang mengalami cedera fisiknya dan menahan keempat orang tersebut.
Atas peristiwa yang mencederai kebebasan berekspresi dan peliputan ini, protes dari berbagai kalangan pemerhati hak asasi manusia dan kebebasan pers juga disampaikan Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) menilai tindak kekerasan yang dilakukan pihak aparat keamanan pada aksi unjuk rasa ini merupakan pelanggaran berat terhadap jaminan perlindungan kerja insan pers seperti yang telah diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UU No. 40 Tahun 1999 tentang perlindungan terhadap pekerja pers. .
Adapun sanksi terhadap pelanggaran ketentuan dari UU No. 40 Tahun 1999 ini menegaskan bahwa ; “Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta”. Karena itu, tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan berupa penghalangan dan penganiyaan serta penyiksaan yang mengakibatkan terlukanya insan.oers saat menjalankan tugas dan profesi pekerjaannya adalah tindak pidana yang jelas diatur dalam Pasal 351 KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara.
Oleh karena itu, pihak kepolisian harus segera memproses aparat yang telah melakukan tindak kekerasan dan menghalang-halangi tugas pokok pekerja pers secara hukum maupun kode etik profesi dari aparat yang tersangkut dalam tindakan yang keji itu.
Kepada Panglima TNI diminta untuk segera menindak aparat jajarannya yang telah terlibat dalam kejadian yang telah dengan terang benderang melanggar hukum ini. Serta menarik seluruh aparatnya yang ikut dalam pengamanan aksi yang dilakukan warga masyarakat sipil, karena tidak sesuai dengan tugas dan kewajiban TNI seperti yang diatur oleh UU maupun peraturan yang berlaku di republik ini.
Oleh karena itu, Kapolri dan Panglima TNI harus segera menertibkan masing-masing anggotanya, agar tidak sampai terulang kembali kejadian serupa di lain waktu. Atau terjadi perlawan brutal dari warga masyarakat sipil yang tidak lagi mampu menahan kesabaran menghadapi sikap refresif dari aparat manapun.
Kepada rakyat yang telah menjadi korban dari tindak kekerasan pihak aparat, harus tetap gigih untuk memperjuangkan hak secara hukum, karena penegakan hukum tidak bisa dilakukan oleh penegak hukum itu sendiri sekalipun. Sebab peran serta warga masyarakat akan sangat menentukan tegak atau tidaknya hukum di negeri ini. Karena perlawanan budaya untuk menjaga agar etika dan moral tetap menjadi pegangan bersama serta harus dilakukan dan dijaga bersama oleh rakyat yang tidak pernah lengah dan pantang untuk menyerah.
Banten, 4 Oktober 2024
Red