- Global Cyber News.Com|Kumpulan Cerpen Esai Atas Nama Derita Denny JA
Oleh Prof. Dr. Endang Caturwati
Institut Seni Budaya Indonesia, Bandung
Membaca buku kumpulan Cerpen Esai Suara Duka Era Virus Corona Karya Denny JA yang dirangkai dengan Judul Atas Nama Derita, sungguh mengasyikkan.
Pembaca serasa dibawa pada kejadian yang sebenarnya, diajak merasakan haru menyedihkan, antara simpati dan empati, sehingga seolah-olah ikut terlibat dan berada di dalamnya. Kalimat-kalimat yang dituangkan penulis walaupun berupa ceritera fiksi namun puitis, menyentuh, dan memberikan informasi kisah nyata yang sangat humanis dan membumi.
Derita yang dialami, baik masyarakat, maupun sosok pribadi sangat pelik, bahkan dilematis. Dalam situasi pandemi, hampir setiap saat terjadi peristiwa mengenaskan, yakni mereka yang terpapar virus corona. Mereka bisa jadi teman-teman, lingkungan kerja atau komunitas, bahkan saudara terdekat.
Betapa mengenaskah melihat orang yang kita kenal satu-persatu berguguran. Bahkan, tidak jarang kejadian mengenaskan ini terjadi secara berjamaah, yakni menjadi korban virus yang kita tidak tahu wujudnya seperti apa tapi begitu ganas dan mematikan.
Denny JA, sebagai penulis mengangkat berbagai fenomena yang ia tulis secara ringan tapi sangat informatif dan komunikatif.
Buku ini memberikan banyak pengetahuan secara multidimensi, dengan mengangkat dan menambahkan imajinasi sisi batin. Terutama bagaimana suara batin mereka yang menjadi korban dan bagaimana jeritan luka rasa.
Ia gambarkan drama batin yang terlalu dalam untuk dilupakan begitu saja, yang tidak bisa digambarkan dengan total dalam pemberitaan jurnalisme biasa yang umumnya hanya memaparkan kejadian secara informatif.
Dalam pengantarnya, Denny JA menjelaskan mengapa ia menulis cerpen esai mengenai fenomena Virus Corona dalam kedelapan cerpen esainya. Denny ingin berbagi ilmu, agar tulisannya dapat menjadi rujukan bagi mereka yang akan menulis cerpen esai.
Bisa dibilang pengantarnya menawarkan model panduan penulisan Cerpen Esai. Delapan Cerpen Esai tersebut, terdiri dari,
• Bagian Satu: Kak, Aku di Karantina di Mesjid;
• Bagian Dua: Dokter Itu Sampai di puncak Gunung;
• BagianTiga: Aku Pun Pergi ke Wulan;
• Bagian Empat: Lebaran On Line;
• Bagian Lima Aktivis itu minta Pak Mentri Mundur;
• Bagian Enam: Lapor pak Walikota, ada Warga Mati Kelaparan;
• Bagian Tujuh: Keris Pusaka Pedagang Keliling;
• Bagian Delapan: Robohnya Kampung Kami.
-000-
Agar pembaca memahami apa yang dimaksud dengan cerpen esai, Denny menjelaskan mengenai isi dari tulisannya yang berbeda dengan cerpen biasa, yang pada umumnya lebih cenderung merupakan ceritera fiksi atau imajinasi.
Lebih jelasnya, yang dimaksud Cerpen Esai oleh Denny itu harus memiliki lima kategori, sebagai berikut:
• Pertama: Cerpen Esai, adalah ceritera fiksi dari kisah nyata. Ibu kandungnya terdapat peristiwa yang benar-benar terjadi. Jadi bukan semata rekaan. Akan tetapi dari peristiwa nyata yang difiksikan, agar lebih menarik dan dapat menyentuh bagi para pembaca.
Dengan demikian, cerpen esai berbeda dengan cerpen biasa yang bisa ditulis dari khayalan apa saja tanpa merujuk kisah nyata.
• Kedua: Dalam cerpen esai, fungsi catatan kaki sangat sentral. Maka apabila tidak ada cacatatan kaki, tidak ada cerpen esai, karena catatan kaki merupakan keterangan dari kisah nyata, yang akan difiksikan.
Oleh karenanya catatan kaki pada puisi esai bukan hanya penambah informasi atau memperjelas makna, atau istilah kata. Akan tetapi sebagai ibu dari kisah cerpen esai yang akan ditulis.
• Ketiga: cerpen esai, adalah gabungan cerpen dan esai. Oleh karenanya merupakan cerpen yang bercita rasa esai, tetapi juga esai yang bercita rasa cerpen.
• Keempat: Prinsipnya sama dengan cerpen biasa, panjang ceritera sekitar 1.000 s/d 2.500 kata, 6.000 s/d 10,000 karakter. Batasan tersebut, semata-mata agar tidak terlalu pendek untuk membuat kisah drama, dan juga tidak terlalu panjang karena yang akan ditampilkan kisah satu kesan saja.
• Kelima: Menggunakan bahasa yang mudah dimegerti dan komunikatif, karena pada dasarnya cerpen esai ingin membawa sastra semakin dapat dimengert oleh khalayak luas.
Dalam tulisan Cerpen Esai Atas Nama Derita: Suara Duka Era Virus Corona ini, Denny memaparkan kejadian serangan virus Corona yang terjadi di Indonesia, dari sisi batin yang lebih menyentuh, bahkan terkesan sangat dramatik, dengan mengangkat tokoh, karakter, dan tempat kejadian yang seolah-olah sangat dekat dengan pembaca.
Ini semua membuat pembaca ikut terlibat di dalam peristiwa tersebut, atau juga, seperti melihat secara langsung.
Virus Corona, pada kenyataannya tidak bisa diabaikan atau dianggap main-main, Virus yang muncul kapan saja, di mana saja, antara ada dan tiada, tiba-tiba menerjang setiap saat dengan tanpa mengenal siapa, di mana, dan mengapa.
Termasuk yang menjadi korban serangan adalah orang-orang yang begitu tulus menolong korban Covid. Virus ini juga menyerang para relawan dan komunitas jamaah Mesjid yang sedang giat-giatnya menekuni nilai-nilai agama.
Bahkan, menyerang juga petugas medis seperti dokter dan perawat. Padahal, merekalah yang berada di garis depan melawan teroris berupa virus yang tidak jelas wujudnya, serta tidak jelas dari arah mana datangnya. Merekalah yang menjadi panglima yang gugur terkena bom corona.
Alur cerita menjadi menarik, karena penulis merangkai bagian demi bagian lainnya yang dibungkusnya menjadi kesatuan makna yang disampaikan dengan bahasa yang menarik dan komunikatif.
Sudah setahun lebih pandemi virus corona yang dikenal dengan sebutan Covid-19 menyerang secara meluas di Indonesia. Virus yang konon berasal dari Wuhan China, menyebar ke seluruh penjuru dunia.
Banyak sektor yang terkena imbas dari pandemi virus ini. Berbagai dampak bermunculan dan sekaligus berakibat fatal, terutama bagi kelas menengah yang rapuh dan rentan dimiskinkan oleh pandemi ini.
Terjadi pula korban PHK, di mana-mana, berlanjut dengan himbauan Sosial distancing dan Work from Home, serta pembatasan social berskala besar, yang mengakibatlan warga kesulitan mengakses fasilitas kesehatan, terancam krisis pangan, dan kehilangan mata pencaharian.
Dengan dihentikannya aktivitas dan mobilitas para pekerja atau buruh kecil, ditutupnya sekolah dan Perguruan tinggi untuk digantikan dengan sistem belajar-mengajar secara virtual, serta ditutupnya berbagai perusahaan maupun tempat-tempat hiburan dan pariwisata, ekonomi Indonesia nyaris terpuruk.
Merebaklah berbagai modus penipuan, seperti menggunakan hand phone mengatasnamakan nama-nama personal, menipu dengan dalih pinjam uang, maupun minta bantuan karena terdesak musibah kecelakaan atau sakit keras. Selain melaui media selular Hand phone, para penipu tersebut kadang langsung menelpon ke rumah, dengan modus anaknya kecelakaan atau ditanggkap polisi karena kasus kenakalan remaja agar segera menstrafer sejumlah uang.
Sektor yang paling tertekan akibat wabah virus Covid-19, adalah rumah tangga, pedagang kecil yang biasa menjajakan makanan—di depan sekolah-sekolah, kampus, atau kantor-kantor, para pekerja jasa angkutan seperti ojek dan angkutan kota dan bis umum.
Pandemi juga berdampak pada bisnis catering karena tidak adanya helatan pesta perkawinan atau berbagai event di gedung, hotel, kantor, atau lembaga-lembaga. Ini semua masih ditambah dengan derita dan keluh kesah para ibu kost yang nyaris semua kamarnya kosong hingga tidak ada pemasukan uang, karena para penyewa kamar (terutama mahasisa), pulang kampong akibat kuliahnya dilaksanakan secara daring.
Nyaris pertumbuhan ekonomi pun mengalami kontraksi cukup besar. Sektor rumah tangga mengalami tekanan dari sisi konsumsi, karena masyarakat lebih banyak beraktivitas di dalam rumah, sehingga daya beli menurun dikarenakan banyak masyarakat yang kehilangan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, terutama masyarakat miskin.
Dengan adanya anjuran pemerintah untuk di rumah saja, banyak orang enggan beraktivitas di luar rumah sehingga beberapa sektor jasa dan pedagangan mengalami kebangkrutan.
Di awal kemunculannya, virus Corona mendapat beragam respons dari masyarakat Indonesia. Sebagian mulai berhati-hati dan menerapkan pola hidup sehat, tetapi banyak yang tidak peduli dan terkesan meremehkan. Bahkan, ada juga yang menjadikan virus tersebut sebagai bahan candaan.
Bukan hanya masyarakat biasa, para pejabat pun banyak yang meremehkan keberadaan virus Corona sehingga sama sekali tidak melakukan persiapan maupun antisipasi terhadap wabah ini.
Bahkan ketika COVID-19 mulai menyebar dengan cepat ke berbagai daerah—beberapa negara telah menutup akses keluar masuk—pemerintah dan warga Indonesia masih terkesan santai dan kurang melakukan tidakan pencegahan terhadap virus ini.
Sebenarnya, orang-orang yang bersikap masa bodoh dengan kemunculan virus Corona jumlahnya lebih sedikit daripada orang yang peduli dengan pencegahan virus ini. Akan tetapi, ketidakpedulian mereka itulah yang kemudian mempercepat penyebaran virus.
Orang-orang dalam kelompok ini biasanya adalah orang-orang yang merasa dirinya kebal dan orang yang menganggap bahwa sains tidak sepenuhnya benar. Ketidakpastian, kebingungan, dan keadaan darurat yang diakibatkan oleh virus Corona dapat menjadi stressor bagi banyak orang.
Ketidakpastian dalam mengetahui kapan wabah akan berakhir membuat banyak golongan masyarakat terutama golongan menengah ke bawah bingung memikirkan nasib mereka. Kehidupan yang berjalan seperti biasa tanpa adanya mata pencaharian membuat mereka kesulitan memenuhi kebutuhan hidup.
Ketakutan akan kematian merupakan konflik psikologis dasar pada manusia. Sesuai dengan Teori Manajemen Teror, ketakutan akan kematian yang tidak pasti datangnya membuat manusia melakukan berbagai hal untuk mempertahankan kehidupannya (Greenberg, Pyszczynski, Solomon, 1986).
Adanya COVID-19 tentu membuat teror yang dirasakan semakin intens. Tentunya, ada beberapa hal positif dan negatif yang dilakukan orang-orang untuk bertahan hidup.
COVID-19 juga mendorong sebagian orang untuk bertindak secara salah dalam rangka bertahan hidup. Fenomena panic buying merupakan salah satu contohnya. Tindakan panic buying atau menimbun barang-barang kebutuhan sehari-hari merupakan bentuk ketidakmampuan sebagian dari kita untuk mentoleransi stress yang timbul karena ketidakpastian yang muncul akibat adanya virus Corona.
Isolasi diri yang dilakukan sebagai tindakan preventif terhadap infeksi COVID-19 juga merupakan faktor pendorong psikologis sebagian dari kita akhirnya melakukan penimbunan (Norberg & Rucker, 2020).
-000-
Denny JA, dalam pengantar buku Cerpen Esai-nya, memulai dengan pertanyaan Apa, Mengapa, Asal Mula Genre Baru di Era Virus Corona?
Denny meyebutkan, Virus Corona telah menjatuhkan begitu banyak Bom Atom! Inilah mungkin ekspresi yang tepat menggambarkan batin kolektif manusia di era pandemik Virus Corona.
Berkali-kali manusia dikagetkan oleh berita. Di antara berita itu, ada yang mungkin baru sekali dialami seumur hidup.
Sembahyang Jumat di adakan. Umroh distop. Bunyi azan diubah. Bahkan mulai diperkenalkan lebaran online. Ratusan meriam boleh dikerahkan. Ribuan teroris boleh disebar. Tapi mustahil ia bisa memaksa umat Islam untuk tiga kali berturut-turut tidak shalat Jumat di mesjid. Tapi Virus Corona bisa memaksa itu.
Muncul pula dentuman lain. Dunia akan mengalami krisis paling buruk sejak perang dunia kedua. Ekonomi aneka negara tumbuh minus. PHK di mana-mana. Social distancing. Work from Home. Pembatasan Sosial Berskala Besar. Apa pula ini?
Belum reda, terdengar pula letupan berbeda. Tiga ratus orang dikarantina di mesjid. Mayat penderita korona ditolak warga.
Bagian Satu: “Kak, Aku Di Karantina di Mesjid”
Pada Bagian Satu dengan judul Cerpen Esai “Kak, Aku Di Karantina di Mesjid,” Denny mengisahkan Adanya kiriman WA dari Adiknya yang bernama Imam, dengan pesan bahwa dirinya di karantina di masjid, dan menitipkan istri dan anaknya.
“Kak, aku sekarang dikarantin di mesjid. Insya Allah, aku baik-baik saja. Titip Istri dan anakku.”
Ternyata bukan hanya Iman yang di karantina. Ada 300 jemaah yang dikarantina di Mesjid Kebon Jeruk. Mereka berasal dari berbagai daerah Indonesia, serta 78 orang Warga negara Asing.
Diawali kisah Jamaah Tabligh yang membuat acara. Betapa tokohnya menyerukan, “Jangan takut berkumpul di mesjid walau diserang Virus Corona. Jika gara gara Virus Corona kita mati di mesjid, maka mesjid adalah sebaik-baiknya tempat untuk mati.”
Di banyak negara, Jamaah Tabligh ini menjadi medium penular. Di samping mereka tetap berkumpul, merekapun makan bersama dalam satu nampan besar. Penularan virus mudah sekali.
Mereka gencar diberitakan, dan kemudian diamankan di India, Malaysia, Pakistan, Bangladesh, Filipina. Semua fakta ini masuk dalam cerpen esai Denny. Hal itu merupakan fakta yang sangat menarik.
Ada paham yang berbeda dalam memaknai Islam antara Imam dan Wahid, dua bersaudara yang mendalami agama Islam dengan cara yang berbeda. Wahib mempelajari Agama Islam di Amerika Serikat bidang Studi Islam, dan bergelar Doktor. Sedangkan, Iman belajar Islam secara otodidak dari Komunitas dan guru Agamanya yang bernama Amir, yang juga sebagai pemimpin Jamaah.
Mereka diajar tunduk kepada Amir. Dalam komunitas Jamaah ada tradisi makan bersama 5-7 orang duduk brerhadapan dalam satu nampan besar, dengan tiga jari tangan.
Dua bersaudara itu sering berdebat dalam memaknai nilai-nilai Islam. Wahib sebagai ilmuwan lebih berfikir realistik yang berkaitan dengan pemerintah yang bersih, ilmu pengetahuan yang maju, program kesejahteraan raktyat, dan perlindungan pada kebebasan.
Adapun Iman dan jamaahnya mempertahankan sikap untuk beraktivitas di Mesjid di masa pamdemi, sekalipun ada larangan dari pemerintah untuk menjaga jarak dan tidak berkerumun.
Kelompok Iman mempunyai keyakinan yang kuat, bahwa jika gara-gara Virus Corana mereka mati di masjid, hal itu merupakan tempat yang paling baik untuk mati.
Ada pesan moral dalam Cerpen Bagian Satu ini, untuk Iman:
“Tapi satu pesan kakak,” tegasku, “Jangan kau matikan pikiran kritismu. Selalu buka cakrawalamu. ”Hidup itu seperti pelangi. Ia warna dan warni. Renungkan ya.”
….“Api Islam itu nilai Quran,” tegas Wahib. “Sudah ada Islamicity Index yang mengukur nilai islami.
Ternyata nilai Islam itu lebih tumbuh di Barat.” Pemerintahan yang bersih, ilmu pengetahuan yang maju, program kesejahteraan rakyat, perlindungan pada kebebasan, itu nilai islami.”
“Itulah api Islam. Dan itu ada di dunia Barat yang memakai jas dan rok mini. Jenis baju tak penting amat. Tumbuh janggut atau kumis, itu bukan masalah utama.”
Handphone Iman masih tak bisa dikontak. Kembali Denny melihat lukisan itu. Kembali membaca tulisan dari Iman itu: “My brother is always my superhero.” Sedih kutahan. “Iman adikku, sayang. Di hadapan Virus Corona, kakakmu tidak bisa menjadi superhero. Kakak tak berdaya.”
Banyak negara yang terjangkit Virus Corona melalui Jamaah Tabligh diberitakan di aneka sumber media.
Bagian Dua: “Dokter Itu Mencapai Puncak Gunung”
Pada Cerpen Esai bagian Dua, yang berjudul “Dokter Itu Mencapai Puncak Gunung”, Denny mengisahkan dedikasi seorang dokter benama Cahya yang mempunyai cita-cita, dan selalu diungkapkan berulang kali: “Hidupku harus sampai ke puncak gunung”. Harapannya tersebut disampaikan pula kepada Pamannya, yang bernama Paman Beni.
Paman, saya juga senang untuk sampai di puncak gunung. Tapi saya tak ingin berjuang seperti tentara yang kadang harus membunuh orang.
Saya ingin menjadi pejuang perdamaian yang menyembuhkan orang. Dokter akan menjadi profesi saya. Dedikasi saya nanti dalam melayani pasien sama tingginya seperti Mozart ketika main piano. Sama intesnnya seperti Van Gogh ketika Melukis.
Cahya, mengibaratkan dirinya harus punya panggilan hidup sebagaimana Mastro Komposer Musik dan Mastro Pelukis serta Philosof kelas dunia. Hal tersebut, karena kebiasan di keluarganya membaca buku-buku pengetahuan dari berbagai mutidisiplin ilmu.
Cahya juga mulai menyukai profesi dokter sejak setiap hari kamis malam selalu mengikuti serial film medical drama, karya James yang ditayangkan di TV RI, yakni Kisah serial dr. Kildare yang diperankan oleh Richard Chamberlain, seorang dokter muda, pintar, dan berwajah tampan, idola para perempuan pada masa itu.
Cahya punya prinsip, mengenai profesi dokter yang menjadi pilihan karirnya:
Dokter itu tentara di masa damai. Perangnya melawan penyakit. Dokterpun bisa mati dalam tugas, Itu sama mulianya dengan tentara yang mati dalam tugas. Mereka sama-sama mencapai puncak Gunung.
Nilai yang bisa dipetik pada Peran Cahya dalam Cerpen esai ini adalah dedikasinya yang luar biasa terhadap profesinya.
Kendatipun pada tahun 2020 Cahya sudah pensiun, bahkan memiliki rumah sakit sendiri yang sudah memberikan kenyamanan penghasilan. Walaupun dia tidak turun langsung bekerja, namun ketika bulan Februari tanhun 2020, terdapat issue Virus Corana melanda Indonesia, ia meninggalkan kenyamanan yang telah diraihnya dengan proses yang panjang.
Cahya memilih membaktikan dirinya berperang melawan serangan virus pandemik, untuk menyelematkan nyawa manusia.
Cahya tidak memilkirkan, keselamatan dirinya menghadapi bom teroris Corona yang tidak terdengar dentuman suaranya, tidak terlihat munculnya di mana dan dari mana, tetapi ganasnya luar biasa.
Jaka dalam kisah Sang dokter Cahya, berperan sebagai adik Cahya, menyesalkan akan kejadian yang menimpa sang kakak yang hidup tidak sendiri: punya istri, anak, serta adik yang sangat menyanginya.
Bahkan, juga cucu kesayangan, yaitu Rani, anak berusia 8 tahun dan sebatang kara yang dititipkan pada Cahya, karena kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan
Sudah dua minggu Jaka berkerja di rumah, semenjak pamdemi Covid-19. Hal ini tidak menyulitkan baginya. Akan tetapi, kehilangan Cahya–kakak kandungnya, dokter yang penuh pengabdian—yang meninggal karena serangan Covid, sungguh membuatnya tidak bisa tidur nyenyak selama dua malam.
Masih teringat, ketika Cahya wafat, kakaknya ini dari rumah sakit langsung dibawa ke pemakaman. Jaka hanya bisa melihat dari kejauhan bersama istrinya.
Jaka teringat juga akan pesan Cahya, ketika masuk ruang isolasi pertama kali, Cahya mengirimkan pesan WhatsApp di japri. ”Jaka, aku titip Rani.”
Teks tersebut Jaka terima lima hari sebelum kematiannya. Cahya seperti punya firasat. Masih terngiang pula ucapan Rani kepada Jaka, “Aku ingin seperti kakek Cahya, menjadi dokter”.
Jakapun sedih dan terharu, mendengar ucapan Rani,dan menjawab dengan kasih sayang: “ Pilih saja, apapun yang berdetak di hatimu mu. Tapi apapun yang dirimu pilih, upayakan dirimu sampai ke puncak gunung.”
Jaka mengulang berkali-kali kalimat favorit kakaknya sambil memeluk Rani, dan merasakan seolah ia sedang memeluk jiwa Cahya, kakaknya.
Cerpen mengenai kisah dr Cahya, digambarkan oleh Denny seolah kisah nyata yang terjadi di Indonesia.
Denny mengembangkan spirit seorang dokter senior di Prancis, yang beusia 68 tahun, yang seharusnya sudah pensiun, tapi ia ingin kembali mengabdikan diri untuk kepentingan orang banyak hingga akhirnya Ia sendiri terpapar dan wafat.
Ceritera yang terispirasi dari Kisah dokter Perancis, bukan tidak mungkin banyak dialami juga oleh para tenaga medis di Indonesia.
Hikmah cerpen ini adalah, orang-orang seperti dr Cahya dalam Agama Islam merupakan manusia Syuhada, artinya seorang Muslim yang meninggal ketika berperang atau berjuang di jalan Allah membela kebenaran atau mempertahankan hak dengan penuh kesabaran dan keikhlasan untuk menegakkan agama Allah.
Manusia seperti dr Cahya mempunyai prinsip sesuai dengan nilai-nilai dalam agama Islam, yaitu “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.”
Banyak Tenaga medis, dokter dan perawat yang berjuang melawan Covid-19, dalam Berbagai berita disebutkan dari bulan Febuari 2020 hingga Bulan Maret 2021, hampir setahun pandemi, tercatat sejumlah 325 Orang Dokter Meninggal akibat Covid-19.
Bagian 3 “Aku Pun Pergi ke Wuhan”
Cerpen Esai pada bagian Tiga, menceriterakan Peneliti yang dipanggil abang oleh asistennya bernama Dadi. Ia pergi ke Wuhan, ingin melihat secara langsung kota di Cina yang telah membuat heboh seluruh dunia.
Semula Dadi sangat kaget dan takut, ketika diajak. Sepuluh tahun bekerja dengan Abang, Dadi tahu betul sifat Si Abang yang keras kepala dan selalu nekat apabila ada kemauan yang membuat penasaran.
Sebagaimana pertanyaan Dadi “Lantas bagaimana, Bang?” Kemudian dijawab oleh Abang:
“kita harus pergi ke Wuhan. Kita rasakan sendiri aura kota itu. Kita selami getarannya, nafasnya. Kita saksikan kehidupan kota itu dengan mata kepala sendiri.
Akhirnya Dadi menyerah setelah Abangnya meyakinkan, bahwa Wuhan telah normal, tidak lagi Lockdown. Secara emosional, Dadi masih agak ragu, karena ia baru saja kehilangan pamannya yang terkena Covid. Untungnya dia tidak tertular.
Akhirnya Dadi mau ikut ke Wuhan untuk terlibat penelitian Si Abang. Ia hilangkan pikiran secara emotional, dan berpikir secara rasional dan professional.
Wuhan, merupakan tempat bersejarah bagi seluruh dunia. Tempat Kasus pertama kali virus Corona ditemukan di rumah sakit tersebut, dan menjadi bom yang merambah melesat dengat pesat ke seantero jagat.
Li Wenliang, sebagai nara sumber, adalah dokter pertama yang menemukan virus Corona. Abang dan Dadi, akan berkunjung ke rumah Sakit tempat Li Wenliang bekerja.
Selain mengunjungi Hospital, mereka juga mengunjungi Kampus Central China Normal University, tempat berkumpulnya para akademisi yang membela Li Wenliang, ketika Li Wenliang direpresi oleh Pemerintah.
Bahkan mereka ke pasar tenpat jual beli hewan liar ‘Huanan Sefood Wholesale Market, tempat yang diduga menjadi asal virus Corona, entah dari kelelawar atau trenggiling, yang memudian bisa melompat menererobos masuk ke tubuh manusia.
Abang telah keliling dunia. Semua tempat megah dan bersejarah hampir semua sudah dikunjungi. Akan tetapi baru pertama kali ia merasakan masuk sebuah Hospital, bulu kuduknya berdiri.
Ia meyakinkan dirinya bahwa ia sedang mengunjungi tempat yang sangat bersejarah. Rumah sakit yang menemukan virus Covid, awal dari segala bencana pandemik yang kini menimpa 210 negara.
Di tempat itu pulalah, dimulai hentakan geger pertama munculnya Virus Coorona, dan pada peradaban ke depan, dimungkinkan tidak akan lagi sama setelah pandemik Covid-19 selesai.
Inti dari kisah ini, Abang Doktor, Ph.D di bidang Public Policy, akan membuat tulisan dengan pesan moral, yang dijadikan headline, adalah Lin Wenliang dokter pertama yang menemukan virus ini. Tetapi pada kenyataanya Lin Wenliang bukannya diberi penghargaan, malah pemerintah lokal setempat membungkamnya.
Bahkan pemerintah Cina menuduhnya telah menyebar kebohongan. Respons pemerintah untuk menghalau virus sangat terlambat. Virus keburu menyebar. Bahkan, banyak orang dari Wuhan sudah lebih dahulu pergi ke luar daerah dan ke luar negeri dengan membawa virus yang sudah bersarang di tubuhnya.
Akibatnya, kebijakan yang buruk dari pemerintahan otoriter ini, membuat dua juta populasi dunia terkena virus. “Ini jenis policy yang ‘too little, too late’. Menjadikan dunia merana. Peradaban menangis”.
Inti kisah tragedi dari dokter Li Wenliang adalah: Dia dokter pertama yang menemukan virus Corona. Dia dokter pertama pula yang tertular virus corona, dan akhirnya wafat dalam situasi yang tertekan.
Ia adalah pahlawan, karena walau dikontrol pemerintah, ia tidak henti meneliti virus tersebut. Bahkan juga tidak henti mengobati pasien-pasien yang terkena Covid.
Dokter pertama yang tertular virus Corona. Dr Li Weliang pembela keselamatan jiwa. Ia dengan rela dan tulus. Kendatipun di bawah tekanan pemerintah, ia tidak henti melawan virus yang menyerang para pasien.
Namun akhirnya justru dia yang menjadi korban, mati dalam tugas terkena serangan virus.
Tidak diduga Efek kunjungan ke Wuhan itu menyebabkan guncangan batin si Abang yang besar. Derai air mata, ketakutan, kemarahan, harapan penduduk Wuhan menjadi kenangan tersendiri bagi Abang.
Masih terbayang sahabat Li Wenliang menangis, dan bercerita, ribuan orang dipaksa hidup di rumah. Bahkan ada yang pintunya diblok/ gembok dari luar agar mereka tidak bisa keluar. Akhirnya ramai-ramai mereka mati di dalam rumah.
Cerpen Esai Bagian Tiga, terispirasi dari kisah ‘dr Li Wenliang’ seorang dokter yang menemukan Virus.
Kunjungan ke Wuhan ini, semula merupakan penelitian yang akan menjadi Head Line bidang Public Policy. Namun si Abang berubah pikiran.
Ia kini memilih kisah Wuhan dituangkan dalam Novel agar bisa rinci menggabarkan secarai dramatik kejadian, drama, suara batin serta keadaan Wuhan, kota yang menjadi sejarah peradaban manusia.
Bagian Empat: Lebaran Online
Bagian Empat, menggabarkan kisah Tragis yang sangat memilukan tentang Eko yang meninggal akibat virus setelah lima hari terlebih dahulu ditinggal wafat ibunya.
Keduanya wafat karena terkena virus corona, dan dimakamkan di tempat mereka wafat, yaitu di daerah Wonosobo.
Kisah Eko dan ibunya, membuat pilu siapapun yang mendengarkan, apalagi melihat kejadian yang terjadi, tatkala jasad Eko, dan ibunya, yang lebih dahulu wafat, sempat ditolak warga.
Mereka tidak bisa dimakamkan di tempat umum biasa. Masyarakat begitu percaya, walau pun mayat akibat Covid sudah ditanam di tanah, masih bisa menularkan virus.
Bahkan ada yang percaya mayat orang yang meninggal karena virus Corona membawa petaka yang lebih besar di desa.
Mayat Eko dan ibunya tidak jadi ditolak, karena Jaya—Kepala Desa di Wonosobo—dengan ihklas menyediakan lahan miliknya pribadi. Tanah seluas 1.785 meter itu ia hibahkan bagi warga desa, tidak terkecuali yang meninggal, terkena Covid-19, jika ditolak warga.
Eko sudah lima belas tahun meninggalkan Wonosobo. Ia tinggal bersama kakaknya di Jakarta. Rumah kakaknya hanya berjarak sekitar 50 meter dari rumah penulis.
Eko belum menikah, kendatipun umurnya telah menginjak, 33 tahun. Ibunya berusia 68 tahun. Eko terlebih dahulu terkena virus korona, yang kemudian menularkan virus itu kepada ibunya ketika ia pulang kampung.
Darta sahabat eko, teringat berbagai momen bersama Eko, yang selalu memanggil Darta dengan sebutan Bro. “Bro” singkatan dari kata Brother.
Sebulan sebelum kematiaannya, Eko bercerita bahwa ia selalu bermimpi agak aneh tentang ibunya, yang duduk sendirian di bulan.” .Eko, ingin pulang kampung “seakan ada firasat “Ini kesempatanku terakhir memeluk Ibu.”
Darta mengingatkan, bahwa saat ini bukan zaman normal. Jakarta tempat Darta dan Eko tinggal tempatnya episenter virus corona.
Bisa jadi justru Eko akan menularkan virus itu ke Ibunya. Akan tetapi Eko menjawab, bahwa dirinya bersih, tidak terkena virus.
Darta memberi pengertian, bahwa tidak ada yang tahu diri kita kena virus atau tidak. Bisa jadi seperti tidak ada gejala, padahal mungkin karena imunitas Eko sedang kuat.
Tapi siapa tahu virus sudah masuk ke dalam sel tubuh Eko. Apalagi dalam perjalanan yang berjarak jauh dari Jakarta ke Wonosobo. Bisa jadi Eko mendapatkan virus ketika dari orang lain di perjalanan.
Percakapan Darta dan Eko, tersebut merupakan percakapan yang terakhir, karena keesokan harinya, Darta sudah tidak bisa berjumpa lagi dengan Eko. Kakak Eko sudah melarang Eko untuk pulang, tetapi Eko mengatakan, ia selalu teringat pada ibunya yang sering datang dalam mimpinya, seperti memanggil Eko.
Darta mencoba menafsir apa yang membuat Eko belakangan ini sering bermimpi aneh. Ternyata, berawal tak hanya dari kerinduan dengan ibunya. Eko juga mengalami kesulitan ekonomi.
Sebelum pandemik, ekonomi Eko sejahtera. Ia mempunyai tiga motor. Ketiga motornya ia operasikan ikut Gojek. Ia juga mengoperasikan motornya sendiri. Dua motor lain, dibawa temannya ngojek juga. Mereka berbagi keuntungan dari hasil dua motor lain.
Akan tetapi sejak virus Corona merebak, pendapatan dari Gojek sangat anjlok. Apalagi sejak tersebarnya berita mengenai pengemudi gojek di Batam terkena virus Corona, yang sangat viral.
Di kepala banyak konsumen: Gojek tidak aman. Pesan makanan atau antar barang dengan jasa Gojek, bisa tertular virus.
Masih teringat di bayangan Darta, di beranda rumahnya Eko bercerita. Dua minggu sudah penghasilannya anjlok. “Efek virus sudah ke perut, Bro! Kita susah cari makan.” Eko sempat berencana menjual ketiga motornya, dan berniat untuk tinggal di kampung, supaya aman dari virus Corona.
Pembicaraan juga beralih, selain soal ekonomi juga terganggu, juga ritus agama. Eko penganut Islam yang taat. Eko begitu menyesal, ketika harus tidak melakukan salat Jum’at. Sudah tiga kali Eko absen salat Jumat, karena mesjid tidak menyelenggarakan salat Jumat.
Eko menyebutkan, zaman sudah kebalik-balik, “kok kita lebih takut dengan virus ke timbang dengan Allah”. Tiga kali tidak menjalankan ibadah salat Jum’at berturut-turut, itu sama dengan berbuat maksiat, menurutnya.
Eko sendiri pernah 40 hari berturut-turut tidak absen salat subuh di mesjid. Ia pun dihormati oleh kelompoknya.
Tapi soal ritus agama, Eko pun pernah kena getahnya. Ia dikarantina selama 2 minggu di mesjid. Tidak boleh keluar. Di dalam mesjid itu ada 300 jemaah. Di antaranya 78 WNA.
Penyebab awalnya, ada jemaah yang positif terkena virus Corona. Dampaknya, seluruh jemaah Tabligh Akbar dikarantina.
Cerpen esai ini berangkat dari sebuah kisah: mayat penderita covid-19 ditolak warga untuk dimakamkan di wilayah mereka.
Hikmah dari tulisan ini adalah bahwa ikatan cinta kasih sayang yang kuat dari anak kepada ibunya, hingga tidak mengindahkan akibat yang akan terjadi karena penularan virus Covid-19 kepada ibunya.
Kegalauan Eko sangat multi kondisional, antara keriduan kepada Ibunya, ekonomi yang terpuruk, kesendiriannya belum punya pasangan, serta merasa berdosa akibat peraturan dari penerintah, dengan tidak dibukanya mesjid untuk salat berjamaah, pada saat waktu Isa dan salat Jum’at yang pada saat normal merupakan kewajiban bagi laki-laki Muslim.
Selain itu Denny mengangkat nilai ibadah berkelanjutan, sebagai amal jariah, dari personal sosok Lurah sebagai pemimpin. Ia mewakafkan tanahnya sebagai tempat kuburan penderita Covid-19.
Bagian Lima: ”Aktivis itu meminta Pak Mentri Mundur”
Tulisan Cerpen Bagian Lima, menceriterakan Koalisi Masyarakat Sipil meminta Menteri Kesehatan Terawan mundur karena tidak kompeten menghadapi wabah virus Corona.
Koalisi ini terdiri dari aneka LSM: Walhi, YLBHI, Kontras, Amnesty Internasional, dan lain-lainnya.
Kejadian tersebut di antaranya disebabkan oleh meluasnya kekecewaan publik akibat buruknya pelayanan medis yang mengakibatkan banyak pasien meninggal.
Salah satunya terjadi pada sosok Janggi adik Fatah, Istrinya Dewi meninggal karena virus Corona. Janggi yakin sekali, Dewi korban dari rumah sakit rujukan yang salah urus.
Janggi tidak tinggal diam, dia mempersiapkan gugatan kepada pemerintah, dengan membeberkan berbagai kesalahan perilaku Mentri Kesehatan yang diduga menyebabkan Layanan Rumah Sakit untuk pasien Covid-19 kurang maksimal. Antara Lain
▪ Menteri Terawan menantang Harvard membuktikan bahwa di Indonesia ada virus Corona.”
▪ Menteri Terawan memarahi wartawan yang memakai masker.
▪ Indonesia gemar berdoa sehingga bebas corona.
Fatah memperhatikan tulisan Janggi yang ditandai stabilo dalam pernyataan Koalisi Masyarakat Sipil. Isinya perlihal Menkes Terawan yang nampak ponggah, menggampangkan virus corona. Terbukti pernyataannya banyak salah.
Ia mengatakan mereka yang sudah sembuh dari serangan virus corona akan imun alias kebal. Kenyataannya tidak.
Koalisi Masyarakat Sipil minta Jokowi mencopot Menteri Kesehatan. Terawan, menurut koalisi tersebut, tidak akan mampu memimpin gerakan menghadapi krisis virus Corona.
Di antaranya karena Terawaj akan sulit memimpin para dokter, karena dia sendiri pernah terkena sanksi IDI, organisasi dokter yang menjadi induk. Bagaimana Terawan dapat memimpin organisasi yang pernah memecatnya?
Sejak dulu jiwa sosial Janggi sangat besar. Ia berkali-kali menjadi pemimpin organisasi aktivis. Ia sangat peduli pada masyarakat kecil, terutama memperhatikan kebutuhan ilmu pengetahuan bagi masyarakat hingga ke pelosok daerah.
Ketika mendapat warisan dari orang tuanya, dananya justru tidak digunakan untuk membeli rumah atau modal bisnis.
Janggi mempergunakannya untuk memperluas jaringan perpustakaan, dengan pemikiran bahwa masyarakat di daerah pinggiran tidak mempunyai akses untuk membaca buku. Selain itu, manfaatnya lebih besar jika diperkuat dengan perpustakaan keliling.
Bahkan, bisa menjadi amal jariah untuk Ayah dan Ibunya, karena orang-orang kecil dapat terbantu dengan membaca buku dan menimba ilmu dengan gratis.
Janggi menggunakan Berbagai cara untuk memperluas jaringan Perpustakaan dengan membuat Pasukan Perpustakaan keliling, yakni :
▪ Kuda Pustaka. Kuda ini diselempangkan terpal berisi rak buku di kanan kirinyaKuda mendatangi daerah terpencil. Orang berkumpul di sekitar kuda sambil membaca buku.
▪ Bemo Penebar Ilmu. Aneka bemo yang sudah tak terpakai, belakangnya diubah menjadi rak buku. Bemo ini mangkal di beberapa lokasi. Juga banyak orang bisa berkumpul di sekitar bemo sambil membaca buku.
▪ Angkot Pustaka. Beberapa mobil angkot dimodi kasi, di- tambahkan rak untuk buku. Penumpang jarak jauh, sambil duduk di angkot bisa lihat-lihat buku itu. Jika minat membaca, mereka bisa meminjam dengan meninggalkan KTP.
▪ Motor Pustaka. Motor itu membawa terpal rak buku sisi kanan dan kiri. Motor bisa berpindah-pindah ke pelosok desa. Menghampiri siapa pun yang ingin membaca buku gratis.
Dalam kegiatan Pustaka Keliling, Janggi berjumpa Dewi satu tahun yang lalu. Keduanya mempunyai kecocokan terutama jiwa sosial aktivis, ingin membantu masyarakat kecil, serta mepunyai keberanian untuk protes atau melawan jika merasa ada ke dakadilan, rasa kemanusian berbagi dengan sesama.
Bahkan setelah menikah dengan Dewi, sebagian uang yang mereka terima dari hadiah perkawinan, mereka belikan banyak sembako, dan mereka bagi-bagikan sembakonya pada rakyat kecil.
Akibat virus corona, rakyat kecil menjadi segmen yang paling anjlok. Janggi dan Dewi, dengan dana sendiri, dan donatur, giat membantu dengan apa yang mereka bisa lakukan.
Suatu hari, Janggi dan Dewi kehujanan deras sekali. Berdua basah kuyup. Dewi jatuh sakit. Batuk dan demam. Janggi yakin itu batuk biasa. Namun karena di era virus corona, merekanpun pergi ke rumah sakit rujukan.
Semua prosedur diikuti, termasuk ke ruang isolasi, dan tidak boleh boleh pulang. Akan tetapi ruang isolasi itu kecil sekali. Ukurannya hanya 3X4 meter. Isinya ada enam orang. “Dewi sudah tes darah dan thorax. Hasilnya negatif. Tapi tetap Dewi tak boleh pulang.
Ia harus dites Swab dulu. Hanya tes Swab yang bisa memastikan Dewi terpapar covid-19 atau tidak, Kata suster” di rumah sakit.
Akan tetapi Swabnya baru tersedia dua hari lagi. Kembali Dewi harus menginap di rumah sakit, bercampur dengan pasien lain. Ketika Dewi dites Swab, hasilnya juga antre berhari-hari.
“Dewi itu pengidap diabetes. Riskan baginya jika tertular virus corona. Batuk dan deman itu biasa dialami Dewi. Janggi yakin Dewi justru terpapar di sana, ke tika berdesakan di ruang isolasi.”
Janggi tetap berkeyakinan, “Ini gara-gara Menteri Kesehatan kita terlalu menggampangkan. Akibatnya momen mempersiapkan fasilitas menghadapi virus jadi terlambat.”
Betapa kecewanya Janggi tatkala Dewi meninggalkannya karena demam akibat kehujanan dan dinyatakan terpapar Covid.
Janggi sendiri yakin bahwa terpaparnya Dewi oleh Covid justru terjadi di rumah sakit. Itu masa ketika Dewi dicampur di ruang inap yang kecil, bersama pasien lain.
Ini karena pelayanan rumah sakit yang ngawur dan tak maksimal.
Janggi, sangat kecewa, Dewi istrinya, merupakan perempuan yang baik “tidak seharusnya ia menjadi korban. Ia bagikan hartanya. Ia berikan hidupnya sejak dulu menolong orang.
Dewi gadis berbudi luhur” Janggi menangis terisak-isak, dihadapan kakaknya. Janggi juga kecewa. Bukan saja karena Dewi wafat, tetapi karena Janggi tidak bisa mencium kening jasad istrinya.
Ia dilarang ikut memandikannya. Bahkan ia diminta melihat proses pemakaman dari jauh saja. Padahal “ia pernah berjanji pada Dewi, jika ia lebih dahulu menghadap Tuhan, Janggi akan memandikan tubuhnya. Janggi akan menyuarakan azan di telinganya di dalam tanah, ketika jasadnya direbahkan.
Semua yang telah dibangun serasa kandas, dengan meninggalnya istrinya.
Tapi pergolakan batin terjadi. Janggi berubah. Ia memutuskan tidak jadi menggugat Menteri Kesehatan sampai 40 hari wafat istrinya.
Janggi hanya ingin tapa brata. Menarik jarak untuk tafakur. Janggi menunjuk pada lukisan Jalaluddin Rumi, “Mungkin sekarang ini waktuku berlayar masuk ke dalam diri.”
Bagian Enam: Lapor Pak Walikota, Ada Warga Mati Kelaparan
Cerpen Esai bagian Enam, mengisahkan tentang salah satu warga bernama Siti. Ia mati kelaparan karena dua hari tidak makan.
Suaminya bekerja sebagai pencari barang bekas. Akan tetapi, semenjak pandemi Virus Cocid-19 dan pembatasan sosial di mana-mana–sekolah, bank, dan kantor-kantor tutup—suaminya tidak mempunyai penghasilan.
Terjadi polemik di antara warga dan lurah, terkait dana bantuan social (Bansos). Ada bantahan dari lurah mengenai warganya yang dikabarkan meninggal karena kelaparan. Ada juga yang tidak suka disebut istrinya mati kelaparan, tetapi merupakan takdir dari Tuhan.
Natta sebagai wali kota merasa bersalah menghadapi berbagai problema yang terjadi di masyarakat, terutama dampak ekonomi yang melanda masyarakat terkait kelaparan. Banyak liputan media sosial, serta berbagai kritik muncul. Dirinya sebagai pemimpin dianggap lamban tidak kreatif.
Natta adalah sahabat Davi. Mereka berdua acapkali mendengar kisah Abah, kakeknya Natta dengan takjub. Abah pandai mendongeng.
Abah pernah juga bercerita soal sosok teladan Umar bin Khattab. Ia khalifah yang juga dikenal bersih dan amanah. “Teladani Umar bin Khattab”. Abah menginginkan cucunya Natta menjadi pemimpin yang amanah. Akan tetapi Natta tidak menghendakinya.
Dengan berjalannya waktu, Natta berubah pikiran dan dia terpilih menjadi Wali kota atas dukungan bebagai pihak. Natta selalu teringat pesan Abah, sebagai “pemimpin harus peduli dengan wong cilik, dan sealu menjaga amanah”, tidak memanfaatkan fasilitas negara, dan bekerja memuliakan orang lain.
Pesan itu dibalut oleh Berbagai kisah kisah seorang pemimpin yang sangat menjaga amanah. Ia sering menyamar menjadi orang biasa untuk mengetahui dengan mata kepala sendiri keadaan yang terjadi di masyarakat.
Ia tidak hanya berpegang pada laporan-laporan dari para hulu balangnya. Pemimpin yang bertanggung jawab tidak memanfaatkan fasilitas negara. Niat tanggung jawab itu dimulai sejak di hati dan di pikiran, karena kelak akan dibawa Natta sebagai tanggung jawab kepada sumber semua kekuasaan, yaitu Kepada Tuhan.
Suatu hari Natta mengundang Davi ke rumah Dinas Wali Kota, dan menjamu makan. Terlihat ada Kaligrafi yang dipasang di dinding, pemberian dari Abah.
Natta membawanya ke rumah dinasnya, karena tulisan kaligrafi tersebut sangat berarti bagi jalan hidupnya, yakni inti sari dari Surat Al-Maidah, Ayat 32.
“Jika kau menolong satu manusia, itu sama seperti kau menolong seluruh manusia. Jika kau menganiaya satu manusia, itu sama dengan kau menganiaya seluruh manusia.”
Natta meminta pandangan Davi terkait niatnya untuk mengundurkan diri sebagai Walikota”. Davi kaget dengan pertanyaan Natta yang selalu perfeksionis.
Natta mengatakan, dirinya lebih cocok menjadi dosen. Gara gara ramalan Abah, Natta malah jadi walikota. Nata mengatakan bahwa selain Siti, ada 700 ribu warga di kotanya yang berada di bawah garis kemiskinan.
Ini berarti sekitar 5-6 persen penduduk kotanya benar-benar berada dalam kondisi super memprihatinkan. Sangat miskin.
Masalahnya jumlah sekitar 40 ribu warga miskin itu terpencar di banyak wilayah.”
“Padahal ada Lurah. Ada RW. Ada RT. Ada kepala dinas. Tetapi mereka tidak jalan. Wali Kota pada masa pandemi seperti ini tergantung pada aktivitas mereka.
Di era normal, Natta bisa juga blusukan. Langsung melihat sendiri warga yang kekurangan.” Sebagaimana Cerita Abah, seorang pinpinan menyamar menjadi rakyat biasa, di malam hari masuk ke kampung-kampung.
Sikap Natta untuk tidak blusukan di masa pandemi, justru untuk memberikan contoh agar di masa kritis masyarakat tetap bekerja dari rumah.
Natta kembali bertanya kepada Dave “Kau kawanku sejak kecil. Kau Ph.D bidang politik. Kau yang dulu membantuku terpilih. Coba beri aku solusi. Aku percaya otak dan hati mu”.
Dave menjawab,
“Mundur dari jabatan itu cara paling mudah.Tapi itu sama dengan kasus dirimu memimpin pasukan tentara. Ketika musuh datang, kau sebagai komando malah berlari meninggalkan tentaramu.
Bukan hanya dirimu yang kini sulit, Natta. Seluruh dunia sulit. Banyak pemimpin di dunia dimaki rakyat. Itu hal yang lumrah.”
Natta menatap mataku. Tajam. Dalam. Pernyataan dariku itu agaknya yang memang ia butuhkan.
Kemudian Asiz, asistennya, menyampaikan laporan, di antaranya. “Diduga di seluruh dunia akibat virus Corona akan ada 1 milyar manusia kelaparan. (WFP: World Food Program. Ekonomi dunia akan terpuruk paling rendah sejak tahun 1930 (data dari IMF). Ini seperti siklus krisis ekonomi setiap seratus tahun.”
“Dahsyat ya pengaruh pandemi ini,” sela Natta “Negara super- power seperti Amerika Serikat juga kewalahan. Itu senjata nuklir yang minta ampun perkasa, ternyata tak bisa apa-apa menghadapi virus yang super kecil.”
Azis melaporkan, ada “program Bansos dari Jokowi dengan Total dana cukup besar, di atas 400 Trilyun. Ada program sembako. Ada Bantuan Langsung Tunai. Per-keluarga mendapat 600 ribu selama 3 bulan.
Akan tetapi biasanya konsep pemerintah pusat bagus, tapi muncul problem di lapangan. Lambat banget. Saking lambatnya keburu orang mati.
“Nat,” ujarku. “Kau harus bersyukur. Kau merasa bersalah mendengar wargamu kelaparan. Kau sangat ingin memegang amanah. Itu dahsyat.” Tapi kita juga butuh kecepatan bergerak.
Jika mengandalkan birokrasi yang ada. Akan banyak kasus Siti yang lain.” “Ini era darurat. Langkahnya harus out of the box,”.
“Betul, Dav. Tapi ini uang negara. Semua prosedur harus aku ikuti. Jika tidak, aku bisa kena KPK. Tapi kalau aku ikuti, ampuuuuun, jalannya seperti siput.”
“Kita himpun dana masyarakat, Natta. Gerakkan civil society. Kumpulkan orang kaya yang peduli.”
“Davi, ini mungkin saatnya.”
Lama Natta terdiam lugu. Akupun diam menunggu Natta melanjutkan bicara. Matanya mulai berkaca-kaca. Aku jadi penasaran. Ia bangkit dari tempat duduk.
Lalu Natta memandang foto Abah. Aku biarkan saja. Mengawasi dengan jarak. Kemudian keluar ucapan dari Natta, seolah ia bicara dengan Abah: “Izin ya Abah.” Ia cium lukisan itu.
“Dav, kau ingat sehari sebelum Abah wafat.” Ia menitipkan kotak. Kata abah, “Ini bukan buatmu. Gunakan ini ketika jika kau mendapat amanah.”
Natta masuk ke dalam. Keluar lagi, dengan membawa kotak hitam. Bersama kami melihat kotak hitam itu. Di atasnya, ada tulisan yang selalu Abah ulang-ulang “Jaga Amanah.”
Natta tunjukkan isinya padaku, ternyata, lima balok emas murni.” Kamipun bersepakat untuk menjual lima balok emas murni tersebut dan semua dana akan dibelikan sembako.
Sebuah yayasan sosial akan menyalurkannya kepada sebanyak mungkin warga, untuk mencegah kasus Stii yang lain.”
Inti dari tulisan ini adalah kejadian orang yang diisukan mati kelaparan karena pandemic, banyak yang mengecam ketidakberhasilan Dana Bansos yang tidak merata sampai di tangan masyarakat.
Literasi yang disampaikan Abah (Kakek) kepada cucu-nya sejak dini menjadi pesan moral utama:
“Seorang pemimpin harus menjaga amanah!”
Bagian Tujuh: Keris Pusaka Pedagang Keliling
Cerpen Esai bagian Tujuh ini, menceriterakan Surya yang ingin menjual keris warisan ayahnya.
Keris itu diwariskan secara turun-temurun. Ayahnya mewarisi keris itu dari kakeknya, kakeknya dari buyutnya, dan begitu seterusnya, sebuah warisan yang tegak dari atas.
Diperkirakan keris itu dibuat pada zaman kerajaan Majapahi, sekitar 700 tahun yang lalu. Awalnya Surya tidak percaya. Akan tetapi, ketika, keluarganya menyewa ahli uji keris dengan teknik radiocarbon, ternyata usia keris tersebut sekitar 690 tahun hingga 720 tahun.
Surya ingin menjual Kerisnya kepada Om Dastan, sahabat Ayahnya. Surya melakukannya karena usaha roti yang telah dibangun dari usaha kecil-kecilan hingga berhasil mempekerjakan banyak pegawai dan menjadi terkelola penjualannya secara professional itu, semenjak Cocid-19 melanda terhantam kandas.
Surya bangkrut, padahal ia telah keluar dari pekerjaan tetapnya di perusahaan asing.
Surya menemui Om Dastan dan mengatakan: Sebelum Ayah wafat, Ayah berpesan kepada kami “Kapanpun ada kesulitan, bawa saja keris ini kepada Om Dastam. Nanti Om akan mengerti.” Itu wasiat ayah Surya, Ibu dan adik kakak juga mendengar.”
Dastan kembali teringat peristiwa keris pusaka yang pernah ditawarkan Janu padanya. Kala itu Dastan sudah mepunyai banyak uang. Sejak dulu, Dastan gila benda antik.
Janu menyatakan ada teman ayahnya menawar untuk membelinya seharga 500 juta, tetapi tidak diberikan.
Dastan merespon ucapan Janu: “Aku beli keris pusaka di harga satu milyar rupiah. Ini mungkin penawaran tertinggi yang pernah kau dengar. Harga ini tak murni bisnis. Tapi sudah kutambahkan juga hutang budiku padamu.”
Janu tertawa. “Ini tidak dijual Bro, akan aku wariskan kepada putra sulungku Surya.” Tapi Dastan,” ujar Janu “Keris itu punya kehendaknya sendiri. Percaya atau tidak, keris ini punya nyawa.” “Jika memang ia jodohmu, satu ketika, ia akan menjadi milikmu.”
Janu meyakinkan Dastan.
Ketika Surya anak Danu menawarkan Keris Pusaka kepada Dastan, Dastan bertanya: “Mengapa kamu ingin jual keris ini, Surya?”
Surya menjawab: “Bisnis kecil-kecilan saya bangkrut Om. Pegawai sebagian sudah saya PHK. Rumah untuk pabrik roti sudah saya jual juga.”
Virus Corona ini banyak membuat UKM gulung tikar dan bangkrut. Puluhan ribu usaha kecil dan menengah di Indonesia bangkrut.
Sebelum jadi pengusaha roti, Surya bekerja di perusahaan asing, termotivasi ucapan Om Dastan tentang Financial freedom.”, yaitu kondisi di mana Om Dastan tak perlu bekerja lagi karena passive income yang datang setiap bulannya melampaui pengeluaran.
Om Dastan mempunyai banyak waktu luang, untuk digunakan menjalani hidup yang dipilih: membaca, menulis, membuat puisi, dan membuat film.
Kemudian Surya, mencoba membuka usaha Roti bakar yang dibuat istimewa, berbeda dengan roti pada umumnya. Usaha itu awalnya dibuka di ruang garasi. Pelanggan banyak sekali. Kemudian maju selangkah lagi.
Surya mempunyai banyak pedagang keliling. Bahkan rumah tetangga sebelah ia beli, dengan menggunakan pinjaman bank, untuk produksi roti kecil-kecilan. “Setelah maju,” Surya nekat berhenti kerja, ingin fokus menjadi pengusaha seperti Om Dastan.
Sebelum virus corona datang, Surya mempunya 50 pedagang roti keliling. Istrinya menggoda. “Wah kamu sebentar lagi bisa sampai ke financial freedom. Bisa seperti Om Dastan nih. Nanti kerjanya bikin puisi terus.”
Dengan datangnya virus Corona, serta seruan social distancing dengan pembatasan sosial berskala besar—kantor tutup, sekolah tutup– bisnis Surya menurun drastis hingga omzetnya menurun dan biaya produksi sudah tidak menutup.
Terlebih dengan musibah, satu pedagang keliling kena Virus Corona, dan beritanya ke mana-mana. Para pembeli kabur, mereka takut roti Surya mengandung virus.” Dua minggu tidak ada pemasukan sama sekali.
Istri menangis karena tagihan pinjaman bank terus datang. Separuh karyawan di PHK. Uang tabungan habis untuk membayar pesangon.
Usaha kecil menengah paling terkena dampak karena virus merusak dari hulu ke hilir. Jalur bahan mentah terganggu, produksi, distribusi, permodalan terganggu. Penghasilan menurun. Daya tahan usaha kecil menengah ini tentu tidak setangguh perusahaan besar.
Sekarang ada sekitar 37 ribu usaha kecil menengah terdampak. Surya salah satunya.
Dalam kesedihan, dan kebingungan, pada malam hari Surya salat tahajud. Memohon kepada Tuhan, memohon jalan yang harus dilakukan, Surya tidak tega memecat karyawannya. Tetapi untuk menggajihpun tidak ada uang.
Belum lagi uang sekolah anaknya belum dibayar. Ibu dan tiga adiknya pun masih menjadi tanggungan Surya.
Entah mengapa, tiba-tiba muncul bayangan keris pusaka warisan Ayah untuk dijual.
Surya teringat pesan ayahnya, untuk menghubungi Om Dastam. Itulah hasil tahajud Surya. Keris pusaka ini mungkin bisa menjadi penolong. Surya ingin alih profesi di era virus corona, untuk hijrah menjual masker, hand sanizer, dan segala yang berhubungan dengan kesehatan.
Akan tetapi Surya membutuhkan modal segar. Surya hanya mempunyai rumah tinggal. Istrinnya tidak setuju jika Surya menjaminkan rumah untuk pinjaman.
Selain rumah tinggal, yang berharga bagi Surya, adalah hanya punya keris pusaka. Keris ini hadir dalam hidup keluarga Surya secara turun termurun. Kakek sering bercerita bagaimana keris ini membantunya di masa krisis.
Ayahnya juga demikian, selalu berceritera dengan meyakinkan keris yang selalu membawa jalan keluar.
Dastan memegang keris yang pada saat dulu pernah dia tawar seharga satu milyar pada Janu ayah Surya.
Kemudian Dastan membuka keris dari sarungnya. Sama memukau seperti dulu. Dalam hati, Dastan menyebut nama sahabatnya, “Janu-Janu. Hidup tidak bisa diduga. Dulu ketika Dastan ingin membeli keris ini, tidak diberikan. Kini keris ini datang sendiri pada Dastan, melalui anaknya Surya.
Terbayang persahabatannya dengan Janu. Ia sahabat yang teruji. Mereka bersama melewati pasang surut hidup. Pada waktu di SMA, Dastan sangat miskin. Janu anak orang kaya.
Janu sering menolong Dastan. Membelikan makanan, buku, baju. Janu sangat senang karena Dastan sangat pintar. Juara sekolah. Banyak baca, dan kadang-kadang bersedia mengerjakan PR sekolahnya.
Di usia 40-an, situasi berbalik. Dastan mendapat rejeki dari Tuhan banyak sekali karena bisnisnya berhasil. Sebaliknya Janu jatuh miskin. Tetapi Janu tidak pernah meminta bantuan Dastan, dan tidak pernah mau dibantu.
Dastan teringat masa SMA. Mobil Ayah Janu banyak sekali. Janu sering menyetir mobil sendiri ke sekolah. Sementara Dastan ke sekolah hanya naik bus kota. Tidak punya mobil. Tidak punya motor.
Akhirnya Dastam menyanggupi akan mentransfer dana ke rekening Surya Secepatnya. Akan tetapi Keris Pusaka yang dulu pernah ia idam-idamkan, ia kembalikan kepada Surya.
Dana yang ditansfer kepada Surya, merupakan bantuan dari Dastan, sebagai bantuan untuk Surya di masa sulit. Dulu Ayahnya Surya pun sering juga membantu Dastan.
Surya sangat terharu dan spontan memeluk Dastam, sahabat karib ayahnya sambil menangis tersedu-sedu.
Surya percaya, bahwa keris pusaka itu punya kehendak. Ia menggerakkan hati Om Dastan. Dulu Om Dastan begitu menginginkannya. Kini ketika keris sudah di tangan Om Dastan, dan sudah dibayar, tetapi keris pusaka tersebut malah dikembalikan ke Surya, pemiliknya, anak sahabatnya dulu.
Betapa gembiranya perasaan Dastan ketika ia dapat berjumpa kembali dengan dengan keris pusaka yang pernah ia dambakan pada waktu ayahnya Surya masih hidup. Senang bukan kepalang. Akhirnya bisa kumiliki juga keris ini.
Di sisi lain, Dastam sedih mendengar alasan datangnya keris itu. Dengan rasa ihklas ia kembalikan kembali kepemiliknya.
Inti dari tulisan ini adalah mengenai keIkhlasan di saat Pandemi. Ikhlas adalah perilaku seseorang yang apabila mengerjakan sesuatu tidak mengharapkan imbalan apapun. Seseorang yang melakukan sesuatu dengan ikhlas tidak pernah mengharapkan pujian atau imbalan dari manusia. Seseorang yang melakukan sesuatu dengan ikhlas hanya mengharapkan ridha dari Allah.
Selain Ikhlas, cerpen ini bicara tentang membalas kebaikan dengan kebaikan yang lebih. Hal ini menjadi sangat berarti, terutama bagi mereka yang terdesak dan pailit akibat Pandemi.
Bagian Delapan: Robohnya Kampung Kami
Cerpen Esai bagian Delapan ini, mengisahkan kesetian kelompok spritual kepada gurunya yang selalu membela dari berbagai serangan masyarakat, bahkan saat rumah ibadah mereka dibakar.
Saat itu, Mereka diserang untuk ketiga kalinya, dengan membawa pentungan, parang, dan batu, serta melempari rumah sepuasnya, hingga ada yang meninggal.
Pada tahun yang lalu, 2006, mereka bahkan sampai terusir dari daerahnya dan mendirikan kampung baru khusus kelompok minoritas tersebut.
Polisi pun tidak berdaya. Para aparat negara itu memang menenangkan massa dan melerai. Namun, apparat tidak menindak tegas penyerang yang telah melakukan tindakan anarkis.
Dengan meninggalnya Sang Guru yang terkena serangan Covid-19, mereka sangat sedih, dan tetap ingin memanusiakan jenazah sang guru dengan penghormatan layaknya pada jenazah secara normal.
Denny penulis Buku Cerpen “Atas Nama Derita”, pada bagian delapan ini tidak menyebutkan nama tokoh kakaknya Budi yang kehilangan Gurunya karena Korban Covid-19.
Jenazah Sang Guru penderita virus corona dibawa pulang ke rumah duka. Namun, oleh keluarga, para sahabat, dan para muridnya, plastik mayatnya dibuka. Terdengar tangisan pilu..
“Ia guru kami. Tak mungkin kami kuburkan tanpa kami lihat wajahnya terakhir kali.” Suara yang lain: “Pak Ahmad (nama almarhum) pemimpin komunitas kami. Harus kami cium tangannya sebelum kami lepas ke tanah makam.”
Terdengar nyanyian ilahi. Terasa suasana seperti ribuan anak ayam kehilangan induknya. Mereka pun beramai-ramai mengantarkan pak Ahmad ke makam.
Mereka berebut memanggul keranda jenazah. “Terlalu banyak hutang budi kami.” “Ia matahari kami.” Budi dan anggota spritual lain menangis memeluk pak Ahmad, Sang Guru. Betapa ia selalu berdiri tegak. Betapa Sang Guru selalu pasang badan.
Kakaknya Budi melihat Video kiriman kematian Gurunya Budi dan dirasa sangat mencekam, karena ada Budi, adik kandungnya. Sudah 20 tahun Budi bergabung dengan komunitas spiritual itu.
Ditinggalkannya pekerjaan. Ditinggalkannya keluarga. Katanya, ia menemukan cahaya hidup bersama Pak Ahmad, Sang Guru.
Akan tetapi kini Sang Guru telah tiada. Wafat terkena virus corona.
Tak lama kemudian, terkabar berita. Satu kampung spiritual itu diisolasi. Dikhawatirkan virus corona menular justru lewat Jenazah Sang Guru.
Tragis. Harga sebuah keyakinan. Harga sebuah kesetiaan.
Perjuangan Sang Guru dalam mempertahankan keyakinan kelompoknya memang sangat tragis.
“Mereka dianggap murtad,” ujar satu penyerang dengan ganas. “Penistaan agama,” sambut lainnya. Kepada aparat, pak Ahmad meyakinkan: “Tapi ini tanah kami Pak. Turun temurun kami sudah di sini.” Budi, adikku, saat kejadian sudah tinggal di sana.
Ujar Budi, “Pak, bukankah konstitusi melindungi keyakinan warga negara?” Puluhan anggota spiritual lain juga memprotes. Petugas tidak menyangkal apa yang dinyatakan Pak Ahmad, Budi, dan kelompoknya. Akan teapi petugaspun nampak tak berdaya.
Para tetua wilayah ini mengajak pak Ahmad berbicara dari hati ke hati, bahwa “Serangan penduduk akan datang lagi dan lagi. Di sini banyak anak-anak. Kasihan mereka.
Bagaimana jika kita kompromi? menyarankan satu kampung ini memeluk agama resmi yang diakui. Hanya dengan pindah keyakinan, masalah akan selesai.
Pak Ahmad, Budi, dan beberapa penganut spiritual yang ikut pertemuan, kaget dan mereka tak bisa menerima.
Pak Ahmad balik bertanya dengan sopan. “Apakah Anda sendiri bersedia pindah agama?
Keyakinan adalah masalah hati. Kami memang sekarang minoritas. Tapi Pak Tetua juga jangan lupa. Pada awalnya, agama Pak Tetua dulu juga minoritas.”
Tegas pak Ahmad, “Apa jadinya dengan agama Pak Tetua jika ketika masih minoritas diminta bubar dan pindah memeluk keyakinan mayoritas saat itu?”
“Keyakinan kami ini bukan baru, Ini warisan nenek moyang kami. Ia sudah ada sebelum Indonesia merdeka. Dan selama ini tak ada masalah apa-apa.”
Dengan berlinang air mata, pak Ahmad berkata, “Jika kami tak boleh hidup dengan keyakinan kami sendiri, padahal kami dilindungi konstitusi, galilah tanah ini. Kuburlah kami hidup-hidup.
Kompromi tidak terjadi. Penyerang pulang sambil mengancam. Mereka akan datang lagi dengan jumlah yang lebih besar. Akhirnya untuk keselamatan semua, terutama anak-anak, mereka menempuh jalan lain.
Komunitas spiritual ini diungsikan ke satu wilayah. Petugas menjanjikan ini hanya sementara saja.
Kini 13 tahun sudah mereka di wilayah pengungsian.
Mereka tetap tidak bisa kembali ke tanah asal. Petugas juga ingkar janji. Tapi berkat leadership pak Ahmad, kampung itu bisa hidup.
Mereka bercocok tanam. Ada yang menjadi nelayan. Ada yang menjadi pedagang di wilayah lain.
Pak Ahmad sering ceramah ke aneka kota dan negara lain. Ia mempunyai ilmu yang luas. Hatinya penuh kasih, dan yang penting selaku pemimpin komunitas, ia kuat pendirian dan betanggung jawab.
Budi bercerita, pak Ahmad baru pulang dari keliling. Ia ceramah di Malaysia, China, dan Jakarta. Entah di wilayah mana, pak Ahmad tertular virus corona.
“Untuk alam keyakinan,” ujar pak Ahmad, “menang dan kalah itu tidaklah penting. Karena apa yang dulu seolah kalah ternyata menang. Apa yang dulu seolah menang sekarang kalah.”
“Keyakinan sejati itu ada di puncak gunung. Riuh rendah di lereng gunung, hantaman badai di daratan tak akan mengganggu hati di puncak gunung. Ketingginnya berbeda.”
kakaknya Budi menanyakan perihal pemakaman pak Ahmad yang tidak mengikuti protokol pemakaman korban covid-19. “Ini berbahaya buat semua. Juga berbahaya untuk Budi”
Budi menjelaskan:
“Pak Ahmad itu guru kami, pelindung kami, cahaya kami. Mustahil kami biarkan ia dimakamkan sendirian bersama petugas.” “Jikapun kampung ini akan roboh, robohlah. Robohlah kampung kami.
Tapi keyakinan kami tak pernah roboh. Walau keyakinan kami selalu minoritas. Walau kami kembali terusir. Walau rumah ibadah kami kembali dibakar.”
Budi mengatakan pada kakaknya: “Keyakinan kami lebih penting dari kampung kami.” Budi menjadi contoh kuatnya keyakinan. Kuatnya kesetiaan. Gelora itu hadir. Perkasa.
Inti Cerpen Esai bagian delapan ini, adalah penggambaran keyakinan sesorang dengan hati yang tulus. Ini bisa membuat keyakinan secara spitual begitu kuat dan bisa menjadi membangun simpati kelompoknya untuk setia mematuhi apa yang diyakininya, berkat contoh model pemimpin yang bisa dijadikan panutan.
Ini jenis leadsrship yanh memberikan kenyamanan lahir dan batin. Kenyamanan sosial kultural berkenaan dengan hubungan interpesonal, keluarga, dan sosial atau masyarakat.
Kenyamanan sosial sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan dasar dalam melakukan interaksi sosial yang nyaman serta melibatkan ruang dan waktu tertentu. Dimana kebutuhan dasar diartikan sebagai kebutuhan spasial yakni stimulasi, keamanan, dan identitas.
Faktor inilah yang meyebabkan, kelompok begitu gigih mempertahankan keyakinannya.
Namun di era virus corona, wafatnya seorang guru yang teramat dihormati komunitasnya, yang wafat karena Covid-19, membuat problem sendiri.
-000-
Secara keseluruhan, cerpen-cerpen Denny JA, menggambarkan potret kehidupan yamg terjadi di masyarakat yang penuh dengan berbagai liku. Hadirnya Virus Corona, justru membawa dampak yang multi prblem.
Denny JA ingin menghadirkan banyak nilai yang didapat dari pelaku-pelaku manusia dengan berbagai latar belakang dengan masalahnya masing-masing.
Ada yang bisa mengambil solusi. Ada juga yang mati, tetapi mempunyai kontribusi yang sangat berarti di masyarakat, yang tidak semua manusia mempunyai pemikiran seperti itu.
Sebuah penggambaran sikap dedikasi yang kuat: toleransi, simpati, empati, bahkan rela mempertaruhkan nyawa demi membela sesama dan membela keyakinan.
Selamat kepada Denny JA yang telah memberikan bacaan yang berbobot dengan mengangkat fenomena Virus Covid-19 dari berbagai kasus yang terjadi di masyarakat.
Semuanya dikembangakan menjadi Cerpen Esai, sehingga mudah dan menarik untuk dibaca dan dipahami.*
Prof. Dr. Endang Caturwati,. M.S, adalah Dosen dan Guru Besar Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung. Lulusan S3 Universitas Gadjah Mada, Ilmu Budaya.
Ia melakukan sejumlah penelitian mengenai Seni Pertunjukan, Pendidikan Seni, dan Kearifan Lokal. Menjadi Reviewer Penelitian Nasional Kemenristek-Dikti (1997-sekarang). Ka. Pusat LPPM STSI Bandung, (2008-2011), Direktur Pascasarjana STSI Bandung (20011-2012), Ketua STSI (2012-2013) yang sekarang menjadi ISBI Bandung; serta Direktur Kesenian Kemdikbud (2013-2017).
Ia aktif di beberapa Komunitas Seni, antara lain: ‘Perempuan Pendidik Seni’; ‘Hapsari; ‘Ajang Kreativitas Seni Tradisi Indonesia’; dan Citra Srikandi Indonesia. Selain menulis Buku Ajar dan buku teks.
Ia juga menulis Puisi & Lagu, serta tulisan ilmiah yang dimuat antara lain di jurmal Research on Humanities and Social Sciences (2017), Global and Stochastic Analysis (GSA) (2018), Saudy Journal of Humanities and Social Siences (2019).
Dosen ISBI Bandung yang juga mengajar di beberapa perguruan tinggi ini, kini menjadi Ketua Klaster Ilmu Sosial-Humaniora di Asosiasi Profesor Indonesia (API), Ketua Umum Hapsari Citra Indonesia (HCI), dan Ketua Umum Citra Srikandi Indonesia (CSI).
Red.