Jacob Ereste :
Global Cyber News.Com|Ketika Pancasila menjadi topik yang ramai dibicarakan banyak orang, Bambang Sulististomo pun ikut memaparkan pandangan dan pendapatnya berjudul “Merawat dan Membumikan Nilai-nilai luhur Pancasila…”
Kemerdekaan bangsa Indonesia, kT Bambang Sulistomo, merupakan perjuangan yang menginginkan kepemilikan akan kehormatan, harga diri, harkat, martabat dan kedaulatan bagi seluruh rakyat Indonesia. Perjuangan melawan penjajah dilakukan tanpa kekuatan materi yang cukup dibanding penjajah yang mempunyai kekuatan berlipat ganda banyaknya.
Dalam kondisi seperti itulah “kekuatan lain” yang menjadi andalan para pejuang kemerdekaan Indonesia — kekuatan jiwa– dalam bentuk semangat, keyakinan , cita-cita, harapan dan impian tentang kemerdekaan yang berkeadilan merupakan “kekuatan spiritual” dari bangsa Indonesia yang terhormat dan berdaulat dengan jati dirinya yang luhur.
Lantas masihkah kekuatan jati diri yang bersifat spiritual itu masih ada sebagai bagian dari warisan para leluhur kita itu ?
Pada saat semua segi kehidupan pembangunan bangsa cenderung hanya digantungkan pada kekuatan materi semata, akibatnya segala bentuk materi telah dijadikan ukuran untuk penakar semua bentuk keberhasilan, maka pada gilirannya semua keberhasilan pun menjadi semu. Kamuflase belaka, tanpa makna.
Agaknya dalam kontesk serupa inilah gagasan yang dipelopori Eko Sriyono Galgendu, seorang tokoh spuritual yang telah melanglang buana ke berbagai tempat yang memiliki kekuatan spiritual, melihat Candi Birobudur itu sebagai monumen nyata dari kebesaran bangsa Indonesia sejak ratusan tahun silam. Begitu pula dengan Kompleks Candi Muaro Jambi yang jauh lebih dua serta dakhsyat itu, jelas menunjukkan bila para leluhur suku bangsa Indonesia memiliki ilmu dan pengetahuan yang “linuwih”.
Sama seperti yang dikatakan Bambang Sulistomo — selaku anak kandung Bung Tomo — yang mampu mengobarkan perlawanan heroik “arek-arek Suroboyo” semasa merebut kemerdekaan dari genggaman asing — juga menjadi bukti nyata dari kekuatan spiritual itu merupakan daya yang nyata sebagai bagian dari kekuatan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia.
Masalahnya pada hari ini, kekuatan yang tak tampak secara kasat mata itu kini semakin pudar, atau bahkan hilang sebagai bagian dari jati diri yang mampu memperteguh sikaf dan sifat yang senantiasa berada pada kisaran Illahi Rabbi. Sehingga hal-hal yang batil dapat dengan sendiri tersingkir. Apalagi hanya untuk menjadi penjaga diri dari sikap yang tidak terpuji.
Kecenderungan dari masyarakat jaman now beranggapan bahwa kekuatan materi yang dapat memberi jalan keluar dari berbagai masalah kehidupan dalam masa krisis multi dimensi sekarang ini tidak boleh dibiarkan terus terperosok dalam keyakinan yang keluru itu. Karena orientasi hidup yang terperosok pada materialism itu akan semakin memperparah kerusakan yang mendorong pada banyak orang untuk koruptif, ingin cepat kaya walau harus dilakukan dengan cara apapun seperti yang senakin marak terjadi dan dilakukan oleh pejabat publik di Indonesia yang seharusnya patuh dan taat untuk menjalankan amanah rakyat.
Betapa tidak, fenomena dari korupsi secara berjemaah itu indikasi dari kesepakatan jahat yang terencana, terstruktur dan massif, sehingga jadi semacam konvensi yang dilakukan dengan kesadaran kolektif yang culas. Atau bahkan dengan rencana jahat untuk menipu publik yang dilegal formalkan oleh institusi hukum dan perundang-undangan yang direkayasa secara paksa, sehingga fungsi kontrol yang selayaknya dapat dilakukan rakyat menjadi terkunci semua pintu masuknya.
Tampaknya, begitulah pembungkaman yang terjadi lewat amandemen UUD 1945 yang tidak lagi otentik dan tak juga aspiratif itu sekarang ini. Sehingga ragam gugatan pada keabsahan dari sejumlah peraturan serta perundang-undangan mentok di meja pengadilan. Tak pernah ada keputusan dan keterapan yang dimenangkan oleh rakyat.
Keadilan, aturan-aturan, nilai-nilai dan norma hukum yang brrbasis pada kekuatan spiritual, kata Bambang Sulustomo semakin tersisih oleh kekuatan material. Penyimpangan dari sistem nilai dan norma hukum ini kata Bambang Sulustomo disebabkan oleh interaksi sosial yang dipicu oleh birahi dari keberhasilan materi. Dari penyimpangan yang terwujud sebagai tindak kejahatan seperti korupsi, kolusi dan nepotisme itu jelas sebagai praktek jual-beli hukum, jual-beli jabatan yang mengobrak-abrik kebijakan publik yang jauh dari keberpihakan bagi kepentingan orang banyak.
Muaranya tentu saja semakin jauh dari cita-cita proklamasi bangsa Indonesia seperti harapan terhadap keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pembukaan UUD 1945 jelas menyatakan bahwa bangsa Indonesia telah sampai pada pintu gerbang kemerdekaan. Namun arah masuknya keliru, hingga tidak pernah masuk ke dalam substansi dari kemerdekaan yang sesungguh-sungguhnya.
Itulah sebabnya, gagasan Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia (GRMI) oleh Eko Sriyanto Galgendu dengan sejumlah tokoh nasional bersama cendekiawan dari berbagai agama di Indonesia terus berupaya untuk menemukan sosok pemimpin yang berbasis spiritual serta berpegang teguh pada Pancasila dan UUD 1945 yang otektik, agar tampil untuk menyelamatkan Indonesia dari ancaman keambrukan dan kehancuran.
Jakarta, 13 Juni 2021
Red.