Sunday, September 8, 2024
spot_img
spot_img
HomeOpiniDENNY JA MEMBAWA PUISI KE TENGAH GELANGGANG
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Related Posts

Featured Artist

DENNY JA MEMBAWA PUISI KE TENGAH GELANGGANG

Dr. Rachman Sabur

Global Cyber News.Com|Pandangan John F Kennedy, Presiden Amerika Serikat tahun 1961-1963 banyak dikutip. Ujar Kennedy, “Jika saja lebih banyak politisi yang membaca puisi, dan lebih banyak penyair yang mengerti politik, kita akan mewarisi dunia yang lebih baik.”

Ucapan Kennedy itu mengisyaratkan puisi harus lebih berperan di ruang publik. Lebih banyak puisi menghiasi perdebatan di kampus, berita di mass media, pertemuan ilmuwan, dan pidato para pemmpin.

Kutipan Kennedy itu juga mengisyaratkan lebih banyak lahir puisi baru yang menjadi saksi zamannya. Mendampingi berita di media sosial, manuver politisi, transaksi bisnis, inovasi teknologi, puisi baru juga hadir merekam sisi batin peristiwa itu.

Meminjam kalimat Denny JA, kutipan Kennedy itu mengisyaratkan “Membawa Puisi Kembali Ke Tengah Gelanggang.”

Kalimat itu secara tepat pula merumuskan spirit dan niat dari gerakan sastra yang dipelopori Denny JA di Indonesia sejak 2012. Melalui puisi esai, Denny JA berikhtiar membawa puisi ke tengah gelanggang. Ia berupaya agar puisi kembali menjadi pembicaraan publik di luar komunitas sastra.

Setelah bergerak menjelang satu dekade, 9 tahun, berhasilkah gerakan Denny JA, mengembalikan puisi ke tengah gelanggang?

Cukup kita menilai beberapa peristiwa di bawah ini.

-000-

Bulan Mei 2017, di Balikpapan, Indonesia. Saat ini ada rapat partai besar: Golkar. Partai ini mengundang panglima militer saat itu, Gatot Nurmantyo, untuk memberikan paparan dan arahan soal situasi terkini tanah air.

Para politisi di partai itu kemudian tepuk tangan sangat meriah. Tak terduga dalam acara politik itu, Sang Jenderal mengutip puisi Denny JA. (1)

Puisi itu bercerita tentang ketimpangan sosial ekonomi yang terjadi. Tentang seorang pemuda bernama Jaka. Ia diinterogasi polisi karena memimpin demonstrasi besar.

Ketika polisi bertanya, mengapa Ia melakukan ini semua. Jaka menjawab, kami hanya punya ungkapan rasa untuk melawan.

Jaka pun menggambarkan kondisi desanya:

“Lihatlah hidup di desa.
Sangat subur tanahnya.
Sangat luas sawahnya.
Tapi Bukan Kami Punya.”

“Lihat padi menguning.
Menghiasi bumi sekeliling.
Desa yang kaya raya.
Tapi Bukan Kami Punya.”

“Lihatlah hidup di kota.
Pasar swalayan tertata.
Ramai pasarnya.
Tapi Bukan Kami Punya.”

“Lihatlah aneka barang.
Dijual belikan orang.
Oh makmurnya.
Tapi Bukan Kami Punya.”

“Jaka terus terpana
Entah mengapa.
Menetes air mata.
Air mata itu Ia yang Punya.”

Puisi yang disitir panglima militer segera menjadi percakapan publik. Berhari-hari talk show TV membicarakannya. Puisi esai Denny JA membawa isu sentral dan sensitif soal ketimpangan ekonomi menjadi percakapan masyarakat luas.

-000-

Agustus 2020. Sebanyak 100 dokter Indonesia meninggal. Mereka wafat ketika bertugas membantu pasien yang terpapar Covid-19.

Ruang publik heboh. Sebanyak itu dokter ikut terpapar Covid-19, dan mati. Stasiun TV terkemuka, Kompas TV, menyelenggarakan Talk Show mengupas tuntas isu ini.

Dalam acara Talk Show itu, video animasi karya sastra Denny JA, berjudul “Dokter itu Mencapai Puncak Gunung,” diputar.

Karya Denny ini bercerita tentang seorang dokter yang sebenarnya sudah pensiun. Karena jiwanya terpanggil ikut perang melawan pandemi, ia kembali bertugas.

Ia pun terpapar Covid-19 dan wafat. Yang mengharukan, Ia menyatakan telah mencapai puncak gunung. Wafat dalam tugas sebagai dokter baginya adalah “mendaki sampai pada puncak gunung.”

Karya sastra Denny JA ini dibacakan aktor terkemuka Reza Rahadian. Betapa dalam isu besar Covid-19, ketika para pakar membahas isu itu, sebuah karya sastra ditampilkan. (2)

-000-

Mei 2014, di Jakarta. Saat itu 16 tahun sudah terjadi apa yang kemudian dikenal dengan nama “Tragedi Mei 98.”

Menjelang kejatuhan Presiden Suharto, Jakarta bergolak. Pembakaran gedung, kerusuhan terjadi di banyak lokasi.

Penduduk etnik Cina acapkali menjadi sasaran amuk. Bukan saja toko mereka dijarah. Bukan saja rumah mereka dirusak. Tapi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) menyimpulkan terjadi pula kekerasan seksual atas perempuan warga etnik Tionghoa.

Di tahun 2014, Generasi Muda Indonesia Tionghoa (INTI) dan Komnas Perempuan terpanggil membuat acara mengenang peristiwa itu. Kilas balik dilakukan agar peristiwa serupa tak lagi terjadi. (3)

Yang unik, peringatan ini dimulai dengan pemutaran Film Denny JA- Hanung Brahmantyo: Sapu Tangan Fang Yin. Film ini dibuat berdasarkan puisi esai Denny JA dengan judul yang sama.

Puisi esai itu berkisah seorang gadis muda, usia 20an bernama Fang Yin. Ia tak tahu politik. Ia tak suka isu kekuasaan.

Semata karena ia warga Tionghoa, Ia mengalami kekerasan seksual dalam Tragedi Mei 1998.

Ia sangat terpukul. Bahkan gara gara ini, kekasih yang sangat Ia cintai meninggalkannya.

Fang Yin pun berimigrasi ke Amerika Serikat. Bertahun- tahun, Ia menyembuhkan diri. Betapa marahnya Ia dengan Indonesia.

Namun belasan tahun kemudian, Ia melihat Indonesia berubah. Tokoh Tionghoa diangkat menjadi menteri. Program bahasa Mandarin muncul di TV. Barongsai mentas di banyak Mall.

Fang Yin akhirnya memaafkan Indonesia. Ia pulang kembali ke tanah air tempat Ia dilahirkan. Pertanyaan ini selalu menghantuinya: “Apa arti Indonesia bagiku?”

Setelah kemarahannya yang mendalam, Fang Yin membakar sapu tangan yang acapkali menyeka air mata. Ia pun berseru: “Di Indonesia. Di sana aku dilahirkan. Di sana pula aku ingin dimakamkan.”

-000-

Maret 2020. Jaringan aktivis politik di berbagai belahan Indonesia berkumpul. Mereka akan memilih pengurus baru perkumpulan Prodem.

Dalam acara pembukaan, sebuah puisi dibacakan. Peserta memberi respon beragam. Isi puisi ini menggambarkan hidup mereka setelah puluhan tahun selesai dari dunia aktivis mahasiswa. (4)

Itu puisi esai Denny JA berjudul “Kemana Perginya Aktivis?”

“Ucap Anwar di hati.
Beragamnya mereka kini.
Ada pejabat tapi korupsi.
Ada pengangguran berharap koneksi.”

“Ada yang tetap berteriak Revolusi.
Namun tak jelas visi dan misi.”
Banyak pula menjadi tua
dan kurang gizi.”

“Dilihatnya sebelah sana.
Sahabatnya yang pernah satu rumah.
Dulu melarat bersama.
Gelantungan di bis kota.
Antri ke kampus naik kereta.

Kini sang sahabat kaya raya.
Aneka usaha ia punya.
Sebagai aktivis, ia lihai.
Berpolitik ia lunglai.
Meliuk ke kanan ke kiri.
Tergantung angin berlari.
Adakah sahabat itu salah?
Jika berpolitik untuk harta?”

“Di lihat di sebelah sini.
Mantan aktivis yang lain lagi.
Mata sahabat yang ini masih menyala.
Jika bicara, mulutnya berbusa.
Tapi hatinya penuh luka:
Terlalu sering ia kecewa.
Sakit-sakitan di masa tua.
Beli obat saja tiada bisa.
Anwar peluk ia.”

Lalu dikisahkan Anwar sang aktivis idealis, yang dipuja, pulang ke rumah.

Ternyata di rumah, suasana berbeda. Sang istri mengeluh soal iuan sekolah anak yang belum dibayar. Genteng yang bocor. Hutang beli motor yang nunggak. Anak sakit tapi tak ada uang beli obat.

Sebuah ironi. Tapi semangat Anwar terus menyala. Ia ingin seperti Nelson Mandela. Ia ingin lahir sebagai Soekarno Muda.”

-000-

Desember 2018. Di Indonesia, media sosial sudah menjamur. Di tahun itu, Indonesia masuk menjadi negara nomor tiga pengguna media sosial terbanyak di dunia.

Ini fenomena yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dari 34 provinsi Indonesia, dari Aceh hingga Papua, datang sebanyak 858 resensi atas 34 buku puisi esai. (5)

Yang unik, ini yang belum pernah terjadi, semua resensi itu dipublikasi di ratusan akun Facebook. Ini hasil dari lomba mereview 34 buku puisi esai.

Sebuah kerja kolosal. Sebanyak 176 penulis dari 34 provinsi, masing masing menulis kisah local wisdom di provinsi masing masing.

Satu provinsi berisi lima kisah yang ditulis oleh lima penulis dari provinsi itu sendiri.

Terkumpulah 176 kisah masyarakat dari 34 provinsi. Semua dituangkan dalam puisi esai yang panjang, berbabak. Semua dengan format catatan kaki.

Kini 34 cerita dari 176 cerita itu sudah menjadi naskah film. Sebanyak 34 skenario film sudah dipublikasi. Semua skenario film diangkat dari puisi esai.

Serial 34 buku puisi esai ini menjadi kolosal bukan saja karena banyaknya penulis yang terlibat (176 penulis). Juga bukan hanya karena ia dikerjakan total menghabiskan 4 tahun, mulai dari perencanaan hingga penerbitan.

Bukan saja buku ini berhasil merekam 176 kisah masyarakat dari 34 provinsi. Tapi karena gerakan puisi esai ini semua proses lombanya diselenggarakan melalui media sosial.

Gerakan puisi esai ikut aktif membawa sasta ke dunia digital.

-000-

May 2020 hingga Juli 2021. Saat itu di Indonesia dan dunia sedang mengalami pandemik. Beberapa kali terjadi lock down, work from home.

Tapi bagi gerakan puisi esai, era itu juga momen penting.
Pertama, di bulan Mei 2020, resmi sudah puisi esai menjadi kata baru dalam kamus besar bahasa indonesia (KBBI).

Dalam kamus itu, puisi esai didefinisikan sebagai “Ragam sastra berisi pesan sosial dan moral melalui kata sederhana dengan pola berbait-bait, berupa fakta, fiksi dan catatan kaki.”

Maret 2021, juga di era pandemik, Denny JA menerima penghargaan sastra tingkat ASEAN dari Malaysia. Denny dianggap berjasa membawa nafas baru sastra, dan genre puisi esai meluas ke negara ASEAN.

Juni dan Juli 2021 juga masih masa pandemik. Komunitas puisi esai ASEAN pun terbentuk dan aktif menyelenggarakan kegiatan. Di samping buku puisi esai yang ditulis oleh berbagai penyair ASEAN, juga diselenggarakan webinar antar negara setiap bulan.

Webinar Komunitas Puisi Esai ASEAN, di bulan Juli 2021, menampilkan Profesor Doktor Ramzah Dambul sebagai pembicara.

Dalam webinar itu, Ramzah Dambul membawa isu penting. Ia menyatakan perlu dikembangkan diplomasi sastra melengkapi diplomasi politik dan diplomasi science.

Diplomasi sastra itu kegiatan yang merekatkan hubungan negara melalui kegiatan sastra. Profesor Dambul menyatakan puisi esai adalah cahaya baru sastra.

Format puisi yang prosais dengan catatan kaki membuat puisi esai mampu menuangkan gagasan besar zamannya, dengan bahasa populer, serta mengawinkan fiksi dan fakta.

Sosok penggagas puisi esai, Denny JA, dinilai oleh Ramzah Dambul membantu puisi esai berkembang dalam diplomasi sastra. Itu karena Denny JA bukan sekedar sastrawan tipikal. Ia juga intelektual, akademisi, dan konsultan politik. Denny dapat berperan lebih dalam ekosistem diplomasi.

-000-

Beragam peristiwa di atas, mulai dari pertemuan partai politik, peringatan tragedi nasional, talk show TV soal Covid-19, konggres para aktivis, dunia media sosial, di aneka ruang publik itu, secara bertahap puisi esai kembali mewarnai.

Karya sastra Denny JA, baik dalam bentuk puisi, atau video animasi, atau yang difilmkan, kembali ke tengah gelanggang. Puisi esai itu memberi aksen ruang publik.

Dalam buku ini, enam akademisi, enam profesor doktor, mereview lima buku sastra Denny JA.

Prof Dr Ramzah Dambul, seperti diurai di atas, ada dalam prolog buku ini. Ramzah Dambul tidak membuat tulisan khusus. Tapi paparannya dalam diskusi webinar ditranskripsikan.

Dalam buku ini, buku puisi esai maupun sebuah buku cerpen esai Denny J.A. masing-masingnya mendapat ulasan dari seorang guru besar.

Cukup menarik melihat bagaimana buku puisi esai maupun cerpen esai Denny J.A. dibahas oleh para profesor dari berbagai latar belakang serta berbagai perguruan tinggi.

Ada profesor dari UI Depok, UNPAD Bandung, IKJ Jakarta, ISBI Bandung, serta Universitas Paramadina Jakarta. Sosok para guru besar ini tidaklah asing, bahkan beberapa sangat terkenal seperti Prof. Sapardi Djoko Damono, Prof. Jakob Sumardjo, dan Prof.  Abdul Hadi W.M.

Masing-masing guru besar tersebut juga membahas karya Denny J.A. dari perspektif yang berbeda-beda.

Ada perspektif sufistik sebagaimana dilakukan Prof. Abdul Hadi W.M. Ada perspektif Kosmologi sebagaimana dilakukan Prof. Jakob Sumardjo. Dan ada pula perspektif tingkat analisis Mikro-Makro-Messo, sebagaimana dilakukan Prof. Dadang Suganda, dan sebagainya.

Masing-masing bahasan tersebut niscaya akan memperkaya apresiasi kita terhadap karya Denny J.A. yang dibahasnya.

Lebih dari itu, dengan terlibatnya para profesor dalam pembahasan karya Denny J.A. kita bisa berharap bahwa di masa yang tidak terlalu lama, karya-karya puisi esai yang unik ini dapat mulai dibahas di lingkungan perguruan tinggi, bahkan dijadikan bahan skripsi, tesis, atau disertasi.

Dengan demikian, dunia akademik akan menjadi makin up to date dan sekaligus bersinggungan langsung dengan isu-isu budaya-sosial-politik-ekonomi mutakhir. Misalnya isu rasisme, ketegangan antaragama atau antar sekte agama, nasib TKI di luar negeri, penghilangan orang, dan tragedi Pandemi Covid-19. Itu semua justru menjadi isu utama karya-karya Denny J.A.

Dalam buku ini juga disertakan laporan lomba kritik puisi esai. Lomba ini diselenggarakan oleh Asosiasi Guru Bahasa dan Sastra Indonesia di tahun 2018.

Seni, ilmu pengetahuan, dan teknologi, kehadirannya bukan lagi untuk dipilah-pilah. Seni bisa bersinergi dengan apapun.

Puisi dan cerpen esai yang ditulis Denny J.A tidak lagi menjadi karya sastra yang eksklusif, tetapi menjadi karya yang komunikatif, edukatif, dan informatif bagi pembacanya.

Karya-karya puisi Rendra dijadikan pertunjukan teater oleh Rendra sendiri maupun yang lainnya karena puisi-puisi karyanya memberikan inspirasi untuk diwujudkan kedalam peristiwa pertunjukan teater.

Remi Sylado (Yapi Tambayong) dengan puisi Mbeling-nya. Danarto dengan puisi Konkretnya (puisi visual), Sutardji Calzoum Bachri dengan puisi Mantranya, banyak pula yang diwujudkan kedalam bentuk pertunjukan teater oleh para seniman teater Indonesia.

Lebih dari itu, karya-karya puisi dan cerpen esai Denny J.A banyak memberikan kemungkinan untuk diwujudkan ke dalam realitas pertunjukan dengan berbagai kemungkinan gaya berteater.

Bukan hanya karya naskah drama yang baku saja yang memberikan kontribusi perkembangan teater Indonesia. Karya-karya puisi naratif seperti karya-karya puisi esai Denny J.A memberikan amunisi kreatif bagi para sutradara dan aktor  teater Indonesia.

Karya-karyanya patut untuk diapresiasi dan dicermati secara seksama. Dari mata batinnya dia mampu melihat dan mendengar apa yang orang lain tidak bisa lihat dan tidak bisa dengar.

Red.

Latest Posts