Saturday, October 5, 2024
HomeSejarah•PERUSAHAAN GARAM JAMAN HINDIA BELANDA•
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Related Posts

Featured Artist

•PERUSAHAAN GARAM JAMAN HINDIA BELANDA•

globalcybernews.com  -Sejak abad ke-9 garam sudah diperdagangkan baik untuk kebutuhan industri, pengolahan ikan maupun untuk keperluan
bumbu makanan yang telah menjangkau dunia.

Garam menjadi salah satu komoditas penting di Madura sejak Pemerintahan lokal/Kerajaan hingga penguasaan VOC(Veerenigde Oost Indische Compagnie).

Garam di Madura dulu diproduksi berdasarkan sistem sewa yang memposisikan orang-orang Tionghoa sebagai etnis yang mendominasi penyewaan tanah pegaraman dari penguasa lokal.

Pada akhir abad ke 19, ketika pemerintahan lokal dihapus dan berganti sistem Pemerintahan Kolonial Belanda, secara bersamaan Madura menjadi pusat produksi garam, berdasarkan sistem monopoli yang mengambil alih produksi garam dari tangan-tangan orang Tionghoa.
Hal ini memposisikan Pemerintah Kolonial Belanda menjadi produsen utama garam di Hindia Belanda.

Pengelolaan garam pada masa pemerintahan Hindia Belanda pada prinsipnya bersifat monopolistik.
Konsekuensi atas sistem pengelolaan ini adalah rakyat pemilik lahan garam tidak bebas untuk memproduksi garam karena terdapat sejumlah aturan pembatasan sebagaimana termuat dalam Staadblad van Nederlandsch-Indie No.73 Tahun 1882 ayat 1.

Untuk menggenjot produksi garam, pemerintah Hindia Belanda membangun dua pabrik briket garam di pulau Madura, dan pada tahun 1901 sebuah perusahaan swasta membuka jalur kereta api yang terbentang dari Kalianget sebagai pusat produksi Garam, sampai ke Kamal di seberang Surabaya sebagai pusat pendistribusian keluar pulau Madura.

Pada tahun 1912, perusahaan garam ini juga membuka firma pelayarannya sendiri.

Dekade awal abad ke-20, bandar Kalianget menjadi kota kecil yang ramai, pabrik-pabrik, kantor-kantor, dan rumah-rumah untuk pegawai Eropa dibangun disana.

Akibat pertumbuhan penduduk, membaiknya kesejahteraan sosial, dan monopoli penjualan yang meluas, berakibat meningkatkan permintaan terhadap garam, yang menyebabkan ancaman kelangkaan garam.
Akhirnya pemerintah Hindia Belanda membuka dua kawasan yang luas untuk dijadikan lahan produksi garam di sekitar daerah Kalianget dan di daerah Gresik.

Akan tetapi hal tersebut berubah, ketika pada awal dekade 1930-an stok garam begitu melimpah, sehingga pemerintah Hindia Belanda membatasi produksi dan menutup lahan garam yang baru dibukanya di Gresik.

Seperlima dari tambak garam pribumi di Madura dibeli oleh pemerintah Hindia Belanda yang mengakibatkan timbulnya banyak pengangguran yang dibarengi dengan adanya depresi ekonomi.

Tahun 1936, pemerintah Kolonial memutuskan untuk melakukan reorganisasi total terhadap pembuatan garam dan memberikan Dana Kesejahteraan Madura(DKM) untuk membantu rakyat Madura.
Dana ini dimaksudkan sebagai salah satu cara untuk merangsang pembangunan ekonomi di Pulau Madura.
Pembelian hak memproduksi garam dan hak kepemilikan tanah akan dibayar dari sebagian industri garam dan dananya diambil dari anggaran pemerintah.

Rencana tersebut sebenarnya sudah mulai dilaksanakan tahun 1937, namun karena adanya invasi Jepang ke wilayah Indonesia, proyek tersebut tidak dapat dituntaskan.

Ketika menguasai wilayah Indonesia, Jepang melakukan penguasaan dengan merusak objek-objek vital milik pemerintah Hindia Belanda dan sebagian besar adalah fasilitas produksi. Akibatnya, pada masa pendudukan Jepang hampir seluruh kehidupan ekonomi lumpuh total.

Pada masa pemerintahan Jepang, muncul juga keinginan untuk mengubah dan memusatkan segala putusan dan mandat hanya dari kantor pusat, yang semua hal harus dilaporkan terlebih dahulu kepada pemerintahan Dai Nippon.

Perusahaan-perusahaan milik Belanda dan usaha-usaha yang dimodali Belanda dipindah tangankan menjadi milik Jepang, di antaranya perusahaan-perusahaan dan pabrik-pabrik, termasuk Perusahaan Garam.

Perusahaan Garam diwajibkan untuk ikut serta dalam memberikan bantuan untuk Jepang, berupa pungutan dalam bentuk sokongan untuk kemenangan Jepang dalam Perang Asia Timur Raya melawan sekutu Inggris dan Amerika Serikat.

Sokongan diambil melalui potongan gaji para pegawai dan buruh dalam bentuk sumbangan sukarela, dan semuanya disimpan oleh perkumpulan menabung uang Perusahaan Garam.

Berdasarkan mandat yang dikeluarkan, diketahui bahwa pada masa Pemerintahan Jepang terdapat perubahan pemusatan putusan yang hanya dikeluarkan dari Kantor Pusat Comptabiliteit.

Pemerintahan Jepang secara langsung mengurangi peran dari bupati-bupati di daerah agar lebih mudah mengontrol dan memobilisasikan kekuasaan.

Pada urusan pekerjaan di kantor dan pabrik harus ditunjukkan terlebih dahulu kepada Tuan Nippon dan kemudian baru memperoleh stempel.
Urusan pekerjaan dan pabrik penggaraman telah diatur dalam surat no.4184 tanggal 10 September 1943.

Selanjutnya, pemerintah Jepang berusaha menghilangkan unsur-unsur kolonial Hindia Belanda.
Nama perusahaan garam pada masa Hindia Belanda yang bernama Opium de Zoutregie diubah menjadi Perusahaan Garam. Namun anehnya untuk nama kantornya menggunakan bahasa Jepang.
Kantor Perusahaan Garam di Jakarta dinamakan Senbai Kyoku dan Kantor Perusahaan Garam di daerah dinamakan Tjihoo Senbai Kyoku.

Setelah Jepang kalah perang melawan Sekutu dan Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, perusahaan garam diambil alih oleh pemerintah Indonesia pada tanggal 31 Oktober 1945. Kemudian pada tahun 1949 berganti nama menjadi Djawatan Regie Garam.

Pasca kemerdekaan, ternyata pemerintah Belanda berusaha untuk menguasai kembali wilayah jajahannya.

Melalui strategi politik dan agresi militer, Belanda berhasil menguasai kembali beberapa wilayah di Indonesia, termasuk pulau Madura.

Pada tanggal 23 Januari 1948, pemerintah Hindia Belanda membentuk Negara Madura atas rekayasa Van der Plas yang pada saat itu menjadi Gubernur Belanda di Jawa Timur.

Pemerintah Hindia Belanda menunjuk R.A.A Cakraningrat, bupati Bangkalan sebagai Wali Negara.
Maka terjadilah pro dan kontra di kalangan masyarakat Madura. Ada yang yang ingin bergabung dengan pemerintah Indonesia yang saat itu berstatus negara Republik Indonesia Serikat(RIS), ada juga yang ingin bertahan dalam kekuasaan Hindia Belanda.

Perkembangan politik di pulau Madura juga berpengaruh pada perusahaan garam yang pada saat itu masih aktif berproduksi.

Perusahaan Garam Madura memberikan sokongan dengan pemotongan gaji pegawai perusahaan pada setiap bulannya untuk disumbangkan kepada Fonds Kemerdekaan Indonesia (FKI) Madura. Dana yang terkumpul digunakan untuk perjuangan rakyat Madura supaya bisa bergabung kembali dengan Republik Indonesia.

Puncaknya, Wali Negara Madura pada tanggal 28 Januari 1950, akhirnya menyerahkan kekuasaannya kepada Republik Indonesia Serikat(RIS).

Setelah dikuasai kembali oleh pemerintah Indonesia, perusahaan garam Madura mengalami proses nasionalisasi dan pada tahun 1952 digabungkan dengan Perusahaan Soda yang dikenal dengan nama PGSN (Perusahaan Garam dan Soda Negeri).

Pada saat proses Nasionaliasasi, pada waktu itu, Perusahaan Garam masih menggunakan sistem monopoli Zoutmonopoli-Ordonantie 1941, tetapi pada tahun 1957 dikeluarkan kebijakan penghapusan monopoli garam.

Kebijakan tersebut memberikan kesempatan bagi rakyat untuk membuat garam dan meningktakan produksi garam.

Walaupun Pemerintah sudah menghapus monopoli produksi garam, namun pemerintah ketika itu masih memonopoli untuk perdagangan garam sampai tahun 1981.

Berdasarkan PP Nomor 46 Tahun 1981, pemerintah mengganti status dari PN Garam menjadi Perusahaan Umum (Perum) Garam.

Pada tahun 1991, Perum Garam diswastakan menjadi PT.Garam (Persero) yang manajemennya di bawah Departemen Perindustrian berdasarkan PP No.12/1991.

Pada tahun 1998, setelah reformasi, PT. Garam (Persero) berada di bawah Kementerian BUMN.

Sumber artikel :
Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Jawa Timur

Red

Latest Posts